Sambil menikmati kopi dan camilan, kami melepas semua unek unek yang ada. Bertemu seperti ini seakan acara rutin ketika kami dulu satu kampus. Pulang kuliah pasti kami mampir di warung pojok Bu Inah, melepas penat perkulihan. Kadang Anggi juga mengajakku mampir di rumahnya. Orang tua Anggi mungkin menaruh percaya padaku. Dalam situasi seperti itu senyum dan sorot mata Anggi meluluhkan hatiku untuk mencintai dan tidak menghianatinya. Entahlah. Anggi sering melontarkan pertanyaan padaku. Mendengar ucapan yang renyah dan sorot matanya, aku merasa bahagia. Ingin rasanya setiap saat melihat Anggi. Tak ada alasan bagiku untuk bisa berpaling darinya. Anggi begitu sempurna bagiku. Tidak hanya di mata tapi di hati juga. Sampai di rumahpun kesempurnaan itu membayangi setiap langkahku Entah berapa waktu yang kami habiskan.
"Anggi. Apa sih harapanmu tentang hari ini". Aku duduk lebih mendekat. Tak peduli yang lain cemburu.
"Bertemu kamu Yoga". Balas Anggi sambil menatap mataku.
"Andai aku menghindar?" Baru berucap seperti itu, Anggi menggenggam jemariku erat.
"Apakah di hatimu sudah terpaut gadis lain?" Nampak wajah Anggi kelihatan memerah. Mungkin dia menahan amarah yang membuncah.
"Kamu mulai berpaling. Tak mungkin Yoga. Aku mencarimu. Aku tak ingin kehilanganmu".
"Sesuatu, selalu ada kemungkinan Anggi. Yang abadi kata orang adalah perubahan". Aku mencoba memancing kesabaran dan kesetiaan Anggi.
"Apakah cinta kita juga?"
"Mungkin ia".
Anggi terdiam. Tampang di sudut matanya butiran air bergulir. Yoga berusaha menenangkan dengan belaian manja di rambut Anggi. Tampak langit sudah memerah. Mentari sebentar lagi bersimpuh di kaki langit. Sunsite di pantai Kuta sangat menakjubkan. Pengunjung di pantai tampak seperti siluet. Dalam keremangan ku tatap Anggi makin anggun, walau muram menyelimuti. Yoga tak sekalipun tangannya lepas dari genggaman.
"Anggi, kita pulang yuk" Anggi ragu menatapku.