"Kak Yoga. Pertanyaanmu tadi membuat dadaku sesak. Sampai kapan kita pacaran? Aku tidak yakin akan jawabmu tadi. Apalagi kamu katakan berpacaran bukanlah jalan selamanya. Dia bisa mulus sampai akhir pernikahan tapi kadang ditengah jalan harus terputus. Aku tak terima ucapanmu".
"Yakinlah. Aku akan merawatnya"
Hari terus berlalu. Aku berusaha meyakinkan Anggi. Kesetiaan pada titik akhir bukan kita yang menentukan. Sama halnya jalan cinta. Dia hanya sandiwara. Kita bisa bermain peran sebaik baiknya. Tapi kan masih ada Tuhan yang memberi keputusan. Sampai disitu aku menjelaskan, Anggi menjadi paham dan memohon cinta kita dirawat. Seiring waktu, akupun kembali berpisah dengan Anggi. Kami harus sama sama berjuang untuk menuntaskan studi. Hanya lewat Hp kami sering melepas kerinduan. Hingga suatu malam Anggi mungkin teringat percakapan lalu.
"Selamat malam Kak Yoga". Pesan singkat dari Anggi. Aku membaca berkali kali. Kok seperti ini. Tidakkah aku harus segera membalasnya.
"Selamat malam juga sayang". Begitulah malam itu akhirnya habis untuk chat saja. Aku tidak tega Anggi terkurung pada kata kataku dulu.
"Sampai kapan kita kan bersama"? Kubaca pesan terakhir dari Anggi".
"Sampai nasib memisahkan".
"Maksud kakak?"
Aku jelaskan kepada Anggi bahwa nasib itu tetap Tuhan yang menentukan. Aku yakinkan bahwa aku hadir ditengah cinta Anggi adalah anugrah Tuhan. Tak mungkin aku berpaling. Anggi hadir begitu sempurna. Seperti ibuku yang merawat aku dengan tulus. Aku akan berusaha membuatmu bahagia. Aku tak ingin kau merasa terluka apalagi meneteskan air mata. Menyakiti melukai hatimu sama saja menyakiti dan melukai ibuku karena kalian perempuan yang sempurna. Tapi pada akhir chat yang aku kirim.
"Anggi, aku sangat mencintaimu. Kalau boleh ku katakan semesta merestui cinta kita. Tapi ingat, Tuhan pemberi jalan terakhir".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H