Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Jadi Atlet, Bakat Saja Tidak Cukup

6 Agustus 2021   01:33 Diperbarui: 6 Agustus 2021   01:35 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Atlet Asian Games. Sumber: Tempo

"Tan.., doain aku menang yah, sore nanti aku tanding."  Teriakan bocah remaja sahabat putriku sekitar 5 tahun lalu di parkiran sekolah kami.  Ingat sekali diriku, dengan nada bahagia dan penuh semangatnya.  

Maklum hubungan kami cukup dekat, sudah seperti anak sendiri.  Aku juga sering menonton setiap pertandingan futsal mereka, baik di sekolah kami maupun di tempat lain.  Mereka tiga jagoanku, dan Marcel nama anak ini salah satu diantaranya.

Tetapi cerita berubah dalam sekejap ketika siang itu berubah menjadi kabar duka.  Marcel kehilangan papa yang dicintainya.  Sementara mamanya telah lebih dulu dipanggil karena sakit ketika dirinya masih kelas 4 SD.  

Aku terdiam, karena begitu cepat sukacita menjadi dukacita.  Begitu berat kehidupan yang harus dijalani anak ini nantinya.  

Tetapi itulah kehidupan, sepenggal cerita yang menjadikan kami semakin dekat.

Teringatnya dulu ketika masih di SD didatanginya aku, "Tan, aku nanti mau jadi atlet saja.  Aku mau fokus di bola saja, masuk klub."  Heheh...jujur harus aku akui, anak ini memang berbakat.  

Bahkan sangat berbakat untuk menjadi pemain bola professional.   Permainan bolanya lincah, dan jago mencetak gol.

"Mending jangan deh, mending juga kamu lanjut SMP, terus SMA dulu deh," kataku.  Aku memang bukan mamanya.  Tetapi menurutku, di Indonesia pilihan hidup menjadi atlet tidaklah menjanjikan.  Kenyataanya selembar ijazah dan gelar kesarjanaan lebih menjamin masa depan.

Itulah obrolan kami ketika SD, sebelum kenyataan pahit harus ditelan ketika Marcel kehilangan ayahnya.  Sebagai seorang ibu, aku sangat bisa memahami rasa kehilangannya.  

Tetapi luarbiasa, anak ini begitu tangguh.  Dia tetap menjalani harinya penuh semangat, termasuk kecintaanya pada bola.  "Tan, aku masuk U 15 dong," katanya "pamer' sambil tersenyum bahagia.

Seingatku, itulah obrolan kami ketika dirinya masih kelas 1 SMP. " Heheh...keren banget, tapi belajarnya jangan ngawur yah." Kataku ikutan bahagia.  Iya, aku memang bahagia, sekalipun anak ini bukan lahir dari rahimku.  Mengikuti curhat dan perkembangannya membuatku begitu menaruh mimpi pada masa depannya.

Seperti jalan hidup yang tidak seorang pun tahu.  Ketika setahun kemudian Marcel juga harus kehilangan opa yang selama ini berperan sebagai orang tua pengganti papanya.  "Tan, opa aku juga meninggal. " katanya datar ketika kabar duka itu datang.

"Iya, sudah waktunya.  Tapi kamu khan punya tante adek papa, dan juga ada akyu." Kataku mencoba menghiburnya.  Meski hatiku sendiri terpukul dan beribu tanya, "Kenapa anak ini begitu berat jalan hidupnya."

Begitulah cerita dan waktu terus berjalan.  Aku bukan siapa-siapa di dalam hidupnya, aku hanya mencoba menjadi "sahabat" baginya.  Termasuk ketika kembali dikatakannya untuk tidak melanjutkan SMA.  

"Nggak, kamu itu harus lanjut SMA dan kuliah.  Terserahlah mau kuliah apapun boleh yang memang mampu kamu jalani Cel.  Sedangkan bola, yah jalani saja terus.  Mau tanding, yah ikutan saja tanding, asal pelajaran tidak berantakan." Kataku bawel dan ngotot.  Heheh... kocak, padahal aku ini siapa.

"Kamu tahu Cel, di Indonesia menjadi atlet saja tidak cukup.  Ok, kamu punya bakat bola, dan jago banget.  Terbukti kamu masuk U 15, dan sering tanding hingga ke luar negeri.  Tetapi ingat, di Indonesia sulit pilihan hidup menjadi atlet.  Kamu harus punya lebih dari bakat dan lebih dari sekedar hebat.  Harus luarbiasa hebat, harus spektakuler!" Lanjutku.

"Lihat saja banyak atlet hebat yang kemudian hidupnya tragis.  Mereka hanya berjaya di masanya, tetapi kemudian dilupakan orang dan hancur.  Beda cerita jika kamu itu punya ijazah D 3 setidaknya, dan kemudian kamu berkarir sebagai atlet bola misalnya.  Terus tabung deh setiap kali mendapat bonus cetak gol. 

Lalu setelah masa jaya lewat, kamu bisa buka usaha.  Terserah mau membuka sekolah bola, ataupun usaha di bidang olahraga." Kataku menjelaskan kepada bocah belia ini.

"Kamu lihat deh mereka yang atlet-atlet jago itu.  

Apa kamu pikir mereka tidak berbakat?  Sebab mereka berbakatlah lalu ditempa, makanya berjaya hingga mewakili Indonesia, meraih emas dan bonus macem-macem.  Tetapi setelahnya, bagaimana?  Inilah juga yang harus dipikirkan."  Kataku kemudian.

Aku ingat banget pembicaraan itu berlangsung saat aku menunggu putriku latihan kolintang.  Tidak ada sedikitpun canggungnya bercerita tentang mimpinya. Dia begitu jujur dan polos menanyakan pendapatku.

"Acel (panggilan akrab kami), kamu itu khan sekarang sudah sendiri.  Jadi, kamu harus berhasil menata masa depanmu, sekalipun memang ada tantemu (adek papanya) yang mengurusmu.  

Tetapi, kamu harus memastikan, kamu punya masa depan.  Apalagi kamu anak tunggal, dan cowok.  Pastinya mama serta papamu menaruh harapan besar ke kamu, dan kamu akan jadi kepala keluarga nantinya.  Sekalipun mereka sudah tidak ada sekarang ini, percaya deh itu harapan mereka.

Begitulah waktu berjalan, hingga akhirnya kami dipisahkan.  Putriku memilih melanjutkan ke SMA Negeri.  Tetapi aku bahagia karena Marcel tetap melanjutkan pendidikannya ke SMA.  Kami pun masih terus berkomunikasi tentang banyak hal.

Termasuk di saat pandemi ini.  Beberapa kali aku melihat posting di status WA nya sedang latihan.  "Jaga jarak, dan kesehatan yah Cel," chattingku lewat WA.

Yahhh..menurutku sejauh ini menjadi atlet di Indonesia tidak cukup dengan modal bakat.  Faktanya, kita saja masih kurang menghargai para atlet.  Mereka tidak lebih seperti euforia, hanya sesaat dan kemudian dilupakan.

Sebut saja nama atlet Denny Thios, mantan atlet angkat besi yang pernah memecahkan tiga rekor dunia, tetapi berakhir menjadi tukang las.  Kemudian Leny Haini, atlet dayung di Kejuaraan Dunia Perahu Naga Asia 1996, Kejuaraan Dunia di Hongkong, hingga Kejuaraan Asia di Taiwan 1998 tetapi berakhir menjadi buruh cuci.  

Lalu, Ellyas Pical orang Indonesia pertama yang berhasil merebut titel dunia, Super Flyweight IBF pada tahun 1985 tetapi kini berakhir menjadi satpam diskotik. Kemudian nama Marina Segedi, atlet pencak silat peraih medali emas pada Sea Games 1982 di Filipina yang setelah pensiun berakhir menjadi sopir taksi.

Mereka hanya segelintir dari cerita miris nasib para atlet di negeri ini.  Mereka yang mengharumkan nama bangsa, tetapi terlupa begitu saja.  Semua gegap gempita itu berakhir seiring waktu, dan mereka berjuang sendiri mempertahankan hidup.  Menyedihkan, tetapi inilah fakta yang terjadi.

Inilah juga pesanku kepada Marcel selama ini.  Meski bukan anak yang lahir dari rahimku, tetapi aku tidak ingin dia memilih jalan hidup yang salah. "Ehhhmm...tulisan ini mengingatkanku untuk menanyakan kabarnya.  Kira-kira ingin melanjutkan kemana yah anak itu setelah tamat SMA."

Jakarta, 6 Agustus 2021

Referensi (1)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun