Nero mendesah pelan, mendekati sahabat karibnya itu dan terduduk di sampingnya.
"Ayolah, Asada. Hargai aku dan istriku. Ini bento buatan istriku yang khusus ia buat untukmu. Dan lagipula, aku tidak mau melihat tubuhmu itu semakin kurus dari hari ke hari. Kau sangat menyesakkan aku, Asada."
Senyuman pahit itu lagi-lagi terulas dalam lesu wajahnya yang kini terlihat berantakan, ditambah dengan tonjolan tulang pipinya yang menandakan seberapa banyak bobot tubuhnya yang berkurang drastis.Menghela nafasnya panjang, Asada memilih bersandar di sofanya.
"Hari ke-tiga puluh, Nero. Apa dia berniat meninggalkan aku sekarang?"
"Hey, apa maksudmu?",tanya Nero tak mengerti.
Asada memejamkan matanya.
"Apa ini hukuman Tuhan karena dosa-dosaku? Apa ia ingin menukar jiwa-jiwa yang telah kubunuh dengan jiwa dari seorang wanita yang paling aku cintai?"
"...."
"Kupikir, Tuhan mengabaikan seluruh dosaku. Memberikan seluruh kebahagiaan yang ingin kugenggam padaku dan keluargaku. Tapi kenyataannya? Dia membiarkan aku merasakan sakit itu, Nero. Sakit karena matinya orang-orang yang paling kau cintai, luka karena perbuatan tak manusiawi yang kulakukan selama ini."
"Asada, kau.."
"Euthanasia, Nero. Aku benar-benar seorang malaikat pencabut nyawa. Aku bukanlah dokter. Aku hanyalah malaikat pencabut nyawa berpakaian dokter. Huh. Benar begitu,kan?"