Setelah beberapa menit berlalu, Lely akhirnya memutuskan untuk bergerak. Dia menyusun kalimat-kalimat dalam pikirannya, mencoba untuk tidak terlalu canggung.
"Ded, kamu ngomongnya kok pelit banget sih?", tanya Lely sambil mengorek pasir putih pantai Kuta. Mentaripun mulai bersimpuh di kaki barat pantai.
Warna jingga sangat mempesona. Dedi berpikir harus jawab apa biar mengena. Dia menyembunyikan perasaan grogi. Dia sendiri baru merasa getar yang berbeda dihadapan perempuan yang bernama Lely.
"Mungkin karena terbiasa fokus melukis.", jawab Dedi sambil menghisap rokoknya.
"Kepada gadis lain juga?"
"Mungkin hanya kepadamu.", Dedi coba memancing. Wajah Lely memerah. Dedi dapat membaca ada perasaan berbeda di hati Lely. Apakah dia menyimpan sesuatu tentang diriku?
"Ded, itu bukan jawaban yang aku harap. sangat menyakitkan". Kata Lely. Kelihatan sedikit kecewa. Ia menatap jauh, seakan hampa dari harapan yang ditunggunya.
"Lel, maafkan diriku. Jujur ku katakan karena baru kali ini aku bercengkrama serius dengan seorang gadis. Ya, hanya kamu".
Dedi memperhatikan wajah gadis manis yang sedikit tersenyum. Desiran angin laut mengibas rambut berderai, menambah anggun. Dalam remang malam, Dedi memberanikan diri memegang tangan Lely. Toh yang melihat hanya deburan ombak pesisi Kuta, pikirnya. Hati Lely terperanjat. Ada getar mengalir di dadanya.
"Ded, aku minta pengertianmu. Bisakah kau rasakan aku jauh-jauh dari Jakarta, agar kesendirianku bertemu di Ubud."
"Tapi itu perasaan Lely. Setiap orang punya rasa."