Mohon tunggu...
DesoL
DesoL Mohon Tunggu... Penulis - tukang tidur

â–ªtidak punya FB/Twitter/IG dan sejenisnyaâ–ª

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sudah Selesai

21 November 2018   09:47 Diperbarui: 22 November 2018   05:29 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
pic: cutecrushimagines.tumblr.com

Sudah kuduga, hal ini pasti terjadi. Kami terjebak di hutan. Pak Her, sopir bus tua yang kami tumpangi, sibuk membongkar mesin. Sementara Pak Lukman modar-mandir, mengusir cemas.

"Kau harus bertanggung jawab atas kejadian ini!"

Telunjuk Pak Lukman mengarah kepadaku. Disambung Pak Fred yang tak kalah gusar, "Cepat bawa kami pergi dari sini!"

"Bukankah Anda seorang petualang, Pak Fred? Apa yang Anda takutkan?"

Matanya melotot. Pak Fred memilih turun dari bus, "Ocehanmu membuat perutku semakin sakit!"

"Rupanya hasrat buang hajat membuat kakek itu lupa membawa tongkatnya," timpal Anggi yang sedang asyik menggunggah beberapa foto di Instagram.

Anggi merupakan satu-satunya peserta rombongan yang tak dihantui rasa takut, meski menahan sakit pada kakinya yang terkilir lantaran sibuk mengabadikan Kuskus ke layar ponselnya. Berbeda dengan Kanaya, mulutnya tak henti mengunyah cokelat pemberian Anggi.

Kanaya sama sepertiku dulu. Penakut. Bahkan aku tak berani tidur di kamar seorang diri. Jika terpaksa, akan kubiarkan lampu kamar menyala hingga pagi. Setahuku, gelap selalu menyimpan wajah-wajah yang sulit kukenali. Ada yang mirip monster hingga zombie. Menakutkan, bukan?

"Matikan senter ponselmu, Kanaya. Dan tidurlah," Anggi berusaha merampas ponsel Kanaya, namun gagal. Kanaya memegangi ponselnya begitu erat.

"Pak, kita harus segera mendapatkan obat itu. Kevin mulai lemas," Ibu Prita memeluk anak semata wayangnya. Kevin menderita asma, sementara obatnya tertinggal di pondok saat beristirahat siang.

"Jika kalian tak turut denganku, pasti Kevin akan baik-baik saja. Dan kau juga bisa memenuhi undangan Bapak Nurul untuk menghadiri Kompasianival," keluh pak Lukman.

Meskipun aku baru pertama kali bekerja sebagai pemandu wisata, namun kejadian ini sama sekali tak kuharapkan. Wajah-wajah riang selepas hiking ke hutan konservasi, kini penuh resah. Rasa bahagia yang semula memadati perut bus, kini menguap melalui celah-celah jendela.

Aku memutuskan menemui Pak Her yang sudah berjam-jam lamanya tak berkabar soal kondisi bus tua miliknya.

"Bagaimana, Pak?"

"O, radiatornya bocor."

"Sebaiknya Bapak masuk ke dalam bus. Saya sudah mencari bantuan dan akan tiba setengah jam lagi."

"Polisi?"

"Bukan. Penjaga hutan, dia yang paling cepat tiba di sini. Sedangkan teman saya akan menyusul dua jam kemudian."

Sambil terbatuk-batuk, Pak Her mengikutiku masuk ke dalam bus. Udara malam mulai tak bersahabat. Kabut perlahan menyergap, membuat Kanaya tak mampu lagi menahan tangis.

"Sebentar lagi hantu perempuan itu akan datang!" Kanaya berteriak sambil menutup mukanya.

"Di sini tidak ada hantu, Kanaya. Semua itu hanya ada di dalam pikiranmu," aku mencoba menenangkan.

"Kanaya benar. Di sini ada hantu. Hantu seorang perempuan yang menuntut balas," Pak Her yang selama ini kukenal pendiam, mulai buka suara.

"Warga setempat menyebutnya Kuntilanak. Perempuan korban pemerkosaan yang hamil, lalu tubuhnya dikubur hidup-hidup di hutan ini." Pak Her menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan. "Mayang..."

"Dan kita akan segera menyusul menjadi hantu. Mati dimakan harimau," Pak Lukman tampak emosi menunggu bantuan yang kujanjikan tak kunjung tiba.

"Bagaimana jika pemerkosa dan pembunuh perempuan itu ada di tengah-tengah kita saat ini?" aku mengajukan pertanyaan.

"Ah, kau malah mengajak kami main tebak-tebakan. Pikirkan bagaimana cara kita lolos dari hutan ini," protes Anggi.

"Seandainya saya adalah adik dari perempuan yang mati itu, apakah kalian percaya?" tak ada jawaban selain gelak tawa. "Apa Anda juga percaya, Pak Her?"

Pak Her memegangi dadanya.

"O, mau pura-pura sakit jantung lagi? Mau mencari simpati? Wahai pembunuh!"

Semua terkesiap. Tak percaya pada apa yang kukata.

Pak Her menyeringai. "Kuakui, instingmu memang luar biasa. Tapi sayang, kau tak cukup bukti."

Anggi menyalakan ponselnya. Kanaya masih terisak. Pak Lukman duduk mendekati anak serta istrinya. Sedangkan Ibu Prita menegakkan postur tubuhnya. Mata mereka bergantian mengawasiku yang beradu mulut dengan Pak Her.

"Bisakah Anda jelaskan soal sayatan pada selang radiator bus? Juga pengakuan bahwa Anda sama sekali belum pernah melalui jalan ini, sementara Anda begitu lihai mengemudikan bus seolah-olah telah hapal setiap tikungan juga tanjakan di daerah ini?"

"Itu hanya kebetulan. Kau tak mungkin mempercayaiku sebagai sopirmu jika aku tak pandai mengemudikan bus."

"Jangan bangga dahulu. Saya hanya sedang menyelidiki Anda. Lantas dari mana Anda tahu jika korban bernama Mayang? Hanya orang-orang terdekat saja yang memanggilnya dengan nama itu."

"Kau memang cerdik. Akulah yang memperkosa kakakmu, membuatnya hamil lalu menghabisinya di hutan ini. Kakakmu mengancamku. Ia hendak mengadu pada istriku. Dan aku sempat berpikir untuk bunuh diri dengan menerjunkan bus ini ke jurang. Hahaha..." Pak Her tertawa. Dikeluarkannya pisau lipat dari saku, mencoba menyerang kami secara acak. Dengan cepat tendangan Ibu Prita melumpuhkan Pak Her. Bergegas kami mengikatnya di badan kursi menggunakan ikat pinggang milik Pak Lukman.

"Sudah lama tak kukeluarkan jurus itu, sejak memenangi lomba karate tingkat nasional beberapa tahun silam," terang Ibu Prita malu-malu.

"Aha! Korek api!" Wajah Kanaya sumringah setelah menemukan korek api dari saku Pak Her. "Kita bisa membuat api unggun dan memudahkan orang-orang untuk menemukan kita."

"Kanaya benar. Sebaiknya kita turun untuk membuat api unggun. Kita kumpulkan apa saja yang bisa terbakar di sekitar bus. Jangan mencari terlalu jauh."

Kami mulai turun satu per satu. Menepis dugaan akan terkaman binatang buas juga hantu perempuan yang mungkin singgah.

Priiiiiiiiiiiit...

"Pak Fred!"

Baru kusadari bahwa Pak Fred belum kembali. Dan dialah yang membawa  barang-barang nyleneh termasuk peluit di dalam ranselnya.

Tiba-tiba Kevin beranjak dari duduknya, berlari memasuki hutan.

"Anak itu phobia suara peluit, lekas kejar!" teriak Ibu Prita.

Kuputuskan hanya Ibu Prita yang menemaniku mencari Kevin, sementara lainnya kembali ke dalam bus. Kurasa lebih aman berdua dengan jagoan karate daripada berlima dengan anak-anak cengeng.

"Berhenti!"

Pak Fred berteriak. Perlahan sosoknya terlihat dari balik semak-semak bersama Kevin. Anak itu menangis, memanggil-manggil Ibunya, sementara seutas tali melingkar pada lehernya.

"Berikan barang-barang berharga kalian atau anak ini akan mati!"

Buuuuk!

Seseorang memukul punggung Pak Fred. Tali yang melingkar pada leher Kevin mulai mengendor, dengan cepat anak itu menghampiri Ibunya. Ketika Pak Fred hendak meraih kembali tubuh Kevin, Ibu Prita dengan sigap melumpuhkan kaki kiri Pak Fred dengan senjata api.

"Maaf atas kelakuan saudaraku. Sudah lama polisi mencarinya. Kami kembar tapi dia memilih untuk menjadi penjahat. Ia kerap mencuri identitasku. Sebelum berangkat menuju hutan konservasi, Paul membuatku pingsan dan mengikatku di gudang dekat pos penjaga. Pemuda inilah yang menyelamatkanku dan kami bersama-sama menuju ke tempat ini."

Aku selalu yakin dengan dugaku. Dia bukan Pak Fred! Dua hari yang lalu kami bersebelahan dalam pesawat. Kami berbincang, termasuk tentang tujuan mengunjungi hutan konservasi. Tak mungkin jika ia tak mengenaliku.

Memperhatikan gerak-gerik setiap pertemuan memang perlu, termasuk dengan orang-orang yang mungkin kau anggap tidak penting. Barangkali kau akan berjodoh dengan misteri dalam waktu dekat ini.

"Dari mana Ibu Prita mendapatkan senjata itu?" tanyaku curiga.

"O, saya polwan. Hanya sedang cuti beberapa hari. Sebaiknya kita kembali ke bus. Mereka pasti khawatir. Dan tim SAR juga beberapa rekan polisi akan tiba beberapa menit lagi menggunakan helikopter. Saya sudah mengirimkan lokasi melalui ponsel pada mereka," timpalnya.

Akhirnya aku bisa tersenyum lega, setelah beberapa tahun lalu gagal menyelamatkan rombongan wisatawan yang terbunuh di tangan perampok. "Sudah selesai dan aku akan pulang, tak perlu menjemput," kataku pada seseorang melalui ponsel.

"Sebaiknya Ibu Prita dan yang lain kembali ke kota bersama tim SAR. Saya akan menemani penjaga hutan kembali ke pos."

Setelah kami berpisah dan rombongan selamat sampai di kota, Anggi kembali mengunggah foto-foto yang berhasil ia abadikan.

"Kenapa sosok Kak Desol menghilang dari semua fotoku?"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun