Mohon tunggu...
I Dewa Nyoman Sarjana
I Dewa Nyoman Sarjana Mohon Tunggu... Guru - profesi guru dan juga penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

hobi membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mencintai Dirimu, Tidak Harus Memiliki

18 Juli 2023   12:54 Diperbarui: 18 Juli 2023   12:57 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber poto pixabay.com (Gratis)

 

"Aku sudah masuk daerah Gatsu. Mungkin sepuluh menit lagi akan nyampe".

Begitu suara gadis kudengar dari HP. Aku menjawab iya iya saja. Sambil duduk di atas motor aku membayangkan dia yang lama kurindu. Setahun aku tak bertemu. Anggi teman dekat waktu SMA mendapat tugas belajar ke luar daerah mencari keahlian dibidang pendidikan. Tepat di depanku berhenti bus tayo. Seorang perempuan turun perlahan. Aku menatapnya penuh pesona.

"Kau anggi?". Aku mendekat penuh percaya diri. Dia tersenyum lalu merangkulku. Tak sepatah katapun keluar, kecuali rangkulannya kian erat dan sorot matah jatuh dipandanganku. Akupun ikut memeluknya dengan belaian di rambut. Pikiranku nelangsa. Mencintai seseorang sangatlah bahagia bila dia mencitaiku pula. Dan hari ini cinta itu telah membuktikan. Berpisah setahun justru menambah hangatnya cinta kami berdua.

"Dirimu sangat berbeda dari anggi yang kenal dulu".

"Apanya beda?"

"Cantikmu"

"Uss... Mulai pintar ngerayu ya. Yuk cepetin. Katanya mau muter muter". Aku memasukan helm di kepala Anggi. Dengan cekatan Anggi naik berboncengan. Sepanjang perjalanan kami menyampaikan cerita masing masing. Anggi sering bertanya apa yang aku lakukan selama di kampus. Dengan siapa kamu bermain. Waduuh, seperti detektif aja. Anggi memang gadis pencemburu. Dia tegas, tapi hatinya lembut. Setelah menyusuru pantai Legian, aku mencari tempat istirahat yang nyaman. Aku menghentikan kendaraan di parkiran beachwalk shopping centre Kuta. Aku sengaja mencari tempat ngopi di tepi pantai agar bisa menikmati suasana pantai Kuta.

"Kamu mesen apa Anggi? Moccacino atau ice cream?"

"Terserah kamu. Kan aku telah menjatuhkan pilihan padamu". Woow pinter juga anggi menggodaku. Sambil menunggu pesanan, aku yang mulai menggoda Anggi yang kelihatan makin dewasa.

Sambil menikmati kopi dan camilan, kami melepas semua unek unek yang ada. Bertemu seperti ini seakan acara rutin ketika kami dulu satu kampus. Pulang kuliah pasti kami mampir di warung pojok Bu Inah, melepas penat perkulihan. Kadang Anggi juga mengajakku mampir di rumahnya. Orang tua Anggi mungkin menaruh percaya padaku. Dalam situasi seperti itu senyum dan sorot mata Anggi meluluhkan hatiku untuk mencintai dan tidak menghianatinya. Entahlah. Anggi sering melontarkan pertanyaan padaku. Mendengar ucapan yang renyah dan sorot matanya, aku merasa bahagia. Ingin rasanya setiap saat melihat Anggi. Tak ada alasan bagiku untuk bisa berpaling darinya. Anggi begitu sempurna bagiku. Tidak hanya di mata tapi di hati juga. Sampai di rumahpun kesempurnaan itu membayangi setiap langkahku Entah berapa waktu yang kami habiskan.

"Anggi. Apa sih harapanmu tentang hari ini". Aku duduk lebih mendekat. Tak peduli yang lain cemburu.

"Bertemu kamu Yoga". Balas Anggi sambil menatap mataku.

"Andai aku menghindar?" Baru berucap seperti itu, Anggi menggenggam jemariku erat.

"Apakah di hatimu sudah terpaut gadis lain?" Nampak wajah Anggi kelihatan memerah. Mungkin dia menahan amarah yang membuncah.

"Kamu mulai berpaling. Tak mungkin Yoga. Aku mencarimu. Aku tak ingin kehilanganmu".

"Sesuatu, selalu ada kemungkinan Anggi. Yang abadi kata orang adalah perubahan". Aku mencoba memancing kesabaran dan kesetiaan Anggi.

"Apakah cinta kita juga?"

"Mungkin ia".

Anggi terdiam. Tampang di sudut matanya butiran air bergulir. Yoga berusaha menenangkan dengan belaian manja di rambut Anggi. Tampak langit sudah memerah. Mentari sebentar lagi bersimpuh di kaki langit. Sunsite di pantai Kuta sangat menakjubkan. Pengunjung di pantai tampak seperti siluet. Dalam keremangan ku tatap Anggi makin anggun, walau muram menyelimuti. Yoga tak sekalipun tangannya lepas dari genggaman.

"Anggi, kita pulang yuk" Anggi ragu menatapku.

"Kak Yoga. Pertanyaanmu tadi membuat dadaku sesak. Sampai kapan kita pacaran? Aku tidak yakin akan jawabmu tadi. Apalagi kamu katakan berpacaran bukanlah jalan selamanya. Dia bisa mulus sampai akhir pernikahan tapi kadang ditengah jalan harus terputus. Aku tak terima ucapanmu".

"Yakinlah. Aku akan merawatnya"

Hari terus berlalu. Aku berusaha meyakinkan Anggi. Kesetiaan pada titik akhir bukan kita yang menentukan. Sama halnya jalan cinta. Dia hanya sandiwara. Kita bisa bermain peran sebaik baiknya. Tapi kan masih ada Tuhan yang memberi keputusan. Sampai disitu aku menjelaskan, Anggi menjadi paham dan memohon cinta kita dirawat. Seiring waktu, akupun kembali berpisah dengan Anggi. Kami harus sama sama berjuang untuk menuntaskan studi. Hanya lewat Hp kami sering melepas kerinduan. Hingga suatu malam Anggi mungkin teringat percakapan lalu.

"Selamat malam Kak Yoga". Pesan singkat dari Anggi. Aku membaca berkali kali. Kok seperti ini. Tidakkah aku harus segera membalasnya.

"Selamat malam juga sayang". Begitulah malam itu akhirnya habis untuk chat saja. Aku tidak tega Anggi terkurung pada kata kataku dulu.

"Sampai kapan kita kan bersama"? Kubaca pesan terakhir dari Anggi".

"Sampai nasib memisahkan".

"Maksud kakak?"

Aku jelaskan kepada Anggi bahwa nasib itu tetap Tuhan yang menentukan. Aku yakinkan bahwa aku hadir ditengah cinta Anggi adalah anugrah Tuhan. Tak mungkin aku berpaling. Anggi hadir begitu sempurna. Seperti ibuku yang merawat aku dengan tulus. Aku akan berusaha membuatmu bahagia. Aku tak ingin kau merasa terluka apalagi meneteskan air mata. Menyakiti melukai hatimu sama saja menyakiti dan melukai ibuku karena kalian perempuan yang sempurna. Tapi pada akhir chat yang aku kirim.

"Anggi, aku sangat mencintaimu. Kalau boleh ku katakan semesta merestui cinta kita. Tapi ingat, Tuhan pemberi jalan terakhir".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun