Ratih melerai. Mereka pun berpisah.
Malam semakin gelap. Kerumunan dijalanan penuh  sesak susah dikenali. Anak-anak sudah mulai
menyalakan obor yang mereka bawa. Walau ujung utara desa dimana kuburan berada kira-kira lagi tiga ratus meter, jalan ogoh-ogoh semakin lambat. Sudah  pasti penggotong  ogoh-ogoh lelah. Kiri kanan jalan tampak gelas-gelas air mineral berserakan. Ada juga  pembungkus makanan camilan. Suasana seperti ini  sulit dihindari karena begitu banyaknya peserta. Ada waktu istirahat yang diberikan oleh Jro Bendesa.
Kesempatan ini digunakan oleh Bancu mendekati  Ratih. Dia menyeruak dikerumunan pemudi.
"Rat, sini. Disini duduk. Biar agak gelap". Ratih terkejut. Â Â Dia mengikuti Bli Bancu. Sambil menyodorkan tisu, Ratih mengamati Bancu seperti habis mandi karena keringat. Dia kagum pada tampilan Bancu yang gagah.
"Ada apa Bli. Nanti dilihat sama Dogler".
"Banjar dia jauh dibelakang. Tidak mungkin".jawab Bancu.
"Rat, boleh aku mencintaimu?" Bancu tanpa tedeng aling-aling melampiaskan rasa cinta yang lama terpendam.
"Boleh dong. Setiap orang boleh mencintai".Ratih  memancing.
"Maksud Bli cinta spesial". Bancu memandang wajah Ratih. Duh, cantiknya gadis ini. Semoga aku bisa memiliki, pikirnya.
"Ah, Bli kayak pesen martabak telor aja. Ada spesial". "Ya, karena Bli sungguh-sungguh".