Mohon tunggu...
Desy Pangapuli
Desy Pangapuli Mohon Tunggu... Penulis - Be grateful and cheerful

Penulis lepas yang suka berpetualang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Edelweiss Terakhir

30 Oktober 2020   20:23 Diperbarui: 30 Oktober 2020   20:46 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://inspirasipagi.id/

"Ren, kita balik kemah yuks.  Dingin tahu disini.  Mending kita balik ke perkemahan, duduk dekat perapian, terus bikin mie instant.  Lagian, ngapain sih lu disini sendirian.  Muncul penampakan aja, baru nyahok lu," suara Shinta membujuk Renata.

Gunung Gede malam itu memang kelewat dingin.  Heheh...namanya gunung sih sudah pasti dingin kalau malam.  Hanya saja Renata memang memilih sendiri, menenangkan hatinya setelah putus dengan Bimo.  Itu sebabnya Renata ngabur naik gunung bersama rombongan pencinta alam kampusnya.

"Elu aja balik sendiri gih, berisik disini.  Biar gua sendiri disini ditemanin bintang doang.  Soal penampakan gua nggak takut.  Kata gua, manusia itu lebih horor daripada hantu.  Lihat aja tuh si Bimo, cowok brengsek tukang selingkuh," sahut Renata dengan nada tinggi.

Duduk sendiri Renata menatap bintang, airmatanya berlahan jatuh dan berujung isak.  Dua tahun cinta itu dijalin bersama Bimo, tetapi semua hancur karena mahasiswi baru?  Gila..., buta banget mata gua selama ini.  Ngerti banget Bimo itu playboy kampus.  Tetapi 2 tahun itu lama coy!  Apa iya selama ini gua begitu dodol sampai nggak tahu kalau gua diselingkuhin, dan itu sudah banyak?  Hingga akhirnya, didepan matanya Renata mendapati Bimo mencium mahasiswi baru yang haram banget baginya disebut nama.  Terisak Renata sambil menatap bintang.  Seolah disana ada tempatnya mengadu, berbagi kesedihan.

"Alam memang setia.  Seperti bintang yang selalu menemani bulan dalam gelap sekalipun.  Kita nggak pernah sendiri.  Berbagi kepada alam, nggak membuat kita tersudut.  Meski memang tidak ada jawaban seperti yang kita mau.  Tetapi apakah semua yang kita mau pasti terjadi?" sebuah suara kemudian terdengar, lalu duduk tak jauh dari Renata.

Jujur kaget Renata karena tahu-tahu seseorang datang.  Dilihatnya asal suara itu, seorang cowok atletis dengan wajah sedih, dan dingin.  Ehhhmm...mungkin dia dari perkemahan lain, pikir Renata.

"Panggil aku Raka, itu namaku," katanya sambil terus memandangi bintang tak bergeming.

"Aku Renata, dan ini malam pertamaku disini bersama teman-teman di perkemahan sana," sahut Renata urung mengulurkan tangannya.  Dilihatnya Raka terus memandangi bintang, dan di wajah itu terlihat kesedihan yang sangat.  Ehhmmmm...mungkin dia memiliki cerita yang sama denganku pikir Renata.

Malam itu Renata kembali ke kemahnya, dan entah kenapa wajah Bimo mendadak berganti wajah Raka.  Cowok misterius, mengusik perhatian Renata. Setahunya disini tidak ada yang berkemah kecuali rombongan kampusnya.  Tetapi, ah sudahlah mungkin aku saja yang sotoy pikirnya.

Seperti kemarin, maka malam berikutnya Renata kembali ke tempat yang sama.  Berharap bisa bertemu Raka, dan mengenal lebih dalam.  Benar saja, dari jauh dilihatnya cowok itu sudah duduk disana.  Bukan memandang langit, tetapi hanya menatap kosong.

"Malam, kamu sudah duluan disini?  Aku suka disini, karena bintang itu seolah menghibur aku," celoteh Renata tampa ditanya lalu memilih duduk lebih dekat dengan Raka.

"Patah hati?  Cinta memang misteri, menyenangkan dan sekaligus menyakitkan.  Terlebih jika kita tidak bisa memiliki orang yang kita cintai," sahutnya dingin.

Tidak terasa malam terus berlanjut, dan Renata larut dalam pertemanannya yang baru.  Bertemu Raka membuat mendapatkan tepat berbagi.  Menebak Renata dalam hatinya, pasti Raka juga baru patah hati.  Makanya nyambung banget bicara dengannya.  Beda dengan Shinta dan kawan-kawan di kemah yang mentertawakan ketololnya mau didodolin Bimo playboy cap tikus.

"Ren, sudah dua hari gua perhatiin lu selalu kelayapan malam-malam.  Ini Gunung Gede sist, emangnya lu kagak takut ketemu hantu?  Lu tahu dong cerita tentang pendaki yang hilang.  Baik-baik lu ketemu mereka" teriak Shinta saat kembali di malam ketiga Renata tampak terlihat meninggalkan kemah.

Seperti juga kemarin, Raka terlihat sudah disana.  Wajah itu segera memaling ke arah Renata datang.  "Boleh aku minta tolong?" katanya.  Suara itu entah kenapa begitu terasa ada kesedihan yang sangat disana.

"Katamu besok mau turun.  Jika kamu tidak keberatan, tolong bawakan Edelweiss ini untuk kekasihku Luna.  Aku janji membawakannya segera.  Tetapi tampaknya aku harus lebih lama disini.  Bilang saja, kamu ketemu aku diatas.  Tenang, Lunaku tidak akan cemburu.  Dia gadis yang baik, sama seperti kamu," begitu Raka memohon.

"Jaga dirimu Renata.  Bersabarlah untuk sebuah cinta, dan tidak semua cinta harus memiliki," begitu ucap terakhir Raka, lalu berdiri dan berjalan dalam malam yang dingin itu.

"Edelweiss?" tanya Renata sambil menerima bunga itu.  Tetapi Raka telah menghilang begitu cepat dalam gelap Gunung Gede.

Tidak sampai hati Renata menolak walau dirinya sendiri bingung.  Meski baru mengenal beberapa hari, kesabaran Raka mendengar cerita patah hatinya membuat Renata seolah mendapat kekuatan.  Memahami bahwa cinta memiliki seribu rasa dan cerita menemui keabadiannya.

Raka juga yang membuka matanya bagaimana cara mencintai dan dicintai.  Butuh lebih dari sekedar pengorbanan, begitu katanya.

Malam itu di dalam kemah dipandanginya Edelweiss milik Luna.  Bunga berwarna putih kekuningan simbol keabadian ini hanya tumbuh di pegunungan dengan ketinggian di atas 2.000 meter di atas permukaan laut (mdpl).  Ahh... betapa beruntungnya Luna, memiliki Raka pikir Renata.

Esok pagi bersama rombongannya Renata pun turun gunung.  Matanya menangkap sebuah perkemahan, lalu berlari dirinya mendatangi.

"Maaf teman-teman, apakah disini ada yang bernama Raka?" tanya Renata penuh harap.  Tetapi tidak satupun penghuni di kemah itu mengenalnya.  Bahkan hingga sampai turun ke desa, tidak ada lagi perkemahan yang ditemui Renata.

Berjuta perasaan dan pertanyaan mulai berdatangan di kepala Renata.  Lalu siapa Raka yang ditemuinya selama 2 malam diatas itu.  Hanya Luna yang bisa menjawab pikir Renata.

Nggak pakai lama segera setelah sampai di kota, didatangi alamat yang pernah diceritakan Raka.  Sebuah rumah mungil dengan halaman penuh beraneka bunga terlihat begitu asri diantara jajaran rumah beton yang megah.

"Selamat sore mbok, maaf bisa saya bertemu dengan Luna?" tanya Renata kepada seorang wanita setengah baya.

Tak lama tampak seorang gadis cantik berambut sebahu keluar, dan suaranya sangat lembut menyapa Renata.  "Maaf, mbak siapa?  Kata si mbok, mbak cari saya?" tanya gadis itu yang rupanya Luna.  Wow...cantik sekali dia pikir Renata dalam hati.  Beda banget dengan aku yang tomboy habis.

Renata pun lalu diajaknya masuk, dan mereka duduk di teras ditemani teh hangat bikinan si mbok.  "Monggo diminumnya tehnya non," kata si mbok ramah.

"Aku Renata, dan Raka menitipkan ini untuk kamu.  Kami bertemu di Gunung Gede.  Maaf, katanya dia harus lebih lama diatas, jadi ini untuk kamu," jelas Renata sambil memberikan Edelweiss itu ke tangan Luna.

"Dia cowok yang baik, mau mendengarkan cerita aku.  Dia juga cerita banyak hal tentang kamu Lun.  Heheh...rupa-rupanya Raka itu gila mendaki yah?  Tetapi, cuma kamu loh yang dipikirkannnya selama di atas.  Dia cerita banyak tentang kamu, dan kekhawatiran kamu setiap kali dia mendaki.  Heheh...tenang Luna, Raka baik-baik saja," lancar Renata bercerita tetapi tidak ada suara Luna terdengar.

"Kak Raka...Kak Raka... tidak pernah kembali kak.  Kak Raka dinyatakan hilang dalam pendakian 2 tahun yang lalu," suara lirih Luna menahan tangis sambil memegangi Edelweiss dengan erat.  Seolah ada rindu yang menyakitkan tertahan disana.

"Aku sudah melarangnya untuk tidak pergi karena cuaca saat itu tidak baik.  Tetapi Kak Raka ngotot, dan kami bertengkar hebat.  Edelweiss ini adalah janjinya.  Katanya, aku pasti turun dengan Edelweiss ditangan, membuktikan cintaku abadi dan kami akan bertunangan setelahnya.  Kak Raka janji, itu akan menjadi pendakiannya yang terakhir," cerita Luna dalam tangisnya hancur hati.

"Kak Raka pergi saat aku begitu marah dan kecewa.  Tetapi bukan karena aku membenci.  Aku mencintai Kak Raka lebih dari yang dia tahu kak.  Aku bahkan tidak pernah sanggup mengucapkan selamat jalan sekalipun aku tahu Kak Raka tidak akan pernah kembali.  Aku mencintai Kak Raka...aku mencintainyaaa... Bahkan hingga kini, kak" tangis Luna pecah.

Terpaku dan diam seribu bahasa Renata mendapati apa yang terjadi.  Raka yang ditemuinya, dan tempatnya mengadu ternyata adalah pendaki gunung yang hilang?  Jadi...aku selama 3 malam berbicara dengan....berkecamuk batin Renata galau.

"Luna, aku nggak tahu harus bilang apa?  Aku juga nggak tahu cerita tentang Raka, dan siapa Raka.  Bahkan kalaupun Raka yang ku temui adalah sosok yang telah meninggal.  Tetapi Edelweiss ini darinya, dan dia sangat mencintai kamu.  Janjinya sudah ditepati membawakan Edelweiss ini sebagai cinta abadinya untuk kamu Luna, meski itu lewat aku.  Mungkin kita harus belajar melanjutkan hidup, karena cinta tak selalu harus memiliki.  Itu nasehat Raka untukku, dan mungkin itu juga untuk kamu," sahut Renata dengan airmata yang juga kemudian jatuh.

"Kamu memiliki cinta dan kenangan itu.  Meski maut memisahkan, tetapi bukan cinta yang berakhir.  Cinta itu abadi, hingga waktunya nanti dipertemukan dalam keabadian lainnya," suara Renata menguatkan Luna yang menangis dalam pelukannya.  Tangisnya pecah, dan tubuhnya bergetar begitu hebat.  Ditumpahkannya seluruh cinta dan kesedihannya kepada Renata.

Lalu sore menjadi hening.

Cinta milik Luna dan Renata mungkin berbeda, tetapi kehilangan yang sama itu menyatukan keduanya.  Edelweiss terakhir Raka telah sampai ke tangan Luna, seperti janjinya.

"Selamat jalan Kak Raka," suara lirih Luna terdengar hancur sambil mendekap bunga keabadian itu erat.

Jakarta, 30 Oktober 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun