Mohon tunggu...
Dewi Yuliyanti
Dewi Yuliyanti Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis sesegera mungkin apapun yang ada di benak

Seorang ibu dua anak dan abdi negara

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

ASN: Berkarya Nyata di Antara Ekspektasi dan Realita

7 Januari 2022   07:54 Diperbarui: 8 Januari 2022   05:03 1465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah sebuah mimpi setiap orang di Indonesia. Ada sebuah kebanggaan di sana, sebab menjadi ASN berarti menjadi orang terpilih dari ribuan orang yang mendaftar di seluruh Indonesia. 

Untuk menjadi ASN memang tidak mudah, walaupun sudah mempersiapkan diri dengan matang, tak jarang kesempatan itu hilang juga. 

Maka bersyukurlah saya, di usia yang tidak muda lagi waktu itu yakni 31 tahun saya berhasil menjadi seorang ASN di sebuah kantor pemerintah provinsi. 

Beruntungnya lagi, saya menjadi ASN sesuai dengan bidang yang saya pelajari semasa kuliah di jurusan komunikasi, yaitu sebagai pranata humas pemerintah. 

Saya sangat gembira dan tak sabar untuk segera bekerja setelah tahu saya lolos penerimaan CPNS waktu itu. 

Saya membayangkan betapa hari-hari saya akan sangat menyenangkan karena saya mengerjakan apa yang menjadi cita-cita sejak dulu yakni menjadi humas walaupun di lingkungan pemerintahan.

Apakah bayangan saya itu sesuai dengan apa yang saya hadapi? Ternyata tidak! 

Pada awal bekerja sebagaimana pegawai baru, saya mendapatkan orientasi singkat mengenai tugas pokok dan fungsi saya, namun bukan sebagai pranata humas melainkan sebagai seorang penerima surat pimpinan. Jauh sekali dari apa yang saya bayangkan sebagai humas pemerintah. 

Sepanjang hari saya hanya duduk di depan meja tanpa komputer, hanya sebuah buku catatan besar dan alat tulis saja. 

Tugas saya mencatat surat masuk dan surat keluar bagi pimpinan serta menyerahkan lembar disposisi pimpinan ke bagian-bagian terkait.

 Kantor tempat saya bekerja adalah sebuah biro humas pemerintah provinsi, setiap hari kesibukan yang berlangsung terkait dengan pemberitaan, publikasi dan dokumentasi. 

Rekan-rekan dari media kerap lalu lalang ke kantor bertemu dengan pimpinan. Namun saat itu, pekerjaan saya sama sekali tidak berhubungan langsung dengan itu semua. Saya justru seorang pencatat surat! 

Hal tersebut berlangsung cukup lama sekitar empat tahun sejak saya menjadi CPNS. Ada sebuah pertanyaan bernada protes terbersit, beginikah realita sesungguhnya bekerja sebagai ASN? Diterima dalam formasi pranata humas tapi bekerjanya sebagai pengarsip surat. Sungguh di luar dugaan ekspektasi itu sangat jauh dari realita.

Ilustrasi reality vs expectations | Sumber gambar : smart-money.co
Ilustrasi reality vs expectations | Sumber gambar : smart-money.co

Kisah belum usai, setelah empat tahun menjadi pengarsip surat, haluan saya diubah karena perintah pimpinan menghendaki saya menjadi pengurus barang. Sebuah bidang dan ilmu baru, pikir saya waktu itu. 

Ternyata benar, ilmu ini sama sekali baru, tidak pernah saya pelajari di bangku sekolah dan kuliah. Menjadi pengurus barang berkutat dengan laporan aset berupa barang dan angka penyusutannya belum lagi laporan tahunannya. 

Saya terus bertanya-tany, "Di manakah pranata humas yang selama ini seharusnya menjadi identitas saya sebagai ASN? Mengapa saya keluar masuk pada bidang yang sama sekali tak berhubungan sebagaimana formasi awal saya diperlukan di kantor saya?"

Dengan berbalut pertanyaan tersebut, saya tetap menjalani tugas sebagai pengurus barang dengan segala peluh dan usaha untuk belajar memahami ilmu ini dari nol. 

Syukurlah tugas tersebut dapat saya jalani selama empat tahun berikutnya. Bukan sebuah waktu yang pendek untuk bertahan dengan segala tanya dan "perlawanan" yang berkecamuk di benak.

Secercah harapan muncul saat saya diwajibkan mengurus kefungsionalan pranata humas sebagai syarat kenaikan pangkat. 

Selama lebih kurang delapan tahun, saya baru menyadari bahwa formasi sebagai pranata humas adalah sebuah jabatan fungsional.

Selama itu tidak ada satu sumber pun yang meluruskan, menempatkan saya dan teman-teman fungsional pranata humas pada porsi dan tempatnya. 

Kesempatan ini tentu tidak saya lewatkan, meski harus tertatih kembali untuk "membuka jalan baru" karena sebelumnya belum pernah ada pejabat fungsional di kantor saya.

Saya dan kawan-kawan pranata humas harus belajar sendiri tahap-tahap yang harus dilalui untuk menjadi pejabat fungsional. 

Trial and error adalah kata yang tepat untuk menggambarkan usaha kami saat itu keluar masuk ke Badan Kepegawaian Daerah dan Kementerian Komunikasi dan Informatika demi mengurus inpassing jabatan fungsional pranata humas.

Setelah delapan tahun dari mulai CPNS, akhirnya saya menemukan identitas saya sebagai pranata humas yang sesungguhnya. Itupun tanpa sengaja karena kewajiban memenuhi persyaratan kenaikan pangkat saat itu. 

Bayangkan jika saya tidak menjumpai kesempatan naik pangkat waktu itu, saya mungkin masih tertahan sebagai pengurus barang entah sampai kapan.

Saya tahu saya tidak sendiri, ada banyak ASN yang bernasib sama seperti saya yakni tidak ditempatkan pada posisi sebagaimana formasi awalnya. Banyak yang berkata hal itu wajar terutama para pegawai/ ASN senior, begitulah dunia birokrasi katanya. 

Seorang berlatar pendidikan ekonomi bisa mengerjakan bagian surat-menyurat, atau sebaliknya seorang berlatar pendidikan kejuruan tata boga justru mengurus perencanaan, yang paling parah orang berlatar pendidikan komunikasi (terpaksa) mengerjakan akuntansi! Inilah realita yang masih terjadi di dunia birokrasi kita. 

Meski tidak semua karena saat ini, pemerintah mulai menata diri menjadi birokrasi kelas dunia dimana manajemen pegawainya diatur sesuai kompetensi. 

Namun tak dipungkiri, di beberapa tempat hal seperti ini masih banyak terjadi dan umumnya ASN yang mengalami hal ini tidak mempermasalahkannya alias mencoba bertahan saja.

Dapat dikatakan, penempatan pegawai tidak pada formasi yang seharusnya sesuai latar pendidikan serta kompentensinya masih menjadi masalah dalam mencapai iklim kerja yang profesional.  

Sejauh ini meski di pusat sudah ada upaya untuk merapikan, namun di daerah masih tampak belum terlihat optimal penerapannya, buktinya masih ada ASN yang belum ditempatkan sesuai kompetensinya. 

Selain itu, upaya monitoring dari lembaga terkait seperti Badan Kepegawaian Daerah tampaknya juga belum terlalu dirasakan nyata selain mengurusi hal-hal bersifat rutin seperti kenaikan pangkat atau mutasi jabatan sehingga masalah kompetensi pegawai seperti dibiarkan mengalami seleksi alam dengan sendirinya.

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) telah menindaklanjuti arahan Presiden RI Joko Widodo terkait penyederhanaan birokrasi yang mengalihkan jabatan eselon III dan eselon IV ke dalam jabatan fungsional. Hal ini menjadi momentum yang tepat dan menjadi awal yang baik mengurai kerumitan manajemen kepegawaian ASN selama ini. 

Dengan langkah tersebut birokrasi pusat dan daerah dapat merapikan barisannya, menempatkan sumber daya manusianya sesuai dengan kompetensi yang hasil kerjanya dapat diukur dan memberi nilai lebih pada lembaga dan masyarakat yang dilayaninya. 

Mengalihkan jabatan struktural ke fungsional merupakan pilihan yang sulit untuk ditawar lagi jika ingin mewujudkan birokrasi profesional bahkan berkelas dunia.

Sebagai seorang pejabat fungsional pranata humas ahli pertama, saya sendiri merasakan dampak positif dalam bekerja. Saya menjadi lebih terarah karena tahu ada target yang harus dicapai untuk itu saya harus menyusun strategi agar dapat mencapai target tersebut. 

Di sinilah ASN dituntut kemandirian dan proaktif agar mampu melahirkan output sebagai bentuk kontribusi bagi lembaga. 

Selain itu, bekerja sesuai bidang yang diminati tentu lebih menyenangkan daripada terpaksa mengerjakan bidang yang tidak kita mengerti. Walaupun kita mampu mempelajarinya namun yakinlah hasilnya tak kan sebagus karya yang lahir dari hati.

Namun demikian, mengubah situasi pada sebuah kondisi ideal tentu memakan waktu karena menyangkut pengelolaan manajemen yang rumit. 

Untuk itu saya tetap memberi dukungan semangat bagi rekan ASN yang saat ini mungkin masih berjuang menemukan "identitasnya" alias masih ditempatkan di posisi yang tidak sesuai formasi awal atau tidak "enjoy", segeralah menempuh atau mempelajari informasi seputar jabatan fungsional yang sesuai dengan minat dan kemampuan. 

Tetaplah bersabar dan terus berkarya walau ekspektasi tak sesuai realita. Siapa tahu apa yang kita lakukan saat ini adalah batu loncatan yang mengasah kemampuan kita untuk sampai pada tujuan yang sesungguhnya yakni mengabdikan kemampuan dan keterampilan yang kita miliki bagi kemajuan daerah, bangsa dan negara. 

(Tulisan diterbitkan dalam Buku kompilasi "Harapan Untuk ASN Indonesia, 50 Esai Terbaik Call for Essay, Abdi Negara Muda, terbit 2021)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun