"Mana luka Bapak yang baru? Biar aku obati," kataku lagi, "lagi pula Bapak, kenapa Bapak tidak langsung memberikan saja seluruh jumlah panen yang Jepang mintakan kepada Bapak? Aku harap Bapak tahu kalau aku juga menderita melihat Bapak seperti ini. "
Tak disengaja aku melihat luka di punggungnya yang semakin borok ketika aku mencoba meraih tangannya yang terluka dan masih bercucur darah segar. Hatiku begitu pilu melihatnya, mengapakah nasib harus begini?
Sebenarnya aku tahu alasan Bapak menyimpan beberapa bagian hasil taninya untuk disisihkan supaya tidak diberi kepada Jepang. Ia akan mengumpulkannya dan ditukarkan dengan sebidang tanah di luar desa. Lalu ia akan menanami tanah itu dan dijualnya kepada pedagang yang setidaknya lebih berada. Ya, setidaknya nilai tanah lengkap dengan tumbuhannya itu lebih tinggi dibanding dengan sebidang lahan kosong atau bahkan jika hanya beberapa karung hasil panen. Tapi, selanjutnya, aku tidak tahu uang itu akan digunakan untuk apa.
"Ibumu dimana, Mirah?" tanya Bapak dengan suara lemah setelah seharian berladang dan berpanas-panasan dibawah mentari,"Kenapa tidak ada di rumah?"
Detik itu juga aku bisa merasakan jantungku berhenti berdetak. Jangan-jangan benar prasangkaku tentang Ibu yang dibawa tentara Jepang untuk dijadikan mainan mereka. Tak lama kemudian terdengar jelas suara pintu rumahku yang dipukul-pukul keras bak gemuruh bunyinya. Tanganku langsung ditarik Bapak, maksudnya agar aku bersembunyi lorong kecil rahasia yang memang sengaja dibuat untuk persembunyian. Tak sempat Bapak masuk, tiba-tiba seorang figur memukul wajahnya hingga ia pingsan, dan membawanya keluar rumah dengan diseret. Aku tak berani keluar saat itu, hingga beberapa lama sampai aku yakin betul tak ada seorangpun di rumah. Sekarang, aku kehilangan Bapakku. Entah kapan aku akan bertemu dengannya lagi, meski aku sudah tidak berharap lagi dalam keadaan hidup ia di temukan.
Aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi, hanya air mata yang berderaian mengalir di pipiku. Sekujur tubuhku lemas, tak kusadari aku terjatuh kebelakang.
Aku merasakan ada sosok yang menahanku, dan hembusan napasnya mengalir di sisi telingaku membuat aku merinding. Rambut panjangnya membelai lenganku. Aku benar-benar merinding kali ini.
Aku menoleh, dan melihat siluet wajahnya dibawah cahaya redup.
"Ibu!", aku terkejut, "Mengapa Ibu di sini? Tidak lihatkah Ibu, Ayah pulang dengan luka baru ditangannya karena pukulan tentara Jepang ? "
"Bukan, dia bukan Bapakmu, " lanjutnya, "setidaknya bukan Bapakmu yang kamu anggap Bapak dan selama ini kamu kenal."
Aku sungguh tak mengerti maksud Ibu, ini benar-benar membingungkan. Aku tahu pasti aku hanya memiliki satu Bapak, tidak mungkin Ibu pernah menikahi lelaki lain sebelum Bapak. Kalau iya pun, Â pasti aku pernah mendengar cerita tetangga. Kalaupun benar Bapak bukan bapakku yang sebenarnya, untuk apa ia rela bekerja keras hingga membawa luka baru ditubuhnya sebegitu sering dan parahnya. Tapi, setidaknya aku tahu pasti bahwa Ibu tidak dijadikan JugunIanfu.