Dengan terbitnya SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan Pajak menjadi sebuah tonggak reformasi kebijakan pemeriksaan pajak, dengan terbitnya SE ini menyempurnakan pelaksanaan kegiatan pemeriksaan untuk mencapai optimalisasi penerimaan pajak dari hasil pemeriksaan. Penyempurnaan ini ditujukan kepada proses bisnis pemeriksaan yang lebih fokus pada perencanaan pemeriksaan oleh DJP, sebagai dasar tahap pelaksanaan pemeriksaan pajak lebih lanjut.
Tahapan Perencanaan Pemeriksaan disempurnakan melalui indikator Risk Based Audit dan Tahapan Pelaksanaan Pemeriksaan yang lebih obyektif, transparan, dan tepat pada sasaran. Latar belakang dilakukannya pemeriksaan pajak karena adanya hasil dari analisis risiko. Dimana risiko yang dimaksud adalah Risiko Ketidakpatuhan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dikarenakan sistem perpajakan di Indonesia menganut Self Assesment System. Dimana sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang, salah satu alasan dilakukannya pemeriksaan umumnya adalah apabila Wajib Pajak mengajukan restitusi (lebih bayar).
Reformasi yang dilakukan pada Proses Bisnis Pemeriksaan pajak Tahun 2018 ini adalah penyempurnaan proses bisnis pemeriksaan pajak berupa penyempurnaan pada rangkaian prosedur kegiatan pemeriksaan pajak. Rangkaian prosedur ini meliputi 3 (tiga) komponen pokok yang saling menunjang, yaitu:
- proses pemilihan Wajib Pajak yang akan diperiksa, yang dilakukan secara obyektif, transparan serta dapat diandalkan;
- optimalisasi kinerja Sumber Daya Manusia yang menangani Pemeriksa Pajak sebagai pelaksana kegiatan pemeriksaan,
- perbaikan yang terus menerus serta berkesinambungan atas peraturan perpajakan di bidang pemeriksaan.
Optimalisasi pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak diperlukan dalam rangka pelaksanaan percepatan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal ini merupakan upaya untuk meningkatkan kepercayaan Wajib Pajak dan memberikan kemudahan dalam berusaha (ease of doing business- EoDB), serta untuk alokasi sumber daya Pemeriksa Pajak yang lebih terarah.
Untuk mencapai ease of doing business- EoDB ini Kepala Kantor Pelayan Pajak melakukan hal-hal sebagai berikut:
- Menghimbau para Wajib Pajak memanfaatkan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, harapannya hal ini dapat meminimalisir permohonan restitusi.
- Melakukan pengawasan melalui hal -hal sebagai berikut :
- Mendata Wajib Pajak yang berhak mengajukan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak sesuai dengan surat keputusan yang telah diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayan Pajak,
- Memastikan restitusi PPN yang diajukan oleh Wajib Pajak yang telah mendapatkan surat keputusan tersebut, dilakukan melalui proses Pengembalian Pendahuluan Kelebihan  Pembayaran Pajak,
- Menghimbau para Wajib Pajak yang mengajukan restitusi PPN supaya mengajukan Permohonan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak,
- Menghimbau para Wajib Pajak yang tidak mengajukan Permohonan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak akan tetapi memenuhi kriteria, untuk mengajukan Permohonan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak agar proses pengembalian restitusinya dapat diselesaikan dengan lebih cepat.
- Memastikan permohonan restitusi Pajak Penghasilan (PPh) yang diajukan oleh Wajib Pajak yang tidak memenuhi kriteria pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sehingga diarahkan untuk diproses dengan pemeriksaan, agar dilakukan dengan ruang lingkup pemeriksaan untuk seluruh jenis pajak,
- Mengalokasikan sumber daya Pemeriksa Pajak untuk  menangani restitusi PPN yang diajukan pada tahun berjalan,
- Terhadap Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak untuk dapat dilakukan pemeriksaan rutin (post-audit) guna menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan dengan ketentuan:
- Dilakukan secara berkala atau periodik dua tahun sekali,
- Mempertimbangkan signifikansi atau materialitas nilai pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak yang telah diberikan kepada Wajib Pajak/Pengusaha Kena Pajak (PKP),
- Mempertimbangkan tingkat risiko ketidakpatuhan yang dilakukan Wajib Pajak.
Penentuan Wajib Pajak yang Diperiksa Dua kata kunci pada Tahap Perencanaan dalam Kebijakan Pemeriksaan yakni pemilihan Wajib Pajak yang akan diperiksa dan memperkuat pengendalian mutu pelaksanaan pemeriksaan pajak. Aspek fairness harus diimplementasikan pada Reformasi Kebijakan Pemeriksaan ini, dimana proses pemeriksaan yang dilakukan merupakan pemeriksaan pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai resiko rendah (low risks) untuk tingkat kepatuhan tinggi tidak sedetail pemeriksaan yang dilakukan bagi Wajib Pajak yang memiliki resiko tinggi (high risks) untuk Ketidakpatuhan Perpajakannya. Wajib Pajak yang diperiksa merupakan Wajib Pajak yang memiliki risiko tinggi ketidakpatuhan dan Wajib Pajak yang memiliki tingkat potensi penerimaan pajak atas pemeriksaan yang dilaksanakan.
Penyusunan Peta Kepatuhan Dan Daftar Sasaran Prioritas Penggalian Potensi Penyusunan Peta Kepatuhan dan DSP3 dilakukan berdasarkan analisis terhadap seluruh data dan informasi dari SIDJP maupun data lapangan, yang terus dilakukan update sepanjang tahun. Sehingga penggalian potensi dalam tahun berjalan pada setiap KPP hanya dapat dilakukan terhadap Wajib Pajak yang telah terdapat dalam DSP3, kecuali KPP memperoleh keterangan lain dapat ditindaklanjuti. Prosedur penyusunan Peta Kepatuhan dan DSP3 sebagai berikut: Peta Kepatuhan disusun setiap awal tahun oleh Kepala KPP bersama dengan Kepala Seksi Pemeriksaan, Kepala Seksi Waskon II, III, dan IV, Kepala Seksi EkstensifiKepala Seksi dan Penyuluhan, Kepala Seksi PDI serta Supervisor Fungsional Pemeriksa Pajak, berdasarkan KlasifiKepala Seksi Lapangan Usaha/ sektor/ subsektor/ industri, letak geografis, PDRB, dan fakta lapangan, Penentuan KLU/sektor/subsektor/industri atau pelaku usaha yang tingkat kepatuhan perpajakannya diindiKepala Seksikan masih rendah dilakukan oleh Kepala KPP bersama dengan Kepala Seksi Pemeriksaan, Kepala Seksi Waskon II, III, dan IV, Kepala Seksi EkstensifiKepala Seksi dan Penyuluhan, Kepala Seksi PDI serta Supervisor Fungsional Pemeriksa Pajak.
Indikator tingkat kepatuhan tersebut ditentukan berdasarkan hasil analisis terhadap signifikansi kontribusi KLU/ sektor/ subsektor/ industri di wilayah kerja KPP terhadap PDRB dan terhadap penerimaan perpajakan KPP atau fakta lapangan. Berdasarkan KLU/ sektor/ subsektor/ industri yang memiliki tingkat kepatuhan rendah atau fakta lapangan, Kepala KPP menentukan populasi Wajib Pajak yang akan menjadi DSP3 berdasarkan variabel yang telah ditetapkan. Peta kepatuhan dan DSP3 harus dilampiri dengan Berita Acara dan ditandatangani oleh penyusun, Berdasarkan DSP3 tersebut, Kepala KPP melakukan: Menentukan Wajib Pajak dengan mempertimbangkan: target penerimaan dari pemeriksaan dan penagihan, riwayat pemeriksaan Wajib Pajak yang bersangkutan, tunggakan pemeriksaan di KPP, beban kerja Pemeriksa Pajak, dan efek jera untuk Wajib Pajak yang akan diperiksa; Wajib Pajak yang masuk dalam DSPP merupakan Wajib Pajak yang diusulkan pemeriksaan rutin: Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak, Wajib Pajak menyampaikan SPT rugi, Wajib Pajak yang melakukan perubahan tahun buku, metode pembukuan, penilaian kembali aktiva tetap, WajibPajakyangdiusulkanpemeriksaankhusus berdasarkan analisis risiko, dengan ruang lingkup pemeriksaan seluruh jenis pajak (all taxes), DSPP merupakan dasar bagi Kepala KPP untuk mengusulkan pemeriksaan kepada KaKanwil DJP, yang selanjutnya akan dilakukan pembahasan oleh Komite Perencanaan Pemeriksaan Tingkat Pusat dan Tingkat Kanwil DJP, dengan dilampiri Berita Acara Pembuatan Peta Kepatuhan dan DSP3, Penyampaian DSPP dalam tiga tahap: Tahap I: pengiriman DSPP paling lambat akhir Februari, Tahap II : pengiriman DSPP paling lambat akhir Mei, Tahap III : pengiriman DSPP paling lambat akhir Agustus, Terhadap Wajib Pajak yang tidak masuk dalam DSPP akan menjadi sasaran prioritas pengawasan oleh KPP atau menjadi usulan pemeriksaan khusus dengan ruang lingkup pemeriksaan satu atau beberapa jenis pajak, Kepala KPP memonitor DSP3 termasuk realisasi pengawasan dan realisasi pemeriksaan atas DSPP, serta melakukan evaluasi pada akhir tahun untuk menetapkan sasaran prioritas penggalian potensi pada tahun berikutnya. Kriteria Wajib Pajak yang dikelompokkan oleh Pemeriksa Pajak untuk masuk ke dalam populasi Daftar Sasaran Prioritas Penggalian Potensi (DSP3) merupakan indiKepala Seksi ketidakpatuhan pajak yang tinggi (tax gap), adanya indiKepala Seksi modus ketidakpatuhan Wajib Pajak, serta identifiKepala Seksi nilai potensi pajak.
Restitusi PPN - Syarat, Mekanisme
Salah satu hak dari Wajib Pajak adalah mengajukan pengembalian atas pajak yang lebih dibayarkan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau restitusi dapat dilakukan di antaranya apabila terdapat kondisi kelebihan pembayaran PPN. Pengertian Restitusi PPN menurut Nurdin Hidayat dan Dedi Purwana (2017:231) adalah sebagai berikut: "Restitusi PPN timbul bilamana dalam suatu masa pajak, pajak masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada pajak keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat diminta kembali (restitusi)".
Syarat
Sejatinya, pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau restitusi dapat dilakukan terhadap dua kondisi. Kondisi pertama adalah pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Dimana kondisi ini dapat terjadi saat Wajib Pajak membayar pajak padahal semestinya tidak terutang pajak.
Kondisi yang kedua adalah pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh), PajakPertambahan Nilai (PPN), dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah(PPnBM). Kondisi ini terjadi jika Wajib Pajak membayar pajak lebih besar dari pada yang semestinya harus dibayarkan. Untuk PPN, pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh DJP biasanya diajukan karena adanya kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau PPN terutang oleh pengusaha kena pajak (PKP).
Dalam hal pengajuan pengembalian kelebihan bayar atau restitusi PPN, PKP dapat memilih untuk dilakukan proses pengembalian pendahuluan atau permohonan restitusi biasa. Yang perlu digaris bawahi, proses pengembalian pendahuluan lebih cepat hanya dapat dilakukan untuk Wajib Pajak yang memiliki kriteria tertentu, Wajib Pajak persyaratan tertentu, dan pengusaha PKP berisiko rendah.
Berdasarkan UU KUP Â Pasal 17D dan PMK No. 39 Tahun 2018, salah satu syarat pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN untuk Wajib Pajak tertentu adalah nilai restitusi atau jumlah lebih bayar PPN paling banyak Rp 1 miliar untuk Wajib Pajak badan, dan untuk orang pribadi nilai restitusi kelebihan pembayaran pajak paling banyak Rp 100 juta.
Melalui aturan terbaru yaitu PMK 209/PMK.03/2021, pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak hingga Rp 5 miliar. Sejatinya, proses restitusi pajak dengan mekanisme pengembalian pendahuluan bisa berlangsung lebih cepat karena hanya dilakukan penelitian, akan tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi pemeriksaan di kemudian hari apabila ditemukan data baru. Karena hal ini sejalan dengan pembahasan sebelumnya terkait revitalisasi pemeriksaan restitusi. Dimana terhadap Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dapat dilakukan pemeriksaan rutin (post-audit) untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Ketentuan restitusi PPN ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam kebijakan ini disebutkan jika jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, maka Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) setelah dilakukan pemeriksaan.
Kemudian, proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak diawali dengan permohonan restitusi pajak kepada DJP, yang dilanjutkan penelitian terhadap permohonan restitusi tersebut oleh DJP. Setelah dilakukan penelitian oleh DJP, DJP akan menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) dan proses permohonan pengembalian pendahuluan PPN ini paling lama 1 (satu) bulan.
Sedangkan untuk proses permohonan restitusi biasa, proses ini akan dilakukan melalui proses pemeriksaan bukan penelitian seperti halnya proses pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Jangka waktu pemeriksaannya sendiri paling lama 12 bulan sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap oleh DJP.
Mekanisme
Selanjutnya mekanisme pengajuan restitusi PPN dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku, melalui mekanisme sebagai berikut :
- Mengajukan permohonan restitusi PPN dengan cara mengisi SPT Masa PPN dengan membubuhkan tanda silang pada kolom "Dikembalikan" (restitusi). Jika kolom"Dikembalikan" (restitusi) pada SPT Masa PPN tidak diisi, maka PKP bisa mengajukan surat permohonan secara terpisah.
PKP dapat mengajukan permohonan restitusi PPN ke DJP melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat PKP dikukuhkan.
- Setelah dilakukan pengecekan, DJP akan menerbitkan SKPLB.
- SKPLB diterbitkan oleh DJP paling lambat 12 bulan sejak surat permohonan disampaikan dan diterima secara lengkap, kecuali terdapat kondisi tertentu yang sudah ditetapkan berdasarkan keputusan DJP.
- Apabila dalam jangka waktu 12 bulan sejak permohonan restitusi PPN DJP belum memberikan keputusan, maka permohonan restitusi PPN dianggap dikabulkan dan SKPLB tersebut akan diterbitkan dalam waktu paling telat 1 bulan setelah jangka waktunya berakhir.
Peraturan Menteri Keuangan mengatur tentang restusi terdapat di dalam PMK 71/PMK 03/2010, peraturan ini sejalan dengan Pasal 9 (4C) UU PPN. Lalu ada PMK 74/PMK-03/2012 yang sejajar dengan Pasal 9 (4C) UU PPN dan PMK 198/PMK/2013 sesuai dengan Pasal 17 D UU KUP. Kemudian, baru-baru ini Menteri Keuangan menerbitkan PMK 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak, singkatnya peraturan ini dikeluarkan untuk mengatur tentang restitusi dipercepat. Â Latar belakangnya diterbitkannya PMK 39/2018 karena, rata-rata waktu penyelesaian waktu restitusi adalah sekitar 10 (sepuluh) bulan, sehingga laporan EoDB World Bank, Indonesia berada di peringkat 72 sehubugan dengan urusan kemudahan pajak.
Tujuan sebenarnya kebijakan ini adalah komitmen pemerintah untuk mendorong investasi dan membantu pembiayaan usaha melalui percepatan pengembaliaan PPN termasuk bagi Usaha Kecil Menengah (UKM). Selain itu kebijakan ini juga bertujuan mendorong atau menstimulus pertumbuhan kegiatan usaha, keberlangsungan usaha serta kemudahan dalam berusaha bagi Wajib Pajak (WP) dan Pengusaha Kena Pajak (PKP). Tujuan lainnya yang diinginkan oleh DJP adalah memperbaiki peringkat EoDB Indonesia.
Dalam Peraturan ini memiliki semangat untuk menyederhanakan atau melakukan percepatan pemberian restitusi yang dilakukan tanpa pemeriksaan melainkan hanya melalui proses penelitian yang sederhana. Sementara restitusi dipercepat diberikan kepada Wajib Pajak yang memiliki kriteria tertentu (Wajib Pajak Patuh), Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu (nilai restitusi yang kecil) dan PKP yang beresiko rendah sebagaimana diatur dalam Pasal 9 (4) UU PPN. Akan tetapi Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dan PKP Beresiko rendah harus terlebih dahulu ditetapkan oleh Dirjen Pajak secara Jabatan atau berdasarkan permohonan dari Wajib Pajak itu sendiri untuk ditetapkan sebagai Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dan PKP Beresiko rendah. Penetapan ini berlaku sampai dengan dicabut oleh Dirjen Pajak. Jika diuraikan maksud Wajib Pajak dengan kriteria tertentu atau WP Patuh, harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
- Tepat   waktu  dalam menyampaikan atau melaporkan SPT.
- Tidak ada tunggakan pajak
- Laporan Keuangan telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik dan mendapat opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) Â dalam kurun waktu 3 tahun berturut-turut.
- Tidak dipidana dibidang perpajakan dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir.
Kemudian kriteria Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu dengan nilai restitusi kecil, adalah:
- Wajib Pajak Orang Pribadi Karyawan tanpa batasan nilai restitusi PPh.
- Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha atau profesi dengan nilai restitusi PPh maksimal yang diajukan restitusi paling banyak Rp100.000.000.
- Wajib Pajak Badan dengan nilai restitusi PPh maksimal Rp1.000.000.000.
- Pengusaha Kena Pajak dengan nilai restitusi PPN Maksimal Rp1.000.000.000. Namun kini melalui perubahan kedua dari PMK 39/PMK.03/2018 yaitu PMK 209/PMK.03/2021, batasan nilai restusi PPN menjadi Rp5.000.000.000.
Selanjutnya kriteria PKP beresiko rendah atau PKP tertentu dengan kegiatan usaha tertentu yang memiliki kriteria sebagai berikut :
- Perusahaan Terbuka (Go Public)
- Badan Usaha Milik Negara (BUMN)/ Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
- Eksportir mitra utama ke pabeanan (MITA).
- Eksportir operator ekonomi bersertifikat (Authorized Economic Operator).
- Pabrikan atau Produsen lainya.
- PKP dengan nilai restitusi maksimal Rp 5 miliar dan melakukan :
- Kegiatan Ekspor
- Kegiatan Transaksi kepada pemungut PPN (BUMN/Bendahawan Pemerintah) dan atau
- Kegiatan Penyerahan yang PPN nya tidak dipungut (misalnya di Kawasan Berikat).
Kemudian restitusi akan diberikan jika sudah memenuhi persyaratan (kepatuhan kewajiban perpajakan) dan sesuai hasil penelitian Wajib Pajak dan Pengusaha Kena Pajak (PKP) termasuk yang dapat diberikan dengan pengembalian pendahuluan. Sedangkan untuk Jangka Waktu Restitusinya sendiri adalah sebagai berikut:
Untuk WP dengan Kriteria Tertentu ( WP Patuh):
- Untuk jenis Pajak - PPh 3 bulan.
- Untuk jenis Pajak - PPN 1 bulan.
WP memenuhi persyaratan tertentu (nilai restitusi kecil)
- Untuk PPh Orang Pribadi 15 hari.
- Untuk PPh Badan 1 Bulan.
- Untuk PPN 1 Bulan untuk PKP dengan beresiko rendah
- Untuk PPN1 Bulan.
Pengembalian Pendahuluan ini diberikan atas Faktur Pajak Masukan yang telah dilaporkan dalam SPT PPN oleh PKP Penerbit Faktur Pajak. Terhadap selisih yang belum dikembalikan PKP dapat meminta kembali pengembalian pendahuluan dalam hal pajak masukan telah dilaporkan di dalam SPT PPN oleh PKP Penerbit Faktur Pajak. Ada sanksi bagi PKP apabila di kemudian hari diperiksa setelah pengembalian pendahuluan: Bagi PKP dengan Kriteria tertentu dan PKP dengan nilai restitusi kecil yang dikatagorikan sebagai PKP Beresiko Rendah, apabila diperiksa dikenai sanksi sesuai UU KUP.
Percepatan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah fasilitas dari pemerintah dalam pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai. Percepatan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai dilakukan tanpa melalui proses pemeriksaan yang sangat ketat dan proses yang lama, namun melalui proses penelitian sederhana. Percepatan restitusi Pajak Pertambahan Nilai ini diberikan untuk Wajib Pajak yang memiliki Kriteria Tertentu, Wajib Pajak berisiko rendah, dan Pengusaha Kena Pajak dengan kriteria tertentu. Hal ini diharapkan bisa mengurangi biaya kepatuhan karena proses restitusi dilakukan tanpa alur pemeriksaan dan diharapkan bisa meningkatkan cash flow dan likuiditas perekonomian.
Menurut Maulida (2018) restitusi pajak ialah permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak kepada negara. Istilah restitusi pajak atau pengembalian kelebihan pembayaran pajak tertuang dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Pengajuan permohonan restitusi pajak dapat dilakukan melalui du acara yaitu restitusi biasa dan restitusi pendahuluan.
Proses restitusi biasa khususnya pada restitusi PPN dimulai dengan diajukannya permohonan oleh wajib pajak (WP), lalu dilanjutkan dengan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) harus menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 1 (satu) tahun atau 12 (dua belas) bulan sejak permohonan pengembalian kelebihan pajak diterima dan dinyatakan lengkap. Proses ini dinilai memakan waktu lama dan rumit serta dapat membuat Wajib Pajak mengeluhkan pada pelayanan Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Oleh sebab itu, pemerintah melalui DJP memberikan fasilitas perpajakan yang dijalankan pemerintah sejak April 2018 melalui kebijakan percepatan restitusi. Kebijakan ini termuat pada PMK Nomor 39/PMK.03/2018 yang telah mengalami perubahan atau penyempurnaan sebagai mana diubah terakhir dengan PMK Nomor 209/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak. Kebijakan percepatan restitusi khususnya restitusi PPN dapat diberikan lebih cepat tanpa melewati alur proses pemeriksaan yang sangat ketat dan melalui proses yang lama. Hal ini dilakukan guna mendorong efisiensi administrasi perpajakan, meningkatkan tingkat kemudahan berusaha, memberikan kepastian hukum.
Percepatan restitusi PPN memiliki keuntungan apabila dilihat dari sudut pandang Wajib Pajak, karena dapat membantu kelancaran arus kas (cash flow) dan dapat menjadi tambahan modal kerja bagi Wajib Pajak dalam menjalankan bisnisnya, sehingga diharapkan kebijakan percepatan restitusi PPN ini dapat mendorong Wajib Pajak untuk lebih patuh dalam menjalankan kewajiban perpajakannya. Berdasarkan Siaran Pers Kementerian Keuangan RI Nomor 17/2018, kebijakan percepatan restitusi ini ditujukan agar lebih banyak lagi Wajib Pajak yang dapat memanfaatkan fasilitas percepatan restitusi yang pada akhirnya akan meningkatkan kemudahan berusaha dan mengurangi beban opportunity cost akibat proses pemeriksaan restitusi yang panjang dan memakan waktu yang lama. Bagi pemerintah, keuntungan dengan adanya percepatan restitusi yaitu kebijakan ini akan mengurangi pemanfaatan sumber daya pemeriksa yang saat ini digunakan untuk pemeriksaan restitusi sehingga dapat fokus pada upaya pengawasan atas wajib pajak dengan risiko tinggi.
Namun, percepatan restitusi PPN ini juga menimbulkan kerugian, karena dengan adanya percepatan restitusi PPN ini penerimaan pajak melambat khususnya PPN dari tahun sebelumnya. Selain itu, negara harus mengembalikan uang kepada wajib pajak yang merupakan haknya berdasarkan permohonan yang diajukan oleh wajib pajak.
Restitusi adalah pengembalian jumlah pembayaran pajak dari hasil perhitungan pajak yang terutang dengan jumlah kredit pajak dan menunjukkan selisih lebih atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang. Tujuan adanya Restitusi adalah untuk melindungi hak wajib pajak, karena Wajib pajak berhak mengajukan pengembalian kelebihan pembayaran tersebut. Penyebab adanya kelebihan pajak bisa disebabkan Pembelian BKP berupa barang modal yang dilakukan Pengusaha Kena Pajak mulai berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan kena pajak; Pengusaha Kena Pajak memiliki kegiatan ekspor; Pengusaha Kena Pajak menyerahkan BKP atau JKP kepada pemungut PPN; Pengusaha Kena Pajak menyerahkan BKP atau JKP yang memperoleh fasilitas tidak dipungut.
Djuanda & Lubis (2011:121) menyebutkan bahwa restitusi adalah kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai terjadi karena jumlah Pajak Masukan yang dibayar lebih besar daripada jumlah Pajak Keluaran yang dipungut dalam suatu Masa Pajak.
Menurut Sukardji (2016), Pengusaha Kena Pajak (PKP) mengalami kelebihan pembayaran pajak yang dilaporkan dalam SPT Masa PPN dapat disebabkan oleh :
- Jumlah pajak masukan yang dibayar dalam satu masa pajak lebih besar daripada pajak keluaran yang dipungut oleh PKP, hal itu disebabkan oleh PKP melakukan:
- PKP melakukan ekspor BKP berwujud/tidak berwujud
- PKP melakukan ekspor JKP
- PKP melakukan penyerahan BKP/JKP kepada pemungut PPN
- PKP melakukan penyerahan BKP/JKP yang memperoleh fasilitas PPN tidak dipungut
- PKP melakukan pembelian barang modal sebelum berproduksi sehingga belum menyerahkan BKP/JKP
- PKP melakukan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang
- PKP melakukan ekspor BKP yang tergolong mewah.
Kebijakan percepatan restitusi PPN merupakan fasilitas dari pemerintah dalam pengembalian lebih bayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dapat diberikan kepada Wajib Pajak lebih cepat tanpa melewati alur proses pemeriksaan yang sangat ketat dan memakan waktu yang lama. Fasilitas ini diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 209/PMK.03/2021 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak.
Tujuan utama dari kebijakan ini antara lain untuk memperbaiki likuiditas dari Wajib Pajak, terutama UKM dan eksportir. Bagi eksportir yang potensi lebih bayar PPNnya sangat besar karena produk ekspor dibebaskan dari pengenaan PPN (0%), kebijakan ini diharapkan menjadi insentif yang dapat memacu kegiatan ekspornya. Keterangan Pers Kementerian RI No. 19/KLI/2018 menyampaikan bahwa kebijakan percepatan restitusi ini diharapkan akan menurunkan cost compliance karena pemberian restitusi tanpa dilakukan pemeriksaan dan diharapkan kebijakan ini bisa meningkatkan cash flow dan likuiditas perekonomian. Syarat pengajuan percepatan restitusi PPN diatur dalam PMK 209/PMK.03/2021 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 39/PMK.03/2018. Peraturan tersebut menyebutkan bahwasanya wajib pajak yang dapat mendapatkan fasilitas percepatan restitusi PPN ini terbagi menjadi tiga, yaitu wajib pajak kriteria tertentu, wajib pajak persyaratan tertentu dan PKP berisiko rendah.
Jika, permohonan restitusi tanpa melalui proses pengembalian pendahuluan, maka tahapan yang dilalui sebagai berikut :
- Proses ini diawali dengan pengajuan restitusi PPN dilakukan melalui SPT Masa PPN dengan cara membubuhkan tanda silang pada kolom Dikembalikan (restitusi) atau melalui Surat Permohonan yang diajukan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
- Permohonan Wajib Pajak yang sudah diterima kemudian akan diproses oleh Seksi-Seksi yang ada di KPP sampai dengan diterbitkannya Surat Perintah Pemeriksaan (SP2). Penerbitan SP2 juga menandakan bahwa pemeriksaan sudah dimulai. Proses pemeriksaan sendiri berjangka waktu maksimal delapan bulan.
- Pemeriksaan yang sudah selesai akan dilanjutkan dengan pengujian terhadap serangkaian bukti-bukti yang disajikan wajib pajak.
- Kemudian pemeriksa akan menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) kepada Wajib Pajak.
- Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan SPHP, pada saat pembahasan disetujui oleh kedua belah, maka setelahnya diterbitkannya Laporan Hasil Pembahsan (LHP) dan dapat dicairkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) serta diterbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak (SPMKP).
- Surat Perintah Membayar Kelebihan Pajak diusulkan ke KPPN supaya WP mendapat pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang akan ditransfer ke rekening WP sejumlah yang disepakati pada saat pembahasan.
Waktu pemeriksaan restitusi yang berlangsung selama 12 (dua belas) belas bulan yang berlangsung dengan tahapan sebagai berikut :
- Bulan ke 1 : selama 4 minggu pemeriksa pajak akan meminjam dokumen dari wajib pajak yang mengajukan permohonan restitusi dengan rincian yang terdapat pada kolom jangka waktu peminjaman dokumen. Peminjaman dokumen dilakukan supaya pemeriksa dapat mengetahui dan mencocokkan data wajib pajak dengan data yang terdapat di Kantor Pajak, apabila telah sesuai maka dibuatkan berita acara peminjaman dokumen yang berarti bahwa dokumen dari wajib pajak telah sah di serahkan kepada pemeriksa pajak.
- Bulan ke 2 sampai bulan ke 8, pemeriksa pajak melakukan pemeriksaan pada dokumen yang dipinjam dari wajib pajak. Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor maupun di lapangan dan apabila pemeriksaan yang dilakukan belum selesai sampai bulan ke 8, dapat diperpajang sampai dengan pada bulan ke 9 dan 10. Selama pemeriksaan berlangsung, petugas pajak akan memeriksa setiap kegiatan wajib pajak yang berhubungan dengan pajak, dimana wajib pajak tersebut wajib pajak yang patuh dan tepat waktu dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
- Bulan ke 11 sampa bulan ke 12 setelah selesai pemeriksaan, pemeriksa pajak menerbitkan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan (SPHP) dan wajib pajak dapat memberikan tanggapan secara tertulis. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan akhir yang menentukan setuju dan tidak setuju pencairan restitusi.
- Kemudian, jika disetujui dilanjutkan dengan penandatangan berita acara dan laporan hasil pemeriksaan.
Secara garis besar, restitusi pajak merupakan suatu pengembalian kelebihan pembayaran pajak, seperti Pajak Penghasilan (PPh), PPN, ataupun Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Dasar hukum atas pengembalian kelebihan pembayaran pajak adalah Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Sementara itu, aturan pelaksana UU KUP tersebut diatur lebih lanjut dalam peraturan turunan yang sudah mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan terbaru yang mengatur tentang restitusi pajak adalah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 209/PMK.03/2021 tentang Perubahan Kedua atas PMK No. 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak.
Secara garis besar, ada 2 kondisi yang dapat diajukan pengembalian kelebihan bayar pajak atau restitusi pajak, yakni:
1. Kondisi lebih bayar pajak yang seharusnya Tidak Terutang
Kondisi kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya Tidak Terutang ini terjadi karena WP membayar pajak yang seharusnya tidak terutang pajak.
Contoh;
Tuan Ojo Nesu telah membayar pajak penghasilan sebesar Rp50 juta, padahal untuk Tahun Pajak 2021 sebenarnya Tuan Ojo Nesu tidak memiliki Pajak Terutang yang harus dibayarkan.
Dengan demikian, Tuan Ojo Nesu dapat mengajukan restitusi pajak misalnya pada pengajuan pengembalian kelebihan bayar Pajak Terutang Tahun Pajak 2021 senilai Rp50 juta tersebut pada 2022.
2. Kondisi lebih bayar pajak PPh, PPN, dan/atau PPnBM
Sedangkan kelebihan pembayaran pajak PPh, PPN, dan/atau PPnBM ini terjadi ketika WP membayar pajak lebih besar dari pada pajak yang seharusnya terhutang.
Contoh;
PT Baru Anyar merukan Pengusaha Kena Pajak, pada masa pajak Juni 2022 membuat Faktur Pajak Keluaran senilai Rp500 juta. Artinya, PT Baru Anyar telah memungut PPN pada masa pajak ini sebesar nilai tersebut.
Sementara, jumlah nilai dari Faktur Pajak Masukan dari transaksi pembelian barang/jasa kena pajak pada Masa Pajak Juni 2022 ini sebesar Rp600 juta. Artinya, PT Baru Anyar telah dipotong PPN dengan total sebesar Rp600 juta pada saat membeli barang/jasa pada masa pajak tersebut.
Sebagai PKP pemungut pajak pertambahan nilai, PT Baru Anyar wajib menyetorkan pemungutan PPN tersebut ke kas negara.
Namun sebelum menyetorkan/membayarkan pemungutan PPN tersebut, PT Baru Anyar harus mengetahui berapa besar jumlah PPN Terutang yang harus disetorkan ke kas negara.
Untuk mengetahui berapa nilai PPN Terutang yang harus disetorkan tersebut, PT Baru Anyar harus menghitung terlebih dahulu besar PPN Terutang dengan cara mengurangkan Pajak Keluaran dengan Pajak Masukan.
Maka perhitungan PPN Terutangnya adalah sebagai berikut:
Pajak Keluaran : Rp500.000.000
Pajak Masukan : Rp600.000.000
Rumus PPN Terutang = Pajak Keluaran – Pajak Masukan
PPN Terutang : Rp500.000.000 – Rp600.000.000
PPN Terutang : (-) Rp100.000.000 (Lebih Bayar)
Karena Pajak Masukan PT Baru Anyar lebih besar dari Pajak Keluaran yang artinya PPN yang dipungut PKP BBB dibanding dengan PPN yang telah dibayarkan pada saat membeli barang/jasa lebih besar, maka PPN Terutang PT Baru Anyar dinyatakan PPN Lebih Bayar.
Dengan demikian, PT Baru Anyar dapat melakukan dua pilihan atas kelebihan Pajak Masukan tersebut, yakni dilakukan untuk mengkreditkan untuk masa pajak berikutnya, atau melakukan restitusi PPN.
Itulah perbedaan antara pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Tidak Seharusnya Terutang dan resitusi lebih bayar PPh Terutang, PPN Terutang maupun PPnBM.
Ketentuan Umum dan Syarat Restitusi Pajak yang Seharusnya Tidak Terutang
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan, ketentuan dan syarat terkait pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya Tidak Terutang dipisahkan berdasarkan hal yang menyebabkan terjadinya kelebihan pembayaran tersebut.
Setidaknya ada 3 (tiga) jenis restitusi dari penyebab terjadi kelebihan bayar pajak yang seharusnya Tidak Terutang, antara lain:
1. Restitusi Pajak atas Pembayaran Pajak oleh Pembayar
Ketentuan dan syarat restitusi lebih bayar pajak yang seharusnya Tidak Terutang sebab pembayaran pajak oleh pihak pembayar ini harus memenuhi syarat sebagai berikut:
- Pengajuan restitusi pajak diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
- Permohonan pengembalian pajak harus ditandatangani oleh pembayar / melampirkan surat kuasa dalam hal pengajuan restitusi tidak dilakukan oleh pembayar sendiri
- Harus melampirkan dokumen bukti asli pembayaran pajak berupa SSP (Surat Setoran Pajak), penghitungan pajak yang seharusnya tidak terutang, dan alasan dari permohonan restitusi
- Disampaikan langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat Wajib Pajak terdaftar atau KPP wilayah kerjanya
- Pengajuan restitusi juga bisa melalui pos dan/atau jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti penerimaan surat permohonan atau resi pengiriman.
2. Restitusi Pajak dalam Rangka Impor
Sedangkan syarat pengajuan restitusi pajak atas kelebihan pembayaran pajak dalam rangka impor adalah:
- Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia
- Permohonan restitusi harus ditandatangani oleh WP atau melampirkan surat kuasa dalam hal diwakilkan pihak lain
- Melampirkan dokumen seperti fotokopi surat setoran pabean cukai dan pajak atau yang dipersamakan dengan surat setoran pabean cukai dan pajak, fotokopi SPTNP, SPKTNP, SPKPBM, SPP, atau dokumen berisi pembatalan impor, fotokopi keputusan keberatan, putusan banding, dan/atau putusan peninjauan kembali yang terkait dengan SPTNP, SPKTNP, SPKPBM, atau SPP, penghitunagn pajak yang seharusnya tidak terutang, dan alasan pengajuan restitusi
- Disampaikan langsung ke KPP tempat WP terdaftar
- Pengajuan restitusi bisa dilakukan melalui pos atau jasa ekspedisi /jasa kurir
- Bukti penerimaan surat atau bukti pengiriman surat
Ketentuan Pengajuan Pengembalian Lebih Bayar Pajak PPh, PPN dan PPnBM
Secara garis besar proses pengajuan kelebihan pembayaran atau restitusi PPh, PPnBM dan PPN adalah sama.
Jika pengajuan pengembalian kelebihan bayar atau restitusi PPN, PKP dapat memilih untuk dilakukan proses pengembalian pendahuluan atau proses restitusi biasa.
Seperti yang sudah dibahas di atas, untuk menjadi pertimbangan PKP, proses pengembalian pendahuluan lebih cepat hanya dapat dilakukan untuk Wajib Pajak PKP tertentu.
Sesuai Pasal 17D UU KUP dan PMK No. 39/PMK.03/2018, salah satu syarat pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN wajib pajak tertentu adalah:
- WP Badan: Nilai restitusi atau jumlah lebih bayar PPN paling banyak Rp1 miliar
- WP pribadi: Nilai restitusi kelebihan pembayaran pajak paling banyak Rp100 juta
Terbaru, melalui perubahan kedua dari PMK No. 39/PMK.03/2018, yaitu PMK 209/PMK.03/2021, pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak hingga Rp5 miliar.
Proses restitusi pajak lebih cepat karena hanya dilakukan penelitian namun di masa yang akan datang dimungkinkan dilanjutkan dengan pemeriksaan apabila ditemukan data baru.
Secara khusus, ketentuan restitusi PPN adalah?
Ketentuan restitusi PPN adalah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Dalam kebijakan ini dijelaskan, jika jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, maka DJP akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), setelah dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu.
Proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak diawali dengan penyerahan pengajuan restitusi pajak, yang dilanjutkan penelitian terhadap permohonan restitusi tersebut oleh DJP.
Apabila telah dilakukan penelitian, DJP akan menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) dan permohonan pengembalian pendahuluan PPN ini paling lama 1 (satu) bulan.
Sedangkan untuk proses restitusi biasa, proses restitusi dilakukan melalui pemeriksaan. Jangka waktu pemeriksaan pun paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima dalam kondisi lengkap.
Landasan hukum restitusi PPN antara lain UU No. 28 tahun 2007, diperkuat dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 192/PMK.03/2007, yang kemudian diubah menjadi PMK Nomor 74/PMK.03/2012 dan kemudian diubah lagi menjadi PMK Nomor 198/PMK.03/2013. Kemudian diubah lagi melalui PMK Nomor 39/PMK.03/2018. Terbaru, ketentuan restitusi PPN diperbarui lagi melalui 209/PMK.03/2021
Penyebab Kelebihan Pembayaran PPN
Kelebihan pembayaran PPN sehingga menyebabkan PKP dapat melakukan restitusi pajak biasanya terjadi pada:
- Eksportir yang penjualannya dikenakan tarif PPN 0%
- PKP yang baru didirikan melakukan pembelian/belanja barang modal
- PKP yang menjual barang dan jasanya kepada pemungut PPN
Sedangkan penyebab terjadinya kelebihan pembayaran PPN yang dapat menimbulkan restitusi berdasarkan UU PPN dan UU KUP adalah:
1. Berdasarkan UU PPN Pasal 9 ayat 4a
Penyebab kelebihan pembayaran PPN yang berujung pada restitusi PPN menurut UU PPN Pasal 9 ayat 4a, disebabkan oleh jumlah Pajak Masukan lebih besar daripada jumlah pajak keluaran.
- PKP memiliki atau melakukan kegiatan usaha ekspor
- PKP melakukan penyerahan barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) kepada pemungut PPN
- PKP melakukan penyerahan BKP atau JKP yang memperoleh fasilitas PPN tidak dipungut
- Pembelian BKP berupa barang modal yang dilakukan sebelum PKP yang belum berproduksi sehingga belum melakukan penyerahan yang terutang PPN
- Keadaan lainnya yang menyebabkan dalam satu masa pajak, jumlah pajak masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada jumlah pajak keluaran
2. Berdasarkan UU PPN Pasal 16E
Sedangkan restitusi PPN lebih bayar berdasarkan Pasal 16E UU PPN adalah orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri melakukan pembelian barang di dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi di dalam daerah pabean.
3. Berdasarkan UU KUP Pasal 17 ayat 2
Kelebihan pembayaran PPN yang mengakibatkan restitusi PPN berdasarkan UU KUP Pasal 17 ayat 2 karena terjadinya kesalahan pemungutan yang mengakibatkan:
- PPN yang dipungut lebih besar daripada yang seharusnya misalnya disebabkan karena kesalahan dalam penghitungan atau penerapan dasar pengenaan pajak (DPP) PPN yang salah
- Pemungutan PPN yang seharusnya tidak dipungut. Contohnya, atas penyerahan barang yang mendapat fasilitas PPN tidak dipungut, tetapi tetap dilakukan pemungutan PPN.
Daftar Pustaka
Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
PMK 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak
PMK 209/PMK.03/2021 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 39/PMK.03/2018 tentang Tata Cara Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak
SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan Pajak
PMK 74/PMK.03/2012 tentang Tata Cara Penetapan Dan Pencabutan Penetapan Wajib Pajak  Dengan Kriteria Tertentu Dalam Rangka Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak
Djuanda: Lubis, 2011. Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Edisi Revisi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Hidayat, Nurdin dan Dedi Purwana ES. Perpajakan, Teori dan Praktik. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 2017.
Maulida, R. (2018). Restitusi Pajak: Pengertian, Tujuan dan Syarat Percepatan Restitusi Pajak. Online Pajak [on-line]. Diakses 26 Oktober 2019 dari https://www. online-pajak.com/tentang-kami.
Sukardji, Untung, 2015. Pajak Pertambahan Nilai. Edisi Revisi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H