"Ini pelangganku. Dia mau ambil lukisan." Tito berusaha meyakinkan Ririn.
"Mas, aku tak percaya begitu saja. Kasi aku bicara dengan perempuan itu."
"Rin, dia tetanggaku. Malu aku."
"Entah siapa. Aku tak peduli. Aku tak ingin ada perempuan lain kau sembunyikan."
Dengan berat hati Tito memberikan hp nya ke Mirah karena dia tahu Mirah perempuan baik-baik dan tidak ada hubungan khusus denganku.
"Mirah, maaf ya hp ini aku berikan padamu."
Mirah mengambil hp itu. Dia terbengong-bengong mendengar suara perempuan. "E, ada apa ini? Aku tak paham. Siapa dirimu? Kok mulainya marah-marah?"
Ririn terus mengumpat. Dia tidak percaya sama kata-kata mirah. Sampai akhirnya Mirah menyerahkan hp itu kepada Tito.Tanpa pamit Mirah pergi meninggalkan Tito.
Tito bengong memandangi kepergian Mirah. Perasaan bersalah, cemas, marah bergumul jadi satu. "Bagaimana aku harus menjelaskan sama Ririn? Bagaimana aku mengatakan kepada Mirah?"
Hari-hari sepi dijalani oleh Tito. Ririn sama sekali tidak berkabar. Juga Mirah, membiarkan lukisannya di galery. Sambil menikmati hembusan rokok, Tito mengekspresikan perasaannya di kanpas. Dia mendengar di parkir galery ada mobil berhenti. Dia tidak peduli. Terserah ada pelanggan yang datang. Dalam keasikan, Tito mendengar suara perempuan. Dia coba menoleh. Tito terkejut. Apakah benar Ririn yang datang? Bukankah dia bilang pulang habis tentamen?" Tito bergegas menghampiri Ririn.
"Rin, kau sudah pulang ya? Kok cepat. Janjinya bulan Desember." Tito basa-basi. Padahal dia tahu, pasti Ririn akan marah.