"Warga setempat menyebutnya Kuntilanak. Perempuan korban pemerkosaan yang hamil, lalu tubuhnya dikubur hidup-hidup di hutan ini." Pak Her menarik napas panjang, mengembuskannya perlahan. "Mayang..."
"Dan kita akan segera menyusul menjadi hantu. Mati dimakan harimau," Pak Lukman tampak emosi menunggu bantuan yang kujanjikan tak kunjung tiba.
"Bagaimana jika pemerkosa dan pembunuh perempuan itu ada di tengah-tengah kita saat ini?" aku mengajukan pertanyaan.
"Ah, kau malah mengajak kami main tebak-tebakan. Pikirkan bagaimana cara kita lolos dari hutan ini," protes Anggi.
"Seandainya saya adalah adik dari perempuan yang mati itu, apakah kalian percaya?" tak ada jawaban selain gelak tawa. "Apa Anda juga percaya, Pak Her?"
Pak Her memegangi dadanya.
"O, mau pura-pura sakit jantung lagi? Mau mencari simpati? Wahai pembunuh!"
Semua terkesiap. Tak percaya pada apa yang kukata.
Pak Her menyeringai. "Kuakui, instingmu memang luar biasa. Tapi sayang, kau tak cukup bukti."
Anggi menyalakan ponselnya. Kanaya masih terisak. Pak Lukman duduk mendekati anak serta istrinya. Sedangkan Ibu Prita menegakkan postur tubuhnya. Mata mereka bergantian mengawasiku yang beradu mulut dengan Pak Her.
"Bisakah Anda jelaskan soal sayatan pada selang radiator bus? Juga pengakuan bahwa Anda sama sekali belum pernah melalui jalan ini, sementara Anda begitu lihai mengemudikan bus seolah-olah telah hapal setiap tikungan juga tanjakan di daerah ini?"