Mohon tunggu...
Dewi Laxmi
Dewi Laxmi Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumah tangga

Membaca, memasak

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

P i n j a m

3 November 2023   14:57 Diperbarui: 3 November 2023   15:22 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Aku enggak mau ada pesta di rumah ini, Bun! Aku enggak ingin punya teman!"

Teriakan Sinta yang bercampur amarah kembali terngiang.

Aku memijat kepala yang tiba-tiba terasa sakit.

Ada apa dengan putri sulungku? Mengapa dia sering tiba-tiba marah. Namun, sering

pula terlihat lembut dan anggun. Padahal usianya baru enam tahun. 

Apakah ... ?

Ah ....

Aku memejamkan mata dan mencoba mengingat-ingat kembali serpihan kisah sembilan tahun yang lalu.

"May, kata temanku di kaki Gunung Galunggung ada nenek tukang urut yang bisa membantu kita memiliki keturunan. Kamu mau ya, ke sana. Siapa tahu kita berjodoh."

Mas Pram suamiku sedikit memaksa.

Kupindai wajah tampan laki-laki yang sudah menikahiku selama tiga tahun ini. Dari sorot matanya aku dapat artikan betapa dia begitu mendamba kehadiran seorang anak di keluarga kecil kami.

Aku mengembuskan napas, sedikit berat.

Namun, akhirnya kuanggukan kepala.

Khayalku mengelana kembali. Mengingat kejadian-kejadian yang menurutku terasa aneh. Atau mungkin pikiranku saja yang tidak sampai ke sana.

Terlebih ketika kami sampai di tempat yang dituju. Nenek tukang urut yang kemudian minta dipanggil Nyai Imas itu sudah mengetahui maksud kedatanganku bersama suami.

"Siapkan tujuh lembar kain jarik pada usia kehamilanmu empat bulan nanti. Saat itu Nyai akan memandikanmu dengan rendaman tujuh macam bunga dan airnya berasal dari tujuh sumber!"

Deg!

Aku dan mas Pram saling tatap.

"Ba-baik Nyi."

Itu saja yang kudengar dari mulut mas Pram setelah agak lama kami terdiam.

"Bun ...."

Panggilan mas Pram membuyarkan lamunanku.

"Kamu masih bingung ya?"

Aku mengangguk.

"Pantesan ya Bun, kalau kita ajak ke pantai dia lebih senang mengubur kedua kakinya kemudian menggoyang-goyangkan, persis seekor ular," ujar mas Pram.

Aku bergidik.

"O iya Mas aku juga ingat. Selama ini aku tak pernah bisa mencubit paha Sinta, rupanya yang kucubit badan yang ditumbuhi sisik. Astaghfirullah," kataku menyambung perkataan mas Pram.

Kemudian kami pun mengingat-ingat kejadian aneh yang pernah kami alami bersama Sinta.

Salah satunya adalah kebisaan Sinta mengobati aku, ayah dan adiknya bila sedang sakit.

"Sini Yah, Sinta urut badannya biar Ayah tak izin lagi dalam bekerja," ujar Sinta suatu hari.

Ajaib, mas Pram langsung sehat setelah diurut sama Sinta. Kejadian ini pun terjadi padaku dan adiknya yang menderita sakit panas. Dengan sentuhan tangannya, Sinta bisa mengusir panas dan menjadikan aku dan adiknya sehat dengan cepat. 

"Bun, pantesan orang-orang selalu bilang kalau Sinta itu sangat cantik, ayu dan anggun. Enggak taunya ...."

Kulihat mas Pram menghela napas berat, tak melanjutkan ucapannya. Begitu pun dengan diriku. Berat rasanya menerima kenyataan ini. Apa salah kami? Kenapa anak kami yang dipilih untuk dipinjam raganya?

Sebegitu banyakkah dosa yang telah aku dan suami perbuat? Ya Allah, ampuni kami.

Aku dan suami terus berusaha untuk melepaskan Sinta dari mahluk terkutuk itu. Tak sedikit orang pintar atau ustaz yang kami mintai tolong, tetapi semua jawabannya hampir sama ; dia tak mengganggu. Dia hanya ingin menjaga anakku. Dan dia berasal dari leluhur suamiku.

Bulshit!

Istighfar tak henti-henti kugaungkan. Sungguh ini pengalaman yang masih belum bisa kuterima dengan akal. Beruntung di delapan tahun usia Sinta, aku bertemu seseorang yang bisa menjelaskan dengan gamblang, siapa dan apa serta dengan maksud apa dia berada dalam tubuh anakku. 

Uwak Salim, seseorang yang tak sengaja bertemu saat aku dan suami sedang kontrol ke rumah sakit karena penyakit yang diderita suamiku.

Kaget dan tak menyangka saat mendengar penjelasan dari laki-laki berusia 55 tahun itu, bahwa mahluk siluman yang berwujud setengah manusia dan setengah ular adalah putri dari kerajaan bawah laut. Dia meminjam raga Sinta agar bisa bermain-main di alam manusia. Namun, keberadaannya tentu saja bisa memberikan dampak buruk bagi perkembangan tubuh kembang dan kejiwaan Sinta, anakku. Air mata tak lagi kuasa kubendung. Aku menangisi nasib anakku.

Kepalaku bertambah berdenyut ketika mengingat itu semua. Seenaknya saja dia mengatakan meminjam raga anakku. Tak pernah dipikirkan dampak ke anakku yang mengalami perubahan tak normal.

"Sinta, kok makan ayam gorengnya banyak sekali?" tanyaku saat kami sedang makan bersama.

"Sinta lapar, Bun," jawabnya sambil mengambil potongan ke tujuh dari sepuluh potong ayam yang kusajikan di atas piring.

Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

Begitupun saat dia mengambil potongan semangka yang kusajikan sebagai buah pencuci mulut.

"Sinta ...!" teriakku sambil menutup mulut.

Sinta hanya tersenyum melihat aku yang terpana menyaksikan dia yang dengan cepat melahap habis satu piring semangka.

"Bun, sudahlah. Sekarang kita sudah bisa tenang."

Mas Pram mengelus tanganku. Menyadarkanku ke alam nyata.

"Bunda, Sinta mau main sepeda dulu sama Bela dan Novi, ya," pamit Sinta sambil mengeluarkan sepeda mini yang dibelikan mas Pram dua tahun lalu dan masih terlihat baru karena tak pernah dipakai.

"Ini sudah si ...."

Aku tak melanjutkan ucapan saat mas Pram menutup mulutku dengan tangannya.

"Bukankah ini yang kita inginkan?"

Aku menatapnya dengan heran. Namun, tak lama aku pun memahaminya. Dan kami pun saling melempar senyum.

Balikpapan, 3 November 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun