Kaumenatapku. Kaumendekat. Kaumengamati wajahku. Dan aku kembali merenangi mata cokelatmu.
Tepat di ujung mata, hampir melompati retinamu, kutemukan dirimu tengah membersihkan wajahku dari debu-debu. Kaukembali menyentuhnya setelah dua tahun lamanya kautinggalkan untuk menjadi kenangan yang percuma, sehingga wajahku terselimuti debu-debu.
“Kaumengejarku?”
Tanyamu mengejutkanku sehingga aku dengan terburu keluar dari mata cokelatmu.
“Aku tidak pernah mengejarmu. Tidak pernah sama sekali. Aku hanya berolahraga dengan berlari-lari kecil seperti pada senja yang baru saja kausaksikan.”
“Berlari-lari kecil hingga kakimu penuh dengan luka? Berlari-lari kecil hingga kulitmu terbakar? Berlari-lari kecil hingga kau kelaparan, juga kehausan? Kaumau belajar berbohong di depan mataku?” Kaumenghela napas panjang, “Kaumengejarku?”
“Aku tidak pernah mengejarmu. Tidak pernah sama sekali. Aku hanya sedang merinduimu dan rindu itu sendiri yang telah membawaku ke depan matamu.”
“Apa kaumengenalku?”
“Tidak. Hanya sebatas perjumpaan sesaat kala itu.”
“Lantas, bagaimana kaubisa merinduiku?”
“Sepertinya, aku memang jatuh cinta.”