Pagi itu aku terbangun
Di tempat tidurku aku duduk
Mengumpulkan nyawa yang mungkin semalaman berjalan-jalan
Kembali merenungi diri, untuk apa bangun lagi jika tidak ada hasil yang didapat hari ini
Kata orang ini sudah nasib, namun aku bilang nasib bisa dirubah
Mereka menertawakanku, seakan mereka tidak percaya kata-kataku barusan
Mereka membuat jempol yang mengarah kebawah dan ditujukan padaku
Aku sedikit tersenyum, namun siapa sangka mata ini tidak bisa berbohong
Aku menangis, dengan keras hatiku berkata jangan menangis, malu.
Hidungku sumbat seperti sungai yang banyak sampah yang menyebabkan banjir hingus
Kembali kutarik selimut lusuhku, tak berani menghadapi dunia
Mendengar perkataan mereka aku kembali ragu dengan langkahku
Aku menutup mataku dan mulai menangis
Tiba-tiba dari arah yang berlawanan, ada suara yang muncul
Suara itu mendekat dan berbisik perlahan kepadaku
Aku merasa ini tidak nyata dan hanya sekadar khayalan saja
Suara itu mendesakku untuk tidak mendengarkan perkataan mereka
Suara itu menyuruhku untuk mengikuti kata hatiku saja dan menyarankanku untuk berani melangkah
Namun jujur kakiku belum cukup kuat untuk melangkahkan kakiku.
Tali itu cukup kuat menambat kakiku dipelabuhan keraguan
Yang membuatku tertatih-tatih jika harus menariknya paksa
Aku bertanya kepada Tuhan
Apa yang harus aku perbuat selanjutnya
Apakah aku hanya akan tenggelam di dalam bayangan hitam ini tanpa adanya sedikitpun pergerakan
Atau bolehkah aku bergerak sedikit untuk mencari sesuatu yang hendak menjadi bagianku
Aku bingungÂ
Aku diambang pintu mencari tempat bersembunyi dari angin kencang yang seakan-akan merobohkan tempatku berdiri
Aku, gadis kecil yang malang masih dalam lumpur pertanyaan
Tentang bagaimana nasibku kedepannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H