Salah satu hak dari Wajib Pajak adalah mengajukan pengembalian atas pajak yang lebih dibayarkan kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau restitusi dapat dilakukan di antaranya apabila terdapat kondisi kelebihan pembayaran PPN. Pengertian Restitusi PPN menurut Nurdin Hidayat dan Dedi Purwana (2017:231) adalah sebagai berikut: "Restitusi PPN timbul bilamana dalam suatu masa pajak, pajak masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada pajak keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat diminta kembali (restitusi)".
Syarat
Sejatinya, pengembalian kelebihan pembayaran pajak atau restitusi dapat dilakukan terhadap dua kondisi. Kondisi pertama adalah pengembalian kelebihan pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang. Dimana kondisi ini dapat terjadi saat Wajib Pajak membayar pajak padahal semestinya tidak terutang pajak.
Kondisi yang kedua adalah pengembalian kelebihan pembayaran Pajak Penghasilan (PPh), PajakPertambahan Nilai (PPN), dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah(PPnBM). Kondisi ini terjadi jika Wajib Pajak membayar pajak lebih besar dari pada yang semestinya harus dibayarkan. Untuk PPN, pengembalian kelebihan pembayaran pajak oleh DJP biasanya diajukan karena adanya kelebihan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau PPN terutang oleh pengusaha kena pajak (PKP).
Dalam hal pengajuan pengembalian kelebihan bayar atau restitusi PPN, PKP dapat memilih untuk dilakukan proses pengembalian pendahuluan atau permohonan restitusi biasa. Yang perlu digaris bawahi, proses pengembalian pendahuluan lebih cepat hanya dapat dilakukan untuk Wajib Pajak yang memiliki kriteria tertentu, Wajib Pajak persyaratan tertentu, dan pengusaha PKP berisiko rendah.
Berdasarkan UU KUP Â Pasal 17D dan PMK No. 39 Tahun 2018, salah satu syarat pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran PPN untuk Wajib Pajak tertentu adalah nilai restitusi atau jumlah lebih bayar PPN paling banyak Rp 1 miliar untuk Wajib Pajak badan, dan untuk orang pribadi nilai restitusi kelebihan pembayaran pajak paling banyak Rp 100 juta.
Melalui aturan terbaru yaitu PMK 209/PMK.03/2021, pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak hingga Rp 5 miliar. Sejatinya, proses restitusi pajak dengan mekanisme pengembalian pendahuluan bisa berlangsung lebih cepat karena hanya dilakukan penelitian, akan tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi pemeriksaan di kemudian hari apabila ditemukan data baru. Karena hal ini sejalan dengan pembahasan sebelumnya terkait revitalisasi pemeriksaan restitusi. Dimana terhadap Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak dapat dilakukan pemeriksaan rutin (post-audit) untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
Ketentuan restitusi PPN ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 6/1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Dalam kebijakan ini disebutkan jika jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar dari jumlah pajak yang terutang, maka Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) setelah dilakukan pemeriksaan.
Kemudian, proses pengembalian kelebihan pembayaran pajak diawali dengan permohonan restitusi pajak kepada DJP, yang dilanjutkan penelitian terhadap permohonan restitusi tersebut oleh DJP. Setelah dilakukan penelitian oleh DJP, DJP akan menerbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak (SKPPKP) dan proses permohonan pengembalian pendahuluan PPN ini paling lama 1 (satu) bulan.
Sedangkan untuk proses permohonan restitusi biasa, proses ini akan dilakukan melalui proses pemeriksaan bukan penelitian seperti halnya proses pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak. Jangka waktu pemeriksaannya sendiri paling lama 12 bulan sejak surat permohonan diterima dan dinyatakan lengkap oleh DJP.
Mekanisme