“Padaku?”
“Pada mata cokelatmu.”
***
Bulan mengukir senyum saat melihatku menikmati setetes anggur dari sudut matamu. Sungguh memabukkan sehingga aku harus memasuki kembali mata cokletamu yang sedari tadi menggodaiku.
Aku merenanginya di bawah remang rembulan malam. Aku menemukan sendu di sudut matamu. Aku melihatmu sedang sibuk menumpahkan kenangan-kenangan manis akan seorang gadis. Tubuhmu berdarah, sepertinya kenangan-kenangan itu telah banyak melukaimu.
Kauberjongkok di sudut itu, merogoh saku, kemudian mengeluarkan sesuatu yang ternyata adalah wajahku. Kaumemandangi wajahku, menyentuhnya di awali dari kening, kedua mata, hidung, kemudian bibir sebelum pada akhirnya kau mengecupnya.
Aku merasakan tubuhku tertarik keluar dari mata cokelatmu. Tetiba kehangatan menyelimutiku sampai kudapati tubuhmu mendekapku begitu eratnya. Aku menahan napas, sama seperti dirimu yang menahan sakitnya kenangan yang tertumpah.
“Bebaskan aku, kumohon.”
Kaumeminta kebebasan padaku. Kebebasan dari kenangan-kenangan manis yang mungkin telah kausimpan begitu lamanya di sudut matamu itu. Kaumungkin tak pernah mengerti, permintaanmu adalah sebuah tusukan yang hampir membuatku mati.
“Bebaskan aku, kumohon.”
“Aku tak bisa melakukan itu jika kau masih mencintainya.”