Mohon tunggu...
Putri Dewi
Putri Dewi Mohon Tunggu... Seniman - Pengajar, Penari dan penulis puisi

Menulis adalah jiwa yang berkembang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Misteri Lukisan Gandhok

17 Juni 2020   00:06 Diperbarui: 16 Juni 2020   23:55 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Nggak. Di joglo belakang rumah Pak Yatno. Joglo besar dan masih nampak terawat. Jadi, sementara menari dan gamelan dulu yang aktif ini. Kalau melukis dan membatik, perlu lokasi yang aman. Mengingat ada banyak pewarna."

"Hmmm.. .oke deh. Aku segera hubungi teman-teman. Biar segera bersiap bantu di rumah Pak Yatno."

*

"Mbak, saya turut senang. Menghidupkan kembali kesenian tradisi di kampung ini. Kemarin sempat berhenti lama. Anak-anak kangen. Yaaa...selain kesenian, anak-anak kan juga kumpul sama teman-teman." Kata Pak Yatno menjelaskan.

"Ya. Saya sangat berterima kasih, Pak. Mau menyediakan wadah bagi kami. Semoga ke depan akan semakin banyak yang berminat menggali potensi."

Sore itu segera aku menuju rumah Pak Yatno. Membantu membersihkan joglo, pringgitan, perangkat gamelan, bersama teman-teman. Karena hari minggu kegiatan seni tari sudah dimulai. Dan sorenya berharap gamelan juga bisa dimulai.

"Mbak, dulu pendopo itu dipakai buat pertunjukan wayang kulit semalam suntuk. Dan di pringgitan ini, selain buat belajar gamelan  juga buat mocopatan. " Jelas Pak Yatno sambil ikut membersihkan pringgitan. Sedangkan teman-teman asyik membersihkan pendapa dan sekitarnya.

"Kenapa nggak dipakai lama, Pak?."

"Ini milik kakek saya, Mbak. Dulu dia seorang dalang dan pelukis. Mulai tidak dipakai lagi sejak tahun enam puluh lima. Pada tahun itu kakek pergi dari desa ini ditemani nenek. Yaaa... Terkait isu politik pada waktu itu."

Aku menikmati penjelasan Pak Yatno yang khas logat jawa dan kadang-kadang melucu. Kemudian ia pamit untuk sholat maghrib. Dan aku masih menghela nafas. Duduk di lantai pringgitan merasakan capek yang hinggap sepintas. Juga teman-teman yang nampak rebahan di pendapa dengan gaya yang santai. Aku tersenyum melihat polah mereka.

Sore semakin pekat. Gelap semakin hinggap. Tapi enggan aku beranjak pergi dari pringgitan sejuk ini, ditemani tiupan angin yang dikirim dari sela-sela pohon kelapa. Aroma dedaunan timbul tenggelam menambah damai para pencium semesta. Aroma bunga sedap malam milik Ibu pun ikut terbawa angin menerpa wajah. 'Tunggu. Sedap malam?. Lho, Pak Yatno punya juga tanaman itu. Hmmm...' Batinku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun