Tunggu, Bapak tidak pernah mendapat luka di punggungnya. Aku tahu pasti dimana saja luka Bapak, karena selalu saja aku sendiri atau Ibu dan aku yang merawatnya.
"Maksud Ibu apa? " tanyaku dengan wajah terkejut.
Belum sempat Ibu menjawab pertanyaanku, seseorang kembali mengetuk pintu rumahku. Dari ketukannya aku tahu betul itu tentara Jepang. Ia tidak hanya datang seorang diri tapi juga bersama seorang kawannya. Ia menanyakan kepada Ibu dimana Bapak. Ini membuatku semakin bingung. Orang yang tadi membawa Bapak pasti dari pihak Jepang, lalu untuk apa mereka mencari Bapak lagi kalau mereka sudah mendapatkan dia. Ibu lalu menjelaskan bahwa Bapak sudah dibawa tentara Jepang. Setidaknya itulah yang aku pikir karena tanpa memastikan dulu Ibu jujur atau tidak, mereka segera pergi.
Esok subuhnya aku terbangun dan Ibu sedang di dapur merebus daun hijau yang ia petik dibelakang rumah. Aku tersontak kaget ketika menemui Bapak sedang duduk di dapur melihati Ibu memasak. Setidaknya, itu Bapak sampai aku melihat jelas wajahnya. Ternyata ia bukan Bapak, lekas aku datangi Ibu menanyakan siapa sosok lelaki asing itu. Belum aku mengucapkan sekatapun, aku terdiam melihat Ibu meneteskan air mata. Tapi, ada satu hal yang janggal lainnya, raut wajahnya tak menunjukkan bahwa ia sedih. Ia tidak terlihat seperti Ibu yang kukenal. Ya, dia memang Ibuku secara fisik, tapi ia terasa asing. Aku menoleh kebelakang, melihat pria yang duduk tadi di kursi kesayangan Ayah. Tapi dia tidak lagi duduk disitu, aku begitu panik dan menolehkan pandanganku sedikit ke kanan dan benar saja ia bediri disisiku. Aku takut. Aku berusaha kabur dari mereka. Ya, lelaki itu dan Ibuku sendiri. Seketika aku berhasil menendang lelaki itu, ia melepaskan genggamannya dan aku berhasil kabur. Aku mencoba keluar melalui pintu namun ternyata mereka telah menguncinya. Segera aku bersembunyi dilorong persembunyian yang dibuatkan Bapak. Tunggu, Ibu tahu tempat ini! Tidak, aku tidak bisa kemana-mana lagi. Aku tidak ada pilihan lain. Mereka mencariku tapi mereka tidak dapat menemuiku, bahkan Ibu sendiri seperti tidak tahu aku bakal bersembunyi disini. Ini benar-benar membuatku bingung. Lalu dari balik tirai aku melihat lelaki itu memukuli Ibu, perempuan itu dan menyeretnya keluar. Cara yang sama seperti semalam Bapak dibawa pergi. Aku benar-benar merasa sendiri. Ibu dan Bapak dibawa. Sedangkan Abangku sedang di Sulawesi bekerja kepada Jepang sebagai anggota PETA.
Dengan sedih aku berjalan keluar, menyusuri jalan setapak yang kemarin kususuri namun sekarang berbeda. Aku benar-benar pergi tanpa tujuan. Bahkan jika seorang tentara Jepang datang menghampiriku dan menyeretku ke truknya dan membawaku ke merkasnya untuk dijadikan Jugun Ianfu pun aku tak apa. Tiba-tiba ada sesuatu yang menarik kakiku. Tepat dimana kemarin aku merasakan menginjak sesuatu yang aneh. Aku ditarik memasuki sebuah lubang.
"Bapak?!" aku tersontak. Entah aku harus gembira ataukah takut.
"Mirah, kamu tak apa?"
Aku menangis hingga tak bisa mengucapkan sepatah katapun.
"Kamu tak perlu menjelaskan semuanya, Bapak sudah tahu."
Bapak menjelaskan bahwa sebenarnya Ibuku bukanlah Ibu yang selama ini aku kenal. Seketika aku teringat ibu juga pernah mengatakan hal yang sama tentang Bapak. Ini benar-benar membuatku sangsi. Tapi ceritanya berlanjut.
"Kamu tahu? Abangmu bukan bekerja di Sulawesi, selama ini. Ia sudah meninggal di waktu lampau akibat kelaparan dan dipukuli oleh Jepang ketika bekerja di sebuah tambang Subang. Abang bekerja pada Jepang, bukan karena seharusnya ia bekerja, tapi karena Ibumu yang menyerahkan dia pada Jepang. Sore kemarin, Bapak dengar percakapan Ibumu dengan lelaki asing yang baru saja datang ke rumah, kalau Ibu mau menukarkan kamu menjadi JugunIanfudengan sebuah informasi rahasia yang Ibu kamu yakini bisa membawa Indonesia kepada kemerdekaan."