Tidak tahu mengapa, aku langsung saja menarik senyum dan lalu menjawab, "Sejak kapan kau mulai mengajakku makan siang dengan meminta ijin lebih dulu? Bukankah biasanya kau langsung menarik lenganku?"
Joan terkekeh. "Sejak saat ini," bisiknya tepat ditelingaku. Ia menyeringai kecil.
Ah, melihatnya seperti itu entah mengapa membuat bibirku sulit untuk tidak tersenyum.
Perasaan yang semakin terasa aneh adalah saat di mana aku merasakan Joan melingkarkan lengangnya ke bahuku. Perasaan macam apa ini? batinku. Tidak seperti biasanya aku merasa hal seperti ini, sudah ribuan kalinya Joan merangkulku, tapi baru kali inilah aku merasakan perasaan yang sulit aku mengerti.
Sesekali Joan meremas lembut bahuku, dan itu membuatku merinding (lagi-lagi) dan hanya tersenyum kecut, dan jika sesekali ia berbisik tepat di telingaku membicarakan orang lain atau apa pun itu, dapat membuatku terbelalak dan membeku.
"Apa kau baik-baik saja, Adina?" tanyanya.
"Ah? Ya. Aku baik-baik saja, Jo!" kucoba untuk menarik senyum seindah mungkin padanya-terjadi begitu saja.
Joan mengernyitkan dahinya. "Benarkah? Kalau memang benar begitu, mengapa kau sedari tadi hanya diam saja? Mengapa kau terlihat sangat tegang? Apa aku sudah berkata sesuatu yang membuatmu jadi seperti itu? Katakanlah apa yang sudah aku katakana padamu!"
Aku hanya dapat mengerjapkan mata demi mendapat hujaman pertanyaan darinya itu, lalu terkekeh.
"Mengapa tertawa seperti itu?"
"Tidak. Kau lucu saja."