Matahari pagi seperti memberi siraman energi. Aku ingin berguling-guling. Atau, sekedar mengejar belalang dan kucing kecil. Tapi aku sudah bukan lagi kucing mungil. Aku sudah besar, kucing dewasa, Nero, demikian majikanku memanggil.
Menjadi kucing dewasa membuat beberapa keasyikanku menurun drastis. Dulu aku sangat ingin segera menjadi kucing besar dan menjadi pimpinan kucing di kompleks ini. Tapi kini aku merasa ingin menjadi Nero kecil lagi.
Dulu aku kucing utama. Kucing satu-satunya dan paling disayang. Majikanku hanya melihatku sebagai kucingnya. Aku kucing kesayangannya.
Aku bisa puas dielus-elusnya. Ia memanjakanku dengan ikan dan makanan enak. Ia juga tak marah aku naik ke sofa dan kasurnya.
Tapi kini aku malu untuk dimanjakannya walaupun ingin. Aku menolak digendongnya. Aku mengancam mencakarnya jika ia mengelus tubuhku atau membersihkan wajahku. Padahal aku hanya malu karena aku sudah dewasa. Tahun ini aku akan berusia lima tahun.
Bukan hanya itu. Aku iri pada kucing muda. Ia kucing betina bernama Ponoc. Karena masih kecil dan menggemaskan, majikanku suka memanggilnya si Mungil dengan pandangan gemas.
Majikanku suka mengelusnya. Ia juga suka menggendongnya. Si Mungil juga tak menolak. Ia malah suka dan memerlihatkannya.
Kehadiran Mungil memengaruhi jatah makanku. Ikan kembung kesukaanku harus dibagi dua. Ikan kemasan juga ayam goreng favoritku juga harus dibagi. Oh posisiku sebagai kucing kesayangan mulai goyah. Mungkin majikanku tak lagi menyayangiku.
Tadi sehabis sahur ia hanya memberiku nasi dan ikan kemasan. Ia tak mau repot menggorengkan ikan untukku. Ia juga tak berupaya mengelusku, meskipun aku tahu ia takut ditolak olehku.
Aku sedih. Aku ingin jadi Nero kecil lagi.
---
"Nero, Kamu kenapa?" si kucing Badut menegurku. Aku diam saja. Aku tak begitu suka dengan kucing betina kasar itu.