"Tenang aja. Di Kuta tidak boleh ngebut, karena jalannya memang macet".
Dedi melaju bersama Lely. Sesekali dia meliuk ditengah kendaraan roda empat. Sesekali juga Lely harus memeluk pinggang Dedi saking takutnya. Menjelang malam, udara di Kuta terasa aga hangat dan lembut. Jalan Pesisir, terlihat deretan bar, klub, dan restoran, dipenuhi dengan berbagai suara dan cahaya.
Wisatawan dari berbagai penjuru dunia menciptakan suasana yang semarak. Pantulan sinar lampu laser dan LED menari-nari di sekitar, menciptakan efek visual yang luar biasa. Di sudut-sudut klub, terdapat bar-bar yang ramai.
Tempat pertama yang dituju adalah beachwalk shoping center. Dedi ingin menikmati copi sambil memandangi sunsite di pantai Kuta. Tidak berselang lama, mereka sudah sampai. Dedi memarkirkan motornya. Setelah memesan kopi, mereka sepakat membawa ke pantai agar bisa melihat sunset.
"Ayo, minum kopi susunya".
"Oh ya. Aku hampir lupa. Makasi Ded. Wah, indahnya pantai di sini ya".
"Pantai ini memang pas untuk pacaran".
Sampai disitu Dedi menghirup kopi hitam kesukaannya. Sedotan rokok yang dalam, menandakan dia menikmati sesuatu.
"Ya, seperti kita ini. Tidak apa-apa".
Lely, sebenarnya memancing Dedi agar dia lebih terbuka. Ada perasaan cinta yang tumbuh mulai saat mengambil lukis dirinya. Tapi dia merasa tidak pantas menyampaikan pada Dedi. Keduanya mulai makan dan berbicara tentang segala hal. Tetapi ada sesuatu yang ingin mereka katakan. sesuatu yang lebih dalam, dari sekadar candaan dan obrolan ringan.
Lely yang pemalu merasa canggung ketika harus berbicara dengan orang yang baru dikenalnya. Lely merasa detak jantungnya berdegup kencang. Ia tidak tahu harus berkata apa. Harus memulai dari mana. Ia tahu Dedi itu lelaki yang sedikit bicara, apalagi dengan Aku yang baru dikenalnya. Lely menggigit bibirnya, mencoba untuk mengumpulkan keberaniannya.