Bukannya menjawab pertanyaanku, Nabila justru semakin keras tangisnya. Aku makin mengeratkan pelukan. Memang salahku karena sedikit menyaringkan suara TV. Namun, sebenarnya tak ada maksud lain, kecuali tak ingin ketinggalan berita terbaru dari perang Palestina-Israel. Sungguh tak pernah terpikir olehku jika akan membuat Nabila ketakutan seperti ini.
"Maafkan Bunda, ya Nak. Setelah ini Bunda tak akan lagi membiarkan kamu mendengar suara bom atau tembakan-tembakan itu," ucapku sambil mencium kedua pipi putri sulungku.
"Bunda tidak salah. Orang yang melempar bom itu yang salah. Di situ kan pasti ada sekolahan. Di situ juga pasti ada anak-anak yang lagi jajan. Mereka kena bom, Bun. Mereka ...."
Nabila tak meneruskan ucapannya lagi. Sepertinya dia tak sanggup. Namun, aku paham lanjutan kalimat yang akan diucapkan olehnya. Dia pun makin terisak.
Aku terus memeluknya. Aku ingin memberikan rasa aman pada dirinya, hingga akhirnya Nabila kembali bersuara.
"Bun, pasti ada kan anak-anak yang masih selamat. Mereka enggak mati semua kan?"
Aku mengangguk.
"Allah yang menjaga mereka," kataku.
"Bun, kalau sedang perang orang tua enggak bisa bekerja, berarti kan enggak dapat uang. Terus dari mana mereka dapat uang buat beli makanan?"
Pertanyaan Nabila begitu menyentuh hatiku. Kaget saja anak berusia lima tahun sudah berpikiran kritis seperti itu. Tak terasa air mataku menetes. Terbayang betapa mencekamnya situasi di sana. Benar kata Nabila, tak ada orang tua yang bisa mencari nafkah untuk anak-anak mereka. Suasana pasti selalu mencekam dan menakutkan.
"Allah maha kaya, Nak. Allah juga maha mencukupi," lanjutku.