Mohon tunggu...
I Dewa Nyoman Sarjana
I Dewa Nyoman Sarjana Mohon Tunggu... Guru - profesi guru dan juga penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

hobi membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setelah Pawai Ogoh-Ogoh

14 Juli 2023   14:10 Diperbarui: 14 Juli 2023   14:11 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber poto pixabay 

"Setelah pawai ogoh-ogoh, Icang nyago Cai diperempatan. Ingat!!!". "(Setelah pawai ogoh-ogoh, saya tunggu kamu diperempatan jalan. Ingat!!!)".

Begitulah WhatsApp yang dikirim oleh Dogler kepada  Bancu. Keduanya nama panggilan kren di desa. Anak muda ini memang idola gadis desa. Mereka disegani dalam memimpin dan sangat loyal kepada temannya. Yang satu ketua muda mudi dan satunya lagi ketua sekha teruna. Awalnya mereka rukun dan saling membantu dalam berbagai kegiatan di desa. Setelah kehadiran Ratih karena orang tua mereka pensiun dan  seluruh keluarga pindah ke Bali, pertemanan mereka agak renggang. Dua pemuda itu berusaha mendapat simpati. Ratih sendiri melanjutkan kuliah di Denpasar.

"Bli, kok ada sms begini. Ada apa sih Bli?" Ratih memperlihatkan sms itu pada Bancu. Sebelumnya     dia  sudah menyebarkan ke teman-tamannya.Katanya sudah pula sampai ke Bapak Kelian dan ketua Pecalang.

"Mana, Rat. Aku baca sebentar". Bancu berusaha mengambil dan membaca sms. Ternyata dari Dogler. Ia tidak habis pikir. "Mengapa ya, tanya dalam hati".

Bancu cepat-cepat mengembalikan hp kepada Ratih  karena ogoh-ogoh akan sampai diperempatan.

Dia tidak ingin ketinggalan atraksi yang paling menegangkan. Seperti biasa ogoh-ogoh akan diputar sekeras-kerasnya. Ini putaran terakhir. Ogoh-ogoh akan   di arak menuju kuburan. Setelah diupacarai, ogoh-ogoh di pralina dengan cara membakar.

Bancu memimpin teman pemuda satu banjar mengarak ogoh-ogoh. Dia tidak ingin ada kejadian. Sekha baleganjur menabuh tambah keras, hingga semangat memutar ogoh-ogoh semakin kencang. Para gadis, mengibaskan rerontek. Pawai bertambah  semarak. Sementara dogler berusaha mendekati Bancu sambil berkata.

"Cu, ingat sebentar. Tunggu aku diperempatan batas  desa. Biar jelas. Siapa yang lebih kuat diantara kita".

Bancu terdiam. Tidak diketahuinya Ratih sudah ada disampingnya. Baru mau menjawab, ternyata Ratih sudah duluan.

"Apa-apaan sih kalian berdua. Ini perayaan untuk gembira, bukan untuk bermusuhan lho. Kenapa kalian  mesti bertengkar?. Malu-maluin aja. Ayo kembali ke  banjar masing-masing".

Ratih melerai. Mereka pun berpisah.

Malam semakin gelap. Kerumunan dijalanan penuh   sesak susah dikenali. Anak-anak sudah mulai

menyalakan obor yang mereka bawa. Walau ujung utara desa dimana kuburan berada kira-kira lagi tiga ratus meter, jalan ogoh-ogoh semakin lambat. Sudah  pasti penggotong  ogoh-ogoh lelah. Kiri kanan jalan tampak gelas-gelas air mineral berserakan. Ada juga   pembungkus makanan camilan. Suasana seperti ini   sulit dihindari karena begitu banyaknya peserta. Ada waktu istirahat yang diberikan oleh Jro Bendesa.

Kesempatan ini digunakan oleh Bancu mendekati   Ratih. Dia menyeruak dikerumunan pemudi.

"Rat, sini. Disini duduk. Biar agak gelap". Ratih terkejut.    Dia mengikuti Bli Bancu. Sambil menyodorkan tisu, Ratih mengamati Bancu seperti habis mandi karena keringat. Dia kagum pada tampilan Bancu yang gagah.

"Ada apa Bli. Nanti dilihat sama Dogler".

"Banjar dia jauh dibelakang. Tidak mungkin".jawab Bancu.

"Rat, boleh aku mencintaimu?" Bancu tanpa tedeng aling-aling melampiaskan rasa cinta yang lama terpendam.

"Boleh dong. Setiap orang boleh mencintai".Ratih  memancing.

"Maksud Bli cinta spesial". Bancu memandang wajah Ratih. Duh, cantiknya gadis ini. Semoga aku bisa memiliki, pikirnya.

"Ah, Bli kayak pesen martabak telor aja. Ada spesial". "Ya, karena Bli sungguh-sungguh".

Belum sempat bincang-bincang lagi, Jro Bendesa sudah memberi aba-aba agar perjalanan dilanjutkan.

"Nanti dilanjutin ya Rat". Bancu memegang tangan   Ratih, lalu menjauh.

"Ya, Bli".

Perasaan Ratih menjadi tidak karuan. Genggaman tangan Bancu masih terasa. Adakah cinta itu bersambut. Pikirnya. Diapun kembali berdiri dan mengikuti jalannya ogoh-ogoh.

Dalam lelah muda-mudi, ternyata suara anak-anak yang mempermainkan obor riang terdengar.

Itulah kegembiraan dan keindahan yang sulit dicari. Tiga tahun ditunggu karena bencana, baru kali ini bisa dilewati. Tidak terasa barisan ogoh-ogoh semua sudah ada di kuburan. Sebentar lagi akan di pralina. Ribuan peserta memandangi di balik gelap malam. Pastilah anak-anak tidak ingin kehilangan ogoh-ogoh karena dibakar. Apalagi anak muda. Mereka merasa mengerjakan ber bulan-bulan.

Lidah api meliak-liuk membumbung. Kertas bahan ogoh-ogoh beterbangan. Sesekali suara dentuman bambu yang terbakar terdengar. Tepuk tangan dan teriakan penonton gemuruh. Jeritan, "mari tahun depan kita ulangi", menggema. Mereka ingin di pengerupuk nanti terulang lagi. Suasana semakin sepi. Hanya tertinggal beberapa orang saja. Ratih dan beberapa teman, bapak kelian dan pecalang, masih menunggu. Mereka menjaga-jaga pertemuan Dogler dan Bancu seperti dalam WhatsApp.

Kelihatan dua pemuda sudah berdiri di tempat yang gelap. Entah apa dibicarakan. Tiba-tiba Dogler

memegang baju Bancu. Pecalang diikuti Bapak Kelian pun berlari dan memisahkan keduanya, sambil berkata.

"Ada apa ini. Kok kalian bertengkar. Malulah sama adik- adik yang kalian pimpin". Keduanya menunduk. Tidak sepatah katapun keluar. Ratih berusaha mendekat.

"Begini Bapak kelian dan Bapak pecalang. Aku dikira berpacaran sama salah satu dari mereka. Padahal aku tidak ada apa-apanya buat mereka. Aku berteman biasa. Kan, aku baru pulang kampung. Tidaklah mungkin begitu dalam mengenali mereka". Ratih berusaha menenangkan suasana.

"Kalian berdua dengar kan kata Ratih. Tidak baiklah bertengkar soal perempuan. Ayo kita pulang.

Sudah malam. Nanti ada orang malam". Bapak pecalang menakuti.

Rupanya dengan mengatakan orang malam, mereka segera mengikuti langkah Bapak kelian maupun bapak pecalang. Mereka takut juga.

Belum sempat merebahkan badan, hp Ratih berbunyi.

"Rat, aku mencintaimu". Aduh, Bancu mengirim sms. Ratih merasa serba salah. Walau ada cinta yang tumbuh, tapi menjatuhkan pilihan tidak semudah itu, pikirnya. Dia berusaha menjawab tanpa mengecewakan.

"Bli, beri aku kesempatan belajar. Saatnya nanti dan kalau takdir, semua akan terjadi". Ratih menjawab sms Bancu.

Jawaban dan balasan itu ternyata membuat mereka berdua tidak tidur sampai pagi. Sampai hari raya Nyepi datang.

Tabanan, 22-3-23

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun