Perjalanan hari ini dari Tanah Lot menuju Kuta lumayan lancar. Cuman satu jam. Biasanya sampai satu setengah jam. Kemacetan terjadi di wilayah Kerobokan, Canggu. Sampai di lobi hotel Pak Putu mengangkat barang mereka.
"Apa masih ada acara?. Kalau tidak saya mau cari order lain." Pak Putu bertanya kepada mereka berdua. Aku sih pinginnya jalan-jalan bersama Tito.
"Masih siang Tito. Anterin dong aku, kemana lagi?" Ririn bermanja. Mereka duduk-duduk di loby hotel. Tito masih memikirkan untuk menyelesaikan pesanan lukisan. Tapi dia tidak ingin mengecewakan Ririn.
"Kita jalan-jalan di sini aja ya?"
Walau cemberut, Ririn menerima tawaran itu. Ririn terus mengajak Tito ke kamar untuk menaruh beberapa barang belanja saat ke Tanah Lot.
"Kamarku di sebelah kiri. Tunggu di lobi kamar bentar ya Tito." Ririn memasuki kamar. Tidak lama Ririn sudah membawakan kopi.
"Silahkan minum Tito. Aku mau mandi. Gerah sekali".
"Aku sendirian di sini?" Tanya Tito, sambil menikmati rokok dan seruput kopi.
"Hemm, Ririn tersenyum. Ok, di kamarku aja, tapi aku tinggal mandi dulu ya?"
"Aku ikut mandi?" Tito nyeletuk bicara. Sebenarnya ia merasa malu, mengapa kata itu terucap. Tapi mungkin bener juga, karena Tito tersanjung akan kecantikan Ririn. "Ririn begitu sempurna," Pikirnya.
"Uh, ngaco."
Ririn tersenyum memegang tangan Tito. Ia bergegas ke kamar mandi.
Sambil menunggu Ririn, Tito kembali keluar kamar.
Dia ingin menikmati rokok. Melintas bayang dalam pikirannya. "Pastinya Ririn sesuai dengan
harapanku. Putih bersih, pikir Tito. Belum habis satu batang rokok, Tito mendengar Ririn memanggilnya. Suaranya sedikit keras.
"To, ambilkan aku sikat gigi. Itu di atas meja". Terdengar suara Ririn keras memanggil Tito.
Tito coba memancing. "Ambil sendiri. Aku masih merokok!"
"Aku tak bawa pengganti. Please To."
"Ya, tunggu, masih sedikit saja."
Tito bergegas ambil sikat gigi. Tanpa pikir, Tito membuka pintu kamar mandi. Ririn gelagapan, karena tubuhnya hanya dililit sehelai anduk.
"Tito, apa-apaan nih? Kok nggak bilang-bilang." Ririn merasa risih dan malu. Dia nyelosor segera menutup pintu kamar mandi. Tito tersenyum melangkah kembali kelobi kamar.
Sementara Tito asik menikmati kopi dan rokok, Ririn berhias di kamar. Dia sengaja membiarkan Tito tidak tahu. Biar ada kejutan. Ririn melenggak-lenggok berkaca.
"Kak Tito. Sini dulu! Ririn pura-pura berhias. Oh cantiknya gadisku, pikir Tito, ketika dia melihat pujaannya di cermin. Tito seolah berlari dan langsung mendekap Ririn
"Kak Tito. Aduuh...Lepas. aku panas." Tapi Tito menguatkan pelukannya. Secepat kilat ciuman jatuh di pipi Ririn.
"To, kamu mulai nakal. Situ mandi dulu. Bau ah." Ririn memegang pinggang Tito. Tito melepas pelukannya, menuju kamar mandi. Ririn seolah diam membisu. Kecupan pertama dari Tito, membuat hati Ririn berbunga. Inikah bagian dari cinta? Perasaan Ririn makin mengumbara. Adakah Tito akan memberikan sesuatu yang sulit ku lupakan?. Akankah Tito memiliki diriku sampai batas yang tidak pantas? Apakah aku berserah begitu saja buat kekasihku yang pertama? "Ah, lebih baik pasrah saja", pikirnya.
Tito keluar dari kamar mandi. Ririn menjemput dengan memegang tangan Tito.
"Kok masih bau, pasti tidak pakai sabun ya?, Ririn memancing. Secepat kilat Tito mendorong Ririn. Mereka berdua merebah di kasur.
"Aku cukup mencari harum di tubuhmu."
"To, ah, kamu jangan begini. Tito." Ririn berusaha melepas cengkraman Tito.
"Hanya untuk kali ini Ririn."
"Tito nanti ada waktunya. Kita belum apa-apa."
Tito tersadar dan melepas pelukannya. Mereka berdua merapikan pakaian yang sempat sembrawut.
"To, aku mohon pamit ya. Besok aku harus balik ke Bandung untuk meneruskan kuliah. Libur semester pasti aku menemuimu lagi."
Seiring berjalan waktu, Tito melanjutkan pekerjaannya melukis di galeri di Ubud. Ia banyak melukis pelanggan baik laki maupun perempuan.
Salah satunya Mirah, tetangga di galeri. Lukisan Mirah masih terpajang karena Tito berusaha melahirkan karya terbaik. Ia malu karena pemesannya tetangga.
Dari pemesanan lukisan ini, Tito merasakan Mirah menaruh perhatian khusus kepada Tito. Sia sering sekali menelpon dan juga kirim wathsaap. Sekali-kali ucapannya terdengar manja. Demikian pula wathsaap yang Mirah kirim kepada Tito. Sampai suatu saat dia melihat lukisan dirinya yang belum selesai.
"To, apanya sih yang belum selesai? Kok lama sekali." "Senyum lukisannya belum manis." Tito menggoda.
"Tapi, aku lihat sudah manis sekali. Apakah bener aku secantik itu?"
Belum sempat menjawab, tiba-tiba hpnya berdering. "Uh, Ririn." Tito sedikit panik. Tapi dia harus menjawab. "Hai sayang. Sendirian ya?"
Terlambat berpindah tempat, Ternyata Mirah mengeluarkan suara lumayan keras.
"Mas Tito, boleh aku duduk disampingmu? Aku pingin
lama-lama denganmu. Kamu ganteng."
Rupanya ucapan itu didengar oleh Ririn. Hingga nada suaranya agak meninggi.
"Siapa itu Mas Tito? Kau dengan perempuan ya? Aku dengar suara perempuan."
"Ini pelangganku. Dia mau ambil lukisan." Tito berusaha meyakinkan Ririn.
"Mas, aku tak percaya begitu saja. Kasi aku bicara dengan perempuan itu."
"Rin, dia tetanggaku. Malu aku."
"Entah siapa. Aku tak peduli. Aku tak ingin ada perempuan lain kau sembunyikan."
Dengan berat hati Tito memberikan hp nya ke Mirah karena dia tahu Mirah perempuan baik-baik dan tidak ada hubungan khusus denganku.
"Mirah, maaf ya hp ini aku berikan padamu."
Mirah mengambil hp itu. Dia terbengong-bengong mendengar suara perempuan. "E, ada apa ini? Aku tak paham. Siapa dirimu? Kok mulainya marah-marah?"
Ririn terus mengumpat. Dia tidak percaya sama kata-kata mirah. Sampai akhirnya Mirah menyerahkan hp itu kepada Tito.Tanpa pamit Mirah pergi meninggalkan Tito.
Tito bengong memandangi kepergian Mirah. Perasaan bersalah, cemas, marah bergumul jadi satu. "Bagaimana aku harus menjelaskan sama Ririn? Bagaimana aku mengatakan kepada Mirah?"
Hari-hari sepi dijalani oleh Tito. Ririn sama sekali tidak berkabar. Juga Mirah, membiarkan lukisannya di galery. Sambil menikmati hembusan rokok, Tito mengekspresikan perasaannya di kanpas. Dia mendengar di parkir galery ada mobil berhenti. Dia tidak peduli. Terserah ada pelanggan yang datang. Dalam keasikan, Tito mendengar suara perempuan. Dia coba menoleh. Tito terkejut. Apakah benar Ririn yang datang? Bukankah dia bilang pulang habis tentamen?" Tito bergegas menghampiri Ririn.
"Rin, kau sudah pulang ya? Kok cepat. Janjinya bulan Desember." Tito basa-basi. Padahal dia tahu, pasti Ririn akan marah.
"Kau berharap ya aku pulang bulan Desember? Biar lama dapat mempermainkan aku". Ririn menjauh dan duduk di bawah pohon jambu. Matanya mulai nampak memerah. Buliran air mata tak bisa dia bendung. Tito mendekati Ririn kekasihnya.
"Rin, beri aku kesempatan menjelaskan." Tito mau memegang tangan Ririn, tapi Ririn menghempaskan tangannya.
"Berkata-kata itu mudah Tito. Apalagi berkata bohong."
"Ririn, ." Belum sempat melanjutkan, Ririn sudah memotong pembicaraan Tito.
"Tito, apa kamu perlu bukti? Aku merekam pembicaraanmu dengan wanita itu. Kalau aku mau, di hp mu pasti tersimpan sms bercintamu dengan perempuan lain. Tapi buat apa? Hatiku akan bertambah sakit. Sakit Tito." Ririn meluapkan tangisnya.
Dalam waktu bersamaan, Mirah datang ke galery Tito. Baru san dia di telpon oleh Tito. Dia ingin masalah ini tuntas. Mirah diam sejenak. Lalu berucap.
"Perkenalkan. Namaku Mirah. Aku penduduk disini. Aku sudah curiga ketika menengok lukisan wajahku. Tito kelihatan panik menerima telpon."
Ririn berdiri dan matanya menyorot Mirah. "O, kau rela ya merebut pacarku? Coba pikir bagaimana kalau sebaliknya. Pasti kau sakit hati juga."
"Begitu ya? Ternyata kau salah sangka. Ini lihat poto-poto di hpku."
Mirah menyodorkan rekaman vidio dan simpanan poto pra wedding dari Mirah kepada Tito. Tito mendekati Ririn dan memperlihatkan poto dan rekaman itu.
"Nah, sudah lihatkan? Aku ini keturunan ningrat. Tak mungkin sembarang orang aku cintai. Itu tradisi dikeluargaku".
Ririn menunduk. Rasa malu menyelimuti dirinya. Dia sadar terlalu emosi. Lalu dia mendekat, sambil perkenalkan diri dan meminta maaf. Ririn mengulurkan tangan.
"Namaku Ririn. Aku minta maaf terlalu lancang. Ternyata ibu seorang ningrat. Maafkan sekali lagi."
Mirah menyalami jemari Ririn. "Aku Mirah. Tidak usah berlebihan. Kehidupan di kampungku, Ubud biasa-biasa saja. Kami menerima pacarmu Tito bekerja di tanah puri, seperti bagian keluarga besar."
Ririn dan Tito bengong berdua. Mereka saling pandang. Tito sendiri juga tidak tahu, bahwa Mirah yang dilukisnya seorang ningrat.
"Silahkan kalau mau mampir di Puri ya. Saya mau pamit. Jaga diri baik-baik." Mirah lalu lalu pergi. Tinggallah Tito dan Ririn. Mereka saling pandang. Tiba-tiba Ririn memeluk Tito dan berucap. "Maafkan aku Tito. Aku telah menggores kenyamananmu bekerja disini. Aku terlalu lancang." Ririn memeluk erat pinggang Tito.
"Sudahlah. Tidak usah dipermasalahkan lagi. Semua sudah berlalu. Kita sama-sama salah."
Hari sudah malam. Ririn tidak mungkin bisa balik ke Bandung. Tito menawari Ririn tidur di galery.
Ada satu kamar yang biasa Tito tiduri. Biarlah aku tidur di luar. Pikir Tito.
Ririn akhirnya memutuskan tidur di galery Tito. Mereka berdua lelap dalam mimpinya.
Bali, 24 5 23
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H