Mohon tunggu...
I Dewa Nyoman Sarjana
I Dewa Nyoman Sarjana Mohon Tunggu... Guru - profesi guru dan juga penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

hobi membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pantai Kuta

22 Maret 2024   15:54 Diperbarui: 22 Maret 2024   19:02 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar poto pixabay gratis

PANTAI KUTA

DN Sarjana

Hari ini, sore terasa lebih lama bagi Lely. Ia bosan tidur di kamar hotel. Sesekali dia menonton tv. Lely mencari channel yang menayangkan tentang fashion. Ia suka dunia fashion. Saat itu dia menemukan acara televisi Amerika making the cut, acara yang menampilkan kompetisi mode. Tidak hanya desain fashion, tetapi juga menggali kompetisi manajemen bisnis para desainer. Lely sangat asik menonton. Tidak disadari suasana agak gelap terlihat di lobi kamar hotel. Dia bergegas menengok. Uh, ternyata sudah menjelang malam, pikirnya. Dia  sedikit berlari pergi ke kamar mandi. Dia ingat janji dengan Dedi.

Sedang asik berdandan, hp yang dia taruh di atas meja berbunyi. Lely bergegas mengambilnya.

"Lely kau dimana?. Aku mau berangkat.

"Iya Ded. Aku masih di hotel. Aku tunggu. Jauh ya Ubud ke Kuta?"

"Kalau dekat aku jalan kaki".

"Ah, Dedi. Kau selalu bercanda".

"Ya, biar tidak jenuh menunggu".

***

Lely memandangi hp di tangannya. Hatinya bergetar. Ternyata dia memang datang. Lely sibuk memilih gaun malam yang pas. Dia membayangkan, Dedi laki-laki yang cuekan. Pastilah dia tidak suka melihat penampilanku yang serius. Lely memilih celana jin dan baju putih tanpa leher. Rasanya pas untuk suasana malam. Pikirnya.

Dia sabar menunggu kehadiran Dedi. Dipandanginya bayang di almari kaca. Apakah penampilanku udah pas menurut Dedi ya, pikirnya. Beberapa kali ia melepas senyumnya di depan cermin. Tumben ia tidak percaya diri. Apakah karena ia akan bertemu dengan laki-laki yang ia kagumi?

Grab terlihat melintas dan berhenti di depan hotel tempat Lely menginap. Dedi keluar dari mobil sambil membayar sewa mobil.  Dedi menghubungi Lely lewat whatsapp. Lely yang merasa gelisah menunggu kehadiran Dedi setiap saat melihat hpnya. Hingga kemudian hp Lely bergetar. Cepat-cepat dia mengambil. Ada WhatsAap yang masuk. "Lely, aku sudah di lobi hotel". Lely bergegas keluar kamar. Dia turun lewat lif biar cepat sampai di lobi.

"Hai, sapa Dedi duluan. Maafkan aku terlambat.", kata Dedi  sambil menyalami Lely. Mereka sama-sama terkesima. Dedi tak nyangka gadis yang dia lukis, senja menjelang malam ini begitu anggun. Dia ragu apa ia. Sementara Lely nggak nyangka Dedi tampilannya seperti itu. Cuek aja. Itu lho, celana jeannya, seperti yang itu aja. Beberapa tampak bekas cat lukis. Uh, bener dah kata orang kalau seniman itu.

"Aku merasa sudah lama menunggumu," kata Lely sambil memandang mata Dedi. Sementara Dedi tersenyum memandangi gadis di depannya.

Pertemuan mereka tidak lama di lobi hotel. Mereka sepakat memanfaatkan waktu yang singkat.

"Kita kemana Lely?" Tanya Dedi memecah kebisuan.

"Terserah Mas Dedi. Aku tidak tahu daerah sini".

 "Aku bawa kemana saja ya. Silahkan boncengan".

"Yuk naik boncengan".

"Pelan-pelan ya Mas Dedi. Aku takut".

"Tenang aja. Di Kuta tidak boleh ngebut, karena jalannya memang macet".

Dedi melaju bersama Lely. Sesekali dia meliuk ditengah kendaraan roda empat. Sesekali juga Lely harus memeluk pinggang Dedi saking takutnya. Menjelang malam, udara di Kuta terasa aga hangat dan lembut. Jalan Pesisir, terlihat deretan bar, klub, dan restoran, dipenuhi dengan berbagai suara dan cahaya.

Wisatawan dari berbagai penjuru dunia menciptakan suasana yang semarak. Pantulan sinar lampu laser dan LED menari-nari di sekitar, menciptakan efek visual yang luar biasa. Di sudut-sudut klub, terdapat bar-bar yang ramai.

Tempat pertama yang dituju adalah beachwalk shoping center. Dedi ingin menikmati copi sambil memandangi sunsite di pantai Kuta. Tidak berselang lama, mereka sudah sampai. Dedi memarkirkan motornya. Setelah memesan kopi, mereka sepakat membawa ke pantai agar bisa melihat sunset.

"Ayo, minum kopi susunya".

"Oh ya. Aku hampir lupa. Makasi Ded. Wah, indahnya pantai di sini ya".

"Pantai ini memang pas untuk pacaran".

Sampai disitu Dedi menghirup kopi hitam kesukaannya. Sedotan rokok yang dalam, menandakan dia menikmati sesuatu.

"Ya, seperti kita ini. Tidak apa-apa".

Lely, sebenarnya memancing Dedi agar dia lebih terbuka. Ada perasaan cinta yang tumbuh mulai saat mengambil lukis dirinya. Tapi dia merasa tidak pantas menyampaikan pada Dedi. Keduanya mulai makan dan berbicara tentang segala hal. Tetapi ada sesuatu yang ingin mereka katakan. sesuatu yang lebih dalam, dari sekadar candaan dan obrolan ringan.

Lely yang pemalu merasa canggung ketika harus berbicara dengan orang yang baru dikenalnya. Lely merasa detak jantungnya berdegup kencang. Ia tidak tahu harus berkata apa. Harus memulai dari mana. Ia tahu Dedi itu lelaki yang sedikit bicara, apalagi dengan Aku yang baru dikenalnya. Lely menggigit bibirnya, mencoba untuk mengumpulkan keberaniannya.

Setelah beberapa menit berlalu, Lely akhirnya memutuskan untuk bergerak. Dia menyusun kalimat-kalimat dalam pikirannya, mencoba untuk tidak terlalu canggung.

"Ded, kamu ngomongnya kok pelit banget sih?", tanya Lely sambil mengorek pasir putih pantai Kuta. Mentaripun mulai bersimpuh di kaki barat pantai.

Warna jingga sangat mempesona. Dedi berpikir harus jawab apa biar mengena. Dia menyembunyikan perasaan grogi. Dia sendiri baru merasa getar yang berbeda dihadapan perempuan yang bernama Lely.

"Mungkin karena terbiasa fokus melukis.", jawab Dedi sambil menghisap rokoknya.

"Kepada gadis lain juga?"

"Mungkin hanya kepadamu.", Dedi coba memancing. Wajah Lely memerah. Dedi dapat membaca ada perasaan berbeda di hati Lely. Apakah dia menyimpan sesuatu tentang diriku?

"Ded, itu bukan jawaban yang aku harap. sangat menyakitkan". Kata Lely. Kelihatan sedikit kecewa. Ia menatap jauh, seakan hampa dari harapan yang ditunggunya.

"Lel, maafkan diriku. Jujur ku katakan karena baru kali ini aku bercengkrama serius dengan seorang gadis. Ya, hanya kamu".

Dedi memperhatikan wajah gadis manis yang sedikit tersenyum. Desiran angin laut mengibas rambut berderai, menambah anggun. Dalam remang malam, Dedi memberanikan diri memegang tangan Lely. Toh yang melihat hanya deburan ombak pesisi Kuta, pikirnya. Hati Lely terperanjat. Ada getar mengalir di dadanya.

"Ded, aku minta pengertianmu. Bisakah kau rasakan aku jauh-jauh dari Jakarta, agar kesendirianku bertemu di Ubud."

"Tapi itu perasaan Lely. Setiap orang punya rasa."

"Apa tidak cukup?" Apa aku harus katakan aku mencintaimu Dedi?"

"Baiknya seperti katamu.", Dedi berusaha menggoda.

Lely merebahkan wajahnya di dada Dedi. Dia lalu bercerita banyak tentang kehidupannya. Selama ini dia merasa hampa. Sebagai anak mami, anak pengusaha, pastilah berkecukupan. Apa yang dia mau terpenuhi. Tapi dia kehilangan kasih sayang. Hari-harinya sepi. Keluarga mereka sibuk soal bisnis.

"Terburu-buru mengambil keputusan tidaklah baik. Bagiku cinta itu anugrah.", jawab Dedi sambil memandangi wajah Lely.

"Ya, anugrah Ded. Aku yang sangat merasakan. Kekosongan bathinku selama ini terobati karenamu. Aku mencintaimu."

Dedi mengambil keputusan yang sangat sulit demi seseorang disampingnya. Dia tahu bagaimana rasa kehilangan. Dia jauh-jauh dari Yogja ke Ubud, semata juga melepas kebuntuan ekspresi dalam hidupnya. Dia ingin katakan bahwa hidup adalah bagian dari  seni yang bisa dinikmati.

"Biarkan cinta berjalan sesuai fitrahnya. Hari sudah gelap. Baiknya kau balik ke hotel Lely. Nanti ibu mu marah".

"Dedi, beri aku menikmati malam ini bersamamu. kau lihatlah burung camar itu. Dia bebas, terbang kemana. Entah debur ombak keberapa, aku menunggu jawabanmu dedi. Kau tetap saja membisu". Lely memandangi Dedi. Sorot mata penuh pengharapan terpancar.

"Aku menunggu jawabanmu".

"Pada pertemuan lain pasti kuucapkan ".

Hati Lely terasa sedikit kecewa. Begitu sulitnya kata cinta terucap dari bibir Dedi. Lely sangat mengagumi Dedi. Dia yang membuat hatinya luluh dalam buaian cinta.

Hari sudah cukup malam, mereka meluncur di jalanan. Malam di Kuta begitu indah karena jalanan dihiasi lampu warna-warni. Suara musik di club, cafe menambah semarak suasana.

Disepanjang jalan cerita mereka berdua tiada berhenti. Semakin lama semakin nyaman satu sama lain. Percakapan mereka pun mengalir lebih lancar, dan mereka menemukan banyak kesamaan.

Saat malam semakin larut, keduanya merasa bahwa mereka sudah mengenal satu sama lain lebih baik. Mereka berjanji untuk bertemu lagi dan menghabiskan lebih banyak waktu bersama.

Momen pertemuan mereka akhirnya menjadi kenangan yang manis. Lely belajar bahwa kadang-kadang, berkata-kata saat pertama kali bertemu seseorang memang sulit, tetapi dengan kesabaran dan keberanian, bisa saja muncul hubungan yang indah. Dan itulah yang terjadi pada pertemuan antara Lely dan Dedi.

"Ingat ambil lukisannya ya Lely".

"Pasti ku ambil Dedi".

***

Mereka kemudian berpisah seiring bertambahnya malam.  Grab sudah ada di depan Dedi. Ia pun pamitan sama Lely sambil menggenggam tangannya.  Di sepanjang jalan, dia melihat jalanan cukup ramai. Beberapa titik lampu yang indah terpasang di perkotaan.

            Malam itu grab yang ditumpangi Dedi mengambil jalan pintas, sehingga lampu indah di Kota Gianyar tidak sempat dia nikmati. Berjalan melintas di alam pedesaan, Dedi merasakan kedamaian dan keheningan. Cahaya bulan purnama memberikan pemandangan yang indah, mengingatkan pertemuannya dengan Lely

Perjalanan malamnya telah memberikan pengalaman yang tak terlupakan. Dedi tahu bahwa dia akan selalu mengingat malam itu, ketika dia bertemu seorang gadis pujaan hatinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun