"Cukup ayah, ini bukan salah ibu ataupun salahmu yah. Aku hanya merasa sendirian di dunia ini. Aku tak punya teman, aku tak punya siapa-siapa. Aku takut yah, aku butuh kasih sayang kedua orang tuaku." Jawab Misy dengan nada ketakutan sembari menyumput di belakang badan ibunya.
Mendengar perkataan yang baru saja diucapkan oleh Misy, Baresta langsung memeluk putri dan istrinya. Baresta sadar, bukan hanya Lareen yang salah, tetapi ia juga. Ia hanya memikirkan profesinya yang jauh dari keluarga.
"Maafkan aku nak, aku benar-benar menyesal." Kata Baresta dengan nada lirih.
Keeseokan harinya saat semua keadaan kembali normal, Baresta menyarankan untuk pergi berlibur sebagai tebusan atas rasa bersalahnya dan kebetulan juga sudah lama tidak berlibur bersama. Inilah yang sebenarnya Misy harapkan. Raut kebahagian yang selama ini terpendam pun mulai muncul di wajah Misy. Akhirnya ia merasakan apa yang dinamakan keluarga dan kasih sayang dari orang tuanya.
Banyak hal yang sudah Misy lalui. Mulai dari jatuhnya air mata hingga munculnya senyum paling membahagiakan yang pernah ia keluarkan. Jika hal-hal yang Misy sudah alami ini bisa diibaratkan sesuatu, bayangkan saja ketika sedang menaiki wahana histeria dan roller coaster disaat bersamaan, berlika-likunya trek roller couster dan turun naiknya gerakan histeria yang membuat jantung hampir copot, tapi disaat itu pula muncul rasa puas dan menyenangkan yang tidak tertandingi.
Awal tahun ajaran pun dimulai, Lereen memutuskan untuk memperbolehkan Misy bersekolah seperti biasa. Lalu Misy pun bersekolah di SMA 11 Bandung. Perjuangan Misy dimulai kembali saat ia dikala dewasa dan berusaha melupakan sebentar gangguan mentalnya.
Masa awal SMA diawali dengan banyaknya kicauan yang membuat Misy berpikir "Masa-masa SMA itu menyenangkan" seperti kata halayak tidaklah cocok dilabelkan padanya. Banyak kejadian tidak menyenangkan yang kembali berulang, mulai dari pembullyan dan body shaming yang dilontarkan lewat ucapan indah yang menusuk, itu membuat Misy mulai menutup diri "kembali" dari diri sendiri dan banyak orang.
Memang terdengar klise seperti yang diceritakan dibanyak buku dan film, tapi saat kalian yang menjadi objek dari hal tersebut, kalian akan merasakan dampak dari pembullyan itu. Beruntungnya, saat Misy SMA memiliki sahabat-sahabat yang selalu menemaninya disaat-saat sulit itu.
Hari demi hari berlalu hingga sampai pada titik dimana akhirnya telinga Misy sudah menjadi kebal terhadap kata-kata indah yang mereka lontarkan. Ia sudah tidak lagi bersusah payah memikirkan hal tersebut dan kepercayaan dirinya mulai terbangun kembali, dan juga mulai membuka diri dengan diri sendiri.
Tak terasa ini adalah tahun terakhir Misy di SMA. Sebagai manusia yang sudah hidup selama 17 tahun, jika dibandingkan dengan banyak manusia yang lebih tua darinya, memang bisa dikatakan Misy ini hanyalah seorang anak yang sedang beranjak dewasa. Tetapi bicara tentang dewasa, "Apa sih dewasa itu?"
Pertanyaan itu sering muncul dikepalanya, jika yang sudah menginjakan kaki di angka 17 ini disebut beranjak dewasa, "Apakah dewasa itu dilihat dari semakin besarnya jumlah angka yang disebut usia?"