Mohon tunggu...
DesoL
DesoL Mohon Tunggu... Penulis - tukang tidur

▪tidak punya FB/Twitter/IG dan sejenisnya▪

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Sepertinya, Aku Memang Jatuh Cinta

7 Januari 2016   12:13 Diperbarui: 2 Mei 2018   11:16 2287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Semua berawal ketika aku menemukan matamu di senja itu. Mata cokelat yang kurenangi semalaman di bawah remang rembulan. Aku menemukan banyak wajah di dalam kotak memori matamu. Wajah-wajah yang tersenyum manis, juga puluhan bibir merah yang sempat merekah di depanmu. Aku tahu, kaumenyimpannya rapat-rapat, seolah tak seorang pun kauijinkan untuk mengambil bibir-bibir itu.

Tepat di ujung mata, hampir melompati retinamu, kutemukan wajahku. Begitu berdebu, rupanya kau tak pernah lagi menyentuhnya sejak dua tahun lalu, di mana kita berjumpa untuk pertama kali di persimpangan jalan biru. Aku menamainya persimpangan jalan biru, sebab aku telah hampir selesai menangis sebelum melihat mata cokelatmu yang menggodaku.

Kautersenyum padaku. Hanya tersenyum, lalu kaupergi meninggalkanku tanpa sempat terlontar, Hai. Aku pun begitu, menyimpan Hai untuk pertemuan kedua yang jauh dari rencana. Kaupasti akan tertawa jika mendengar petualanganku.

Dengarkanlah, aku mau bercerita.

Setelah perjumpaan itu, aku mengejarmu. Aku melompati mata-mata yang berserakan di tepian jalan. Sesekali aku menjatuhkan diriku pada mata yang lebar dan bersinar. Mata itu bercerita padaku bahwa dia telah melihatmu tiga puluh enam jam yang lalu. Tanpa mengembalikan terima kasih, aku berlari mengejarmu. Mata itu memakiku kemudian memakluminya.

Aku berhenti pada sebuah gurun pasir, begitu kering. Mencarimu begitu melelahkan dan mataku pun merindukan hujan. Hujan turun beriringan dengan hati yang pilu. Rupanya hatiku sedang bersedih. Mungkin karenamu.

Aku tertidur di tengah kerinduan yang besar. Aku sama sekali tak inginkan itu, sebab akan membuang banyak waktuku untuk bisa secepatnya bertemu denganmu. Tapi aku hanyalah seorang manusia biasa yang juga memiliki rasa lelah.

***

Pagi itu, aku terbangun. Mata yang bersinar terang itu menatapku. Aku pun bertanya pada mata dunia itu tentangmu. Mata itu menyuruhku untuk menangkap dirinya ketika jatuh ke barat dan di sanalah kauberada.

Kautahu? Aku berlari mengejar mata itu. Aku ingin menangkapnya sebelum malam membenamkannya, hanya agar bisa menjumpaimu. Kakiku merasakan panasnya pasir-pasir, keringatku bercucuran tiada henti, kerongkonganku kering merindukan seteguk air, namun aku tak pedulikan semua itu. Aku hanya peduli padamu.

Aku tiba di barat lebih dulu sebelum mata yang bersinar itu. Dan ternyata, mata itu tidak pernah berbohong. Aku menemukanmu pada remang senja di antara dua bola mata cokelat yang kurindukan. Tetiba aku lupa berapa banyak jarak yang telah kutempuh untuk menemukanmu, berapa ratus malam yang dingin sembari memimpikanmu, juga luka-luka yang menghiasi kedua kakiku.

Kaumenatapku. Kaumendekat. Kaumengamati wajahku. Dan aku kembali merenangi mata cokelatmu.

Tepat di ujung mata, hampir melompati retinamu, kutemukan dirimu tengah membersihkan wajahku dari debu-debu. Kaukembali menyentuhnya setelah dua tahun lamanya kautinggalkan untuk menjadi kenangan yang percuma, sehingga wajahku terselimuti debu-debu.

“Kaumengejarku?”

Tanyamu mengejutkanku sehingga aku dengan terburu keluar dari mata cokelatmu.

“Aku tidak pernah mengejarmu. Tidak pernah sama sekali. Aku hanya berolahraga dengan berlari-lari kecil seperti pada senja yang baru saja kausaksikan.”

“Berlari-lari kecil hingga kakimu penuh dengan luka? Berlari-lari kecil hingga kulitmu terbakar? Berlari-lari kecil hingga kau kelaparan, juga kehausan? Kaumau belajar berbohong di depan mataku?” Kaumenghela napas panjang, “Kaumengejarku?”

“Aku tidak pernah mengejarmu. Tidak pernah sama sekali. Aku hanya sedang merinduimu dan rindu itu sendiri yang telah membawaku ke depan matamu.”

“Apa kaumengenalku?”

“Tidak. Hanya sebatas perjumpaan sesaat kala itu.”

“Lantas, bagaimana kaubisa merinduiku?”

“Sepertinya, aku memang jatuh cinta.”

“Padaku?”

“Pada mata cokelatmu.”

***

Bulan mengukir senyum saat melihatku menikmati setetes anggur dari sudut matamu. Sungguh memabukkan sehingga aku harus memasuki kembali mata cokletamu yang sedari tadi menggodaiku.

Aku merenanginya di bawah remang rembulan malam. Aku menemukan sendu di sudut matamu. Aku melihatmu sedang sibuk menumpahkan kenangan-kenangan manis akan seorang gadis. Tubuhmu berdarah, sepertinya kenangan-kenangan itu telah banyak melukaimu.

Kauberjongkok di sudut itu, merogoh saku, kemudian mengeluarkan sesuatu yang ternyata adalah wajahku. Kaumemandangi wajahku, menyentuhnya di awali dari kening, kedua mata, hidung, kemudian bibir sebelum pada akhirnya kau mengecupnya.

Aku merasakan tubuhku tertarik keluar dari mata cokelatmu. Tetiba kehangatan menyelimutiku sampai kudapati tubuhmu mendekapku begitu eratnya. Aku menahan napas, sama seperti dirimu yang menahan sakitnya kenangan yang tertumpah.

“Bebaskan aku, kumohon.”

Kaumeminta kebebasan padaku. Kebebasan dari kenangan-kenangan manis yang mungkin telah kausimpan begitu lamanya di sudut matamu itu. Kaumungkin tak pernah mengerti, permintaanmu adalah sebuah tusukan yang hampir membuatku mati.

“Bebaskan aku, kumohon.”

“Aku tak bisa melakukan itu jika kau masih mencintainya.”

“Aku telah tak ingin lagi.”

“Berikan matamu padaku.”

Kaumembuka kedua mata cokelatmu, menarikku untuk kembali merenanginya. Aku memulainya dari sudut kanan matamu, menyongkel kenangan-kenangan yang tak lagi kauinginkan, kemudian menambalnya dengan kenangan tentangku. Dan di sudut kiri ada luka yang begitu besar, aku telah mengirisnya untuk kemudian menyulamnya dengan rindu yang baru. Rinduku.

Aku telah selesai dengan matamu, kaubisa mengakhiri semua kenangan itu tanpa kepedihan. Namun aku akan memulainya kembali dengan hatimu.

“Biarkan aku memelukmu hingga pagi tiba.”

“Kaumau apa?”

“Menghapus jejak cinta lalu yang telah lama membeku pada sudut-sudut hatimu.”

Kaumerelakan bidang dadamu tuk kupeluk. Aku mampu mendengar detak jantungmu, detak-detak kesepian yang selama ini menguasai jiwamu.

Kaumembalas pelukku. Kaudaratkan kecupmu pada keningku.

“Kaumenciumku?”

“Apa aku salah lakukan itu padamu?”

“Mengapa?”

“Sepertinya, aku memang jatuh cinta.”

-oOo-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun