Mohon tunggu...
Dewi Laxmi
Dewi Laxmi Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumah tangga

Membaca, memasak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Es Krim Nabila

6 November 2023   09:47 Diperbarui: 6 November 2023   09:59 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dentuman bom terdengar lagi. Tak lama kemudian terdengar isak tangis Nabila, putriku.

Aku segera mencuci tangan yang tadi sedang asyik menyiangi sayuran yang akan kumasak.

"Kakak, kenapa?" tanyaku sambil duduk di tepi tempat tidurnya.

Nabila tak langsung menjawab. Isaknya makin terdengar. Segera kubalikkan tubuhnya yang sejak tadi tengkurap. Lalu kupangku dan kubelai rambutnya. Kemudian kuhapus air mata Nabila yang sudah menganak sungai.

"Kakak sedih, Bun," ucapnya sambil sesenggukan.

Aku menjadi sedikit panik mendengar jawabannya. Karena saat kutinggal ke dapur tadi emosinya sedang baik-baik saja. Malahan dia sedang asik bermain bersama dua bonekanya yang diberi nama Farah dan Adiba.

"Apa yang membuat Kakak sedih?" tanyaku penasaran.

"Bunda dengar tadi suara bom di TV?"

Aku mengangguk. 

"Kakak takut dengar suara bom? Itu bukan di sini, Nak. Itu di negara Palestina," cerocosku.

Bukannya menjawab pertanyaanku, Nabila justru semakin keras tangisnya. Aku makin mengeratkan pelukan. Memang salahku karena sedikit menyaringkan suara TV. Namun, sebenarnya tak ada maksud lain, kecuali tak ingin ketinggalan berita terbaru dari perang Palestina-Israel. Sungguh tak pernah terpikir olehku jika akan membuat Nabila ketakutan seperti ini.

"Maafkan Bunda, ya Nak. Setelah ini Bunda tak akan lagi membiarkan kamu mendengar suara bom atau tembakan-tembakan itu," ucapku sambil mencium kedua pipi putri sulungku.

"Bunda tidak salah. Orang yang melempar bom itu yang salah. Di situ kan pasti ada sekolahan. Di situ juga pasti ada anak-anak yang lagi jajan. Mereka kena bom, Bun. Mereka ...."

Nabila tak meneruskan ucapannya lagi. Sepertinya dia tak sanggup. Namun, aku paham lanjutan kalimat yang akan diucapkan olehnya. Dia pun makin terisak.

Aku terus memeluknya. Aku ingin memberikan rasa aman pada dirinya, hingga akhirnya Nabila kembali bersuara.

"Bun, pasti ada kan anak-anak yang masih selamat. Mereka enggak mati semua kan?"

Aku mengangguk.

"Allah yang menjaga mereka," kataku.

"Bun, kalau sedang perang orang tua enggak bisa bekerja, berarti kan enggak dapat uang. Terus dari mana mereka dapat uang buat beli makanan?"

Pertanyaan Nabila begitu menyentuh hatiku. Kaget saja anak berusia lima tahun sudah berpikiran kritis seperti itu. Tak terasa air mataku menetes. Terbayang betapa mencekamnya situasi di sana. Benar kata Nabila, tak ada orang tua yang bisa mencari nafkah untuk anak-anak mereka. Suasana pasti selalu mencekam dan menakutkan.

"Allah maha kaya, Nak. Allah juga maha mencukupi," lanjutku.

"Allah mengirimkan makanan?" tanyanya dengan antusias.

Aku mengangguk.

"Wah, Nabila juga mau mengirimkan makanan untuk teman-teman Nabila di sana!"

Aku tersenyum mendengar ucapannya. Terbersit kekaguman padanya.

Betapa sikap peduli terhadap sesama sudah hidup dalam dirinya, padahal usianya masih sangat muda. Aku menjadi terharu. Dan juga menjadi tenang karena Nabila sudah kembali tersenyum 

"Allah memberi makanan lewat para dermawan di seluruh dunia, Nak."

Nabila menatap wajahku. Sepertinya dia tak memahami ucapanku.

"Sekarang, di seluruh dunia, termasuk di negara kita, orang-orang mulai menyisihkan rezekinya untuk membantu perjuangan rakyat Palestina. Mereka mengumpulkan uang untuk kemudian dibelikan barang-barang yang diperlukan oleh saudara-saudara kita yang ada di sana," ucapku.

Nabila manggut-manggut.

Aku menjadi gemas melihat tingkahnya. Setelah melihatnya lebih baik ku tinggalkan Nabila untuk melanjutkan acara masakku.

Aktivitas pun terus berjalan. Hingga keesokkan harinya, pukul 10 aku menjemput Nabila di sekolahnya.

"Bun, kita mampir ke warung dulu ,boleh? Nabila mau beli es krim," ucapnya sebelum naik ke atas motor.

Aku mengiyakan.

Setelah di warung, gadis kecilku langsung menuju frezeer es krim. Dan tanpa disangka Nabila langsung mengambil 10 es berbagai rasa.

"Kakak, kok beli esnya banyak sekali. Enggak takut batuk?" tanyaku dengan lembut.

"Ini bukan untuk Nabila kok. Es-es ini akan Nabila kasih kepada anak-anak yang bapaknya lagi perang itu."

Aku terkesiap mendengar ucapan anakku.

"Tapi, Nak es itu tak bisa dikirim ke Palestina. Keburu mencair. Palestina kan jauh."

"Nabila enggak mau tau. Pokoknya Nabila mau memberi es ini buat teman-teman. Mereka pasti haus, Bun," ucapnya dengan mata yang berkaca-kaca.

Akhirnya aku hanya pasrah mengikuti keinginannya. Sebagai ibu tentu saja tidak ingin mematahkan keinginan anaknya untuk berbagi terhadap sesama.

Setelah membayar semua yang Nabila beli, aku pun mulai berjalan menuju rumah. Namun, sebelum sampai ke rumah, kami melewati posko pengumpulan dana untuk warga Palestina.

"Bun, berhenti dulu!" 

Tiba-tiba Nabila berteriak.

Aku segera menghentikan motorku setelah memberikan tanda sein kiri.

"Kenapa, Nak?"

"Bun, es nya kasih ke Om-om yang ada di situ. Biar Om-om itu yang akan memberikan ke teman-teman Nabila."

Lidahku mendadak kelu mendengar keinginan Nabila. Namun, karena dia terus merengek dan tak mau kuajak pulang, akhirnya mau tak mau aku pun mendatangi posko bantuan itu.

"Selamat siang Ibu, ada yang bisa kami bantu?" sapa seorang wanita muda yang sedang duduk di depan meja yang di atasnya terdapat sebuah dus besar yang dibungkus kertas putih dengan tulisan DONASI UNTUK PALESTINA.

Belum sempat aku menjawab pertanyaan mbak berbaju hijau itu, Nabila sudah mengambil alih untuk menjawab.

"Tante, Nabila boleh kan mengirimkan es krim buat teman-teman Nabila yang orangtuanya lagi perang itu?"

Kulihat mbak berbaju hijau dan dua temannya laki-lakinya saling pandang. Dan belum sempat mereka mencerna ucapan anakku, Nabila langsung menyerahkan sekantong es krim yang tadi dibeli.

"Ini Om, Tante es krimnya. Kasihkan ke teman Nabila ya, biar mereka enggak kehausan."

Dengan masih kebingungan, mbak berbaju hijau itu mengambil plastik yang Nabila berikan. Akhirnya karena kasihan melihat mereka yang terus berpikir, aku pun menjelaskan maksud Nabila. Mereka menjadi paham dan memakluminya.

"Kalau begitu es krimnya biar Om yang beli, nanti uangnya bisa Nabila pakai buat memberi bantuan pada teman-teman di Palestina. Boleh begitu?" tanya salah satu laki-laki yang ada di pos itu.

Nabila mengangguk dan tersenyum semringah. Apalagi saat memasukkan selembar uang berwarna biru yang diberikan kepadanya.

"Terima kasih, Nabila sudah mau berbagi dengan teman-teman di sana."

Nabila mengangguk lagi.

"Jangan lupa sampaikan uang Nabila ya, Om, biar mereka bisa beli es krim," celotehnya lagi sebelum naik ke motor.

Para petugas yang ada di posko itu pun tertawa mendengar pesan Nabila.

"Siaaap, Kakak Nabila!" ucap salah satu petugas dengan sikap tegap. 

Balikpapan, 6 November 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun