Seingatku, itulah obrolan kami ketika dirinya masih kelas 1 SMP. " Heheh...keren banget, tapi belajarnya jangan ngawur yah." Kataku ikutan bahagia. Â Iya, aku memang bahagia, sekalipun anak ini bukan lahir dari rahimku. Â Mengikuti curhat dan perkembangannya membuatku begitu menaruh mimpi pada masa depannya.
Seperti jalan hidup yang tidak seorang pun tahu. Â Ketika setahun kemudian Marcel juga harus kehilangan opa yang selama ini berperan sebagai orang tua pengganti papanya. Â "Tan, opa aku juga meninggal. " katanya datar ketika kabar duka itu datang.
"Iya, sudah waktunya. Â Tapi kamu khan punya tante adek papa, dan juga ada akyu." Kataku mencoba menghiburnya. Â Meski hatiku sendiri terpukul dan beribu tanya, "Kenapa anak ini begitu berat jalan hidupnya."
Begitulah cerita dan waktu terus berjalan. Â Aku bukan siapa-siapa di dalam hidupnya, aku hanya mencoba menjadi "sahabat" baginya. Â Termasuk ketika kembali dikatakannya untuk tidak melanjutkan SMA. Â
"Nggak, kamu itu harus lanjut SMA dan kuliah. Â Terserahlah mau kuliah apapun boleh yang memang mampu kamu jalani Cel. Â Sedangkan bola, yah jalani saja terus. Â Mau tanding, yah ikutan saja tanding, asal pelajaran tidak berantakan." Kataku bawel dan ngotot. Â Heheh... kocak, padahal aku ini siapa.
"Kamu tahu Cel, di Indonesia menjadi atlet saja tidak cukup. Â Ok, kamu punya bakat bola, dan jago banget. Â Terbukti kamu masuk U 15, dan sering tanding hingga ke luar negeri. Â Tetapi ingat, di Indonesia sulit pilihan hidup menjadi atlet. Â Kamu harus punya lebih dari bakat dan lebih dari sekedar hebat. Â Harus luarbiasa hebat, harus spektakuler!" Lanjutku.
"Lihat saja banyak atlet hebat yang kemudian hidupnya tragis. Â Mereka hanya berjaya di masanya, tetapi kemudian dilupakan orang dan hancur. Â Beda cerita jika kamu itu punya ijazah D 3 setidaknya, dan kemudian kamu berkarir sebagai atlet bola misalnya. Â Terus tabung deh setiap kali mendapat bonus cetak gol.Â
Lalu setelah masa jaya lewat, kamu bisa buka usaha. Â Terserah mau membuka sekolah bola, ataupun usaha di bidang olahraga." Kataku menjelaskan kepada bocah belia ini.
"Kamu lihat deh mereka yang atlet-atlet jago itu. Â
Apa kamu pikir mereka tidak berbakat? Â Sebab mereka berbakatlah lalu ditempa, makanya berjaya hingga mewakili Indonesia, meraih emas dan bonus macem-macem. Â Tetapi setelahnya, bagaimana? Â Inilah juga yang harus dipikirkan." Â Kataku kemudian.
Aku ingat banget pembicaraan itu berlangsung saat aku menunggu putriku latihan kolintang. Â Tidak ada sedikitpun canggungnya bercerita tentang mimpinya. Dia begitu jujur dan polos menanyakan pendapatku.