Mohon tunggu...
Desthalia
Desthalia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kelabu Kala Senja

5 November 2017   22:11 Diperbarui: 6 November 2017   22:23 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Petang itu aku melihat mentari sudah mulai terbenam diujung pertumpuan tanah dan langit. Sangat merona warnanya, begitu indah hingga memberiku secercah harapan bahwa hidup itu memiliki setidaknya sesudut saja keindahan. Aku berjalan menyusuri jalan setapak dibelakang perkampungan tempatku tinggal. Ditengah perjalananku kudengar suara Adzan Maghrib berkumandang meski samar-samar gemanya.  "Wah, ini sudah Maghrib, aku harus cepat pulang !" 

Ibu pasti akan memarahiku kalau aku telat sampai rumah. Ia khawatir kalau aku kali-kali diculik oleh tentara Jepang dan dijadikan mainannya. Aku percepat langkahku menyusuri jalan itu dibawah sinar rembulan baru yang remang. Hingga tanpa sengaja aku menginjak sesuatu, sesuatu yang aneh. Tapi aku tak mau menghiraukannya, aku harus segera sampai atau tidak Ibu akan khawatir.

Saat itu, aku sudah sebentar lagi sampai ke kampungku, menyelesaikan jalan setapak ketika aku mendengar suara gesekan rerumputan yang bunganya mulai mengering, seakan seseorang mengikutiku. Aku menoleh kebelakang, memastikan tidak ada orang yang mengikutiku, takut aku jika itu benar tentara Jepang. 

Pantas saja aku takut, karena Mardiyem, teman mainku baru saja pekan lalu hilang yang jika didengar berita burungnya, ada yang melihat ia bersama tentara Jepang dengan raut muka terpaksa dan pakaian tak pantas. Memang pakaian kami semua tak pantas, tapi pakaian tak pantas yang dikenakannya memiliki makna berbeda.

Akhirnya aku sampai di rumahku, yang sudah menggubuk dan rusak akibat terkena dampak serangan udara bulan lalu. Aku memanggil Ibu, tapi tak ada juga suara yang menyambut panggilanku. Jantungku semakin berdebar, takut justru malah Ibu yang ikut pergi dibawa oleh tentara Jepang untuk dijadikan seperti Momoye, panggilan tentara Jepang kepada Mardiyem. 

Tak heran jika ia diambil tentara, karena elok tubuhnya meski sudah memperanak aku dan abangku. Itu karena ia begitu rajin melatih tubuhnya sembari bekerja kepada saudagar Belanda. Aku mencarinya ke bilik tempat ia biasa tidur, dan disitulah aku mendapati Bapak, terduduk diam dengan tatapan kosong.

"Bapak, ada apa?!" tanyaku.

Bapak hanya terdiam.

"Bapak terluka lagi? Karena dipukul tentara Jepang lagi? Kalau iya, biar aku obati dengan obat yang tersisa kemarin," kataku.

Bapak tak kunjung menjawab pertanyaanku, aku langsung berjalan ke lemari, mencari obat saleb yang sudah hampir habis, hingga aku beri air supaya tak mengering. Memang susah sekali mendapat salep luka pun semenjak kedatangan Jepang. Dapat pun sudah sangat bersyukur, kalau tidak aku harus ke hutan mencari dedaunan obat. Aduh, perban sudah habis. Aku harus korbankan bajuku yang dari karung goni ini untuk luka Bapak.

Begitu aku kembali ke ruangan itu, dibawah remangnya cahaya sumbu, aku bisa lihat setetes air mata di pipinya.

"Mana luka Bapak yang baru? Biar aku obati," kataku lagi, "lagi pula Bapak, kenapa Bapak tidak langsung memberikan saja seluruh jumlah panen yang Jepang mintakan kepada Bapak? Aku harap Bapak tahu kalau aku juga menderita melihat Bapak seperti ini. "

Tak disengaja aku melihat luka di punggungnya yang semakin borok ketika aku mencoba meraih tangannya yang terluka dan masih bercucur darah segar. Hatiku begitu pilu melihatnya, mengapakah nasib harus begini?

Sebenarnya aku tahu alasan Bapak menyimpan beberapa bagian hasil taninya untuk disisihkan supaya tidak diberi kepada Jepang. Ia akan mengumpulkannya dan ditukarkan dengan sebidang tanah di luar desa. Lalu ia akan menanami tanah itu dan dijualnya kepada pedagang yang setidaknya lebih berada. Ya, setidaknya nilai tanah lengkap dengan tumbuhannya itu lebih tinggi dibanding dengan sebidang lahan kosong atau bahkan jika hanya beberapa karung hasil panen. Tapi, selanjutnya, aku tidak tahu uang itu akan digunakan untuk apa.

"Ibumu dimana, Mirah?" tanya Bapak dengan suara lemah setelah seharian berladang dan berpanas-panasan dibawah mentari,"Kenapa tidak ada di rumah?"

Detik itu juga aku bisa merasakan jantungku berhenti berdetak. Jangan-jangan benar prasangkaku tentang Ibu yang dibawa tentara Jepang untuk dijadikan mainan mereka. Tak lama kemudian terdengar jelas suara pintu rumahku yang dipukul-pukul keras bak gemuruh bunyinya. Tanganku langsung ditarik Bapak, maksudnya agar aku bersembunyi lorong kecil rahasia yang memang sengaja dibuat untuk persembunyian. Tak sempat Bapak masuk, tiba-tiba seorang figur memukul wajahnya hingga ia pingsan, dan membawanya keluar rumah dengan diseret. Aku tak berani keluar saat itu, hingga beberapa lama sampai aku yakin betul tak ada seorangpun di rumah. Sekarang, aku kehilangan Bapakku. Entah kapan aku akan bertemu dengannya lagi, meski aku sudah tidak berharap lagi dalam keadaan hidup ia di temukan.

Aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi, hanya air mata yang berderaian mengalir di pipiku. Sekujur tubuhku lemas, tak kusadari aku terjatuh kebelakang.

Aku merasakan ada sosok yang menahanku, dan hembusan napasnya mengalir di sisi telingaku membuat aku merinding. Rambut panjangnya membelai lenganku. Aku benar-benar merinding kali ini.

Aku menoleh, dan melihat siluet wajahnya dibawah cahaya redup.

"Ibu!", aku terkejut, "Mengapa Ibu di sini? Tidak lihatkah Ibu, Ayah pulang dengan luka baru ditangannya karena pukulan tentara Jepang ? "

"Bukan, dia bukan Bapakmu, " lanjutnya, "setidaknya bukan Bapakmu yang kamu anggap Bapak dan selama ini kamu kenal."

Aku sungguh tak mengerti maksud Ibu, ini benar-benar membingungkan. Aku tahu pasti aku hanya memiliki satu Bapak, tidak mungkin Ibu pernah menikahi lelaki lain sebelum Bapak. Kalau iya pun,  pasti aku pernah mendengar cerita tetangga. Kalaupun benar Bapak bukan bapakku yang sebenarnya, untuk apa ia rela bekerja keras hingga membawa luka baru ditubuhnya sebegitu sering dan parahnya. Tapi, setidaknya aku tahu pasti bahwa Ibu tidak dijadikan JugunIanfu.

Tunggu, Bapak tidak pernah mendapat luka di punggungnya. Aku tahu pasti dimana saja luka Bapak, karena selalu saja aku sendiri atau Ibu dan aku yang merawatnya.

"Maksud Ibu apa? " tanyaku dengan wajah terkejut.

Belum sempat Ibu menjawab pertanyaanku, seseorang kembali mengetuk pintu rumahku. Dari ketukannya aku tahu betul itu tentara Jepang. Ia tidak hanya datang seorang diri tapi juga bersama seorang kawannya. Ia menanyakan kepada Ibu dimana Bapak. Ini membuatku semakin bingung. Orang yang tadi membawa Bapak pasti dari pihak Jepang, lalu untuk apa mereka mencari Bapak lagi kalau mereka sudah mendapatkan dia. Ibu lalu menjelaskan bahwa Bapak sudah dibawa tentara Jepang. Setidaknya itulah yang aku pikir karena tanpa memastikan dulu Ibu jujur atau tidak, mereka segera pergi.

Esok subuhnya aku terbangun dan Ibu sedang di dapur merebus daun hijau yang ia petik dibelakang rumah. Aku tersontak kaget ketika menemui Bapak sedang duduk di dapur melihati Ibu memasak. Setidaknya, itu Bapak sampai aku melihat jelas wajahnya. Ternyata ia bukan Bapak, lekas aku datangi Ibu menanyakan siapa sosok lelaki asing itu. Belum aku mengucapkan sekatapun, aku terdiam melihat Ibu meneteskan air mata. Tapi, ada satu hal yang janggal lainnya, raut wajahnya tak menunjukkan bahwa ia sedih. Ia tidak terlihat seperti Ibu yang kukenal. Ya, dia memang Ibuku secara fisik, tapi ia terasa asing. Aku menoleh kebelakang, melihat pria yang duduk tadi di kursi kesayangan Ayah. Tapi dia tidak lagi duduk disitu, aku begitu panik dan menolehkan pandanganku sedikit ke kanan dan benar saja ia bediri disisiku. Aku takut. Aku berusaha kabur dari mereka. Ya, lelaki itu dan Ibuku sendiri. Seketika aku berhasil menendang lelaki itu, ia melepaskan genggamannya dan aku berhasil kabur. Aku mencoba keluar melalui pintu namun ternyata mereka telah menguncinya. Segera aku bersembunyi dilorong persembunyian yang dibuatkan Bapak. Tunggu, Ibu tahu tempat ini! Tidak, aku tidak bisa kemana-mana lagi. Aku tidak ada pilihan lain. Mereka mencariku tapi mereka tidak dapat menemuiku, bahkan Ibu sendiri seperti tidak tahu aku bakal bersembunyi disini. Ini benar-benar membuatku bingung. Lalu dari balik tirai aku melihat lelaki itu memukuli Ibu, perempuan itu dan menyeretnya keluar. Cara yang sama seperti semalam Bapak dibawa pergi. Aku benar-benar merasa sendiri. Ibu dan Bapak dibawa. Sedangkan Abangku sedang di Sulawesi bekerja kepada Jepang sebagai anggota PETA.

Dengan sedih aku berjalan keluar, menyusuri jalan setapak yang kemarin kususuri namun sekarang berbeda. Aku benar-benar pergi tanpa tujuan. Bahkan jika seorang tentara Jepang datang menghampiriku dan menyeretku ke truknya dan membawaku ke merkasnya untuk dijadikan Jugun Ianfu pun aku tak apa. Tiba-tiba ada sesuatu yang menarik kakiku. Tepat dimana kemarin aku merasakan menginjak sesuatu yang aneh. Aku ditarik memasuki sebuah lubang.

"Bapak?!" aku tersontak. Entah aku harus gembira ataukah takut.

"Mirah, kamu tak apa?"

Aku menangis hingga tak bisa mengucapkan sepatah katapun.

"Kamu tak perlu menjelaskan semuanya, Bapak sudah tahu."

Bapak menjelaskan bahwa sebenarnya Ibuku bukanlah Ibu yang selama ini aku kenal. Seketika aku teringat ibu juga pernah mengatakan hal yang sama tentang Bapak. Ini benar-benar membuatku sangsi. Tapi ceritanya berlanjut.

"Kamu tahu? Abangmu bukan bekerja di Sulawesi, selama ini. Ia sudah meninggal di waktu lampau akibat kelaparan dan dipukuli oleh Jepang ketika bekerja di sebuah tambang Subang. Abang bekerja pada Jepang, bukan karena seharusnya ia bekerja, tapi karena Ibumu yang menyerahkan dia pada Jepang. Sore kemarin, Bapak dengar percakapan Ibumu dengan lelaki asing yang baru saja datang ke rumah, kalau Ibu mau menukarkan kamu menjadi JugunIanfudengan sebuah informasi rahasia yang Ibu kamu yakini bisa membawa Indonesia kepada kemerdekaan."

Lanjutnya, "tapi Bapak tahu itu hanya iming-iming saja. Ibumu sungguh keras kepala, ia tak takut jatuh ke lubang yang sama seperti peristiwa Abangmu. Jika kamu masih berpikir Ibumu adalah sosok yang baik karena memperjuangkan kemerdekaan hingga mengorbankan anaknya, kamu sama saja seperti Ibumu. Bapak ikhlas, tulus mendukung kamu, kalau lagi Bapak harus mati melindungimu. Tapi Bapak harap cara kamu lebih dari cara Ibu."

*Cerpen ini adalah cerpen sejarah fiksi, yang mengambil latar belakang zaman kependudukan Jepang di Indonesia. 

Ditulis untuk tugas mata pelajaran Sejarah.

*Mardiyem -yang digambarkan sebagai teman main Mirah- adalah salah satu korban kekejaman tentara Jepang. 

Terima Kasih untuk membaca!

Gambar diambil dari www.pinal-news.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun