Mohon tunggu...
DesoL
DesoL Mohon Tunggu... Penulis - tukang tidur

▪tidak punya FB/Twitter/IG dan sejenisnya▪

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber] Tarian Maut

27 November 2015   14:34 Diperbarui: 27 November 2015   14:36 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="pic: computing.ece.vt.edu"][/caption]

Desol, No. 14

Dokter Jalal yang adalah James, mengarahkan pistolnya padaku. James mendekat secara perlahan. Disentuhnya wajaku dengan tangannya yang dingin. Bibir pistol telah melekat tepat pada pelipis kananku. Aku menelan ludah, menahan gemetar. Keringat dingin mulai mengalir, membasahi dahi hingga dadaku. James mengusap keringat-keringatku dengan lidahnya. Bibirnya menyapu wajaku, turun hingga dada, sampai pada akhirnya ia hentikan seketika.

Aku dengar jantungku berdetak. Keras sekali. Detak-detak ketakutan. Detak-detak berlarian. Detak-detak menggairahkan atas cumbu-cumbu dusta bibir James. Tubuhku memanas. Buatku rindu akan belaian yang telah lama tak kurasakan sejak kepergian Gie dari hidupku.

James melepas jas putihnya. Membuangnya ke lantai. Disusul dengan kemejanya yang berkancing lima. James bertelanjang dada. Mengingatkanku pada dada Gie yang selalu kupeluk di balkon pada senja ketiga. Aku memejamkan mata, hindari tatap-tatap rindu yang kian bergelora merasuk jiwa.

Kurasakan tubuhnya mendekat. Dikumpulkannya rambutku pada genggaman tangan kirinya. Kurasakan hembusan napas yang hangat pada leher bagian belakang. Aku tak bisa menghindar. Tubuhku didekapnya dengan sangat erat. Ia mengajakku berdansa. Terdengar lirih lagu Gloomy Sunday yang keluar dari bibirnya. Lagu kematian – yang mungkin – ia lantunkan untukku.

Kucoba ikuti irama kakinya. Dua kali ke kanan, satu kali ke kiri, satu kali berputar. Aku dan James mengulangnya beberapa kali. Dua kali ke kanan, satu kali ke kiri, satu kali berputar. Kutemani James lantunkan Gloomy Sunday dengan suara dua dariku. Kami lebih mirip sepasang manusia yang sedang jatuh cinta. Cinta sejatuh-jatuhnya.

Aku tak tahan lagi. Kulingkarkan tangan kiriku pada pinggang James. Kusandarkan kepalaku pada dadanya yang berbulu. Sementara tangan kiriku meyusuri pinggulnya. Kurasakan serat-serat kain yang begitu kasar. Tanganku mencari jalan terjauh untuk bisa mencapai pistol yang ia sematkan pada saku depan celananya.

James menurunkan kepalanya, mencari letak bibirku. Ia menciumku. Aku menyambutnya dengan gembira. Kuraba pistol pada saku. Aku hampir menariknya keluar. James melemparkan tubuhku ke atas ranjang. Sebuah tindakan yang sangat tak kuinginkan.

Dipandanginya diriku dengan tatap mata penuh napsu. Tubuh James berkeringat, membuatnya terlihat sedikit coklat. Dia menjatuhkan tubuhnya di atas tubuhku. Dengan sigap, kedua telapak tanganku menahannya.

“Perlahan saja, James.”

Kubisikkan kalimat itu pada telinga James yang pasrah. Dia menjadi lemah ketika kuserang dengan peluk dan cumbu yang sengaja kubuat membabi buta. James menikmatinya dengan memejamkan mata. Tangannya tak diberikan istirahat dari gagang pistol.

Aku menurunkan salah satu kakiku. Menjelajahi lantai. Mencari jarum suntik berisi cairan amphetamine. Rupanya jarum suntik itu terjatuh di bawah ranjang. Aku menggapitnya di antara jari kaki lalu mengangkatnya secara perlahan hingga mampu kuraih dengan tanganku. Kupastikan jarum suntik itu masih penuh terisi. Kudekatkan pada lengan James.

“Kau hendak menyuntikkan amphetamin pada tubuhku, Anna?”

James tersenyum. Aku tak bisa berkutik. Terpaksa kuturunkan jarum suntik secara perlahan, sebab kurasakan bibir pistol telah berada sangat dekat dengan perutku. Aku tak menjatuhkannya, namun kuletakkan jarum suntik amphetamine pada sela-sela ranjang di mana aku dan James akan bercinta.

Sungguh sangat menggelikan saat aku harus beradu cumbu dengan seseorang yang akan menghabisi nyawaku. O, lebih tepatnya adalah seseorang yang akan kubunuh! Aku hampir tak bisa membedakan antara benci juga rindu kala wajah Gie hadir di atas lengkung senyumnya. Sesekali kunikmati dengan sangat benar, saat rindu itu melintas tanpa batas.

Kupijat punggungnya dengan sangat lembut. Sesekali kuciumi pinggangnya yang berada di tepi ranjang. Kuambil jarum suntik, kubuka ujungnya, lalu kutuangkan pada mulutku. Aku menampung cairan amphetamin pada mulutku dengan sangat hati-hati. Jika tertelan, maka aku berhalusinasi dan menganggapnya sebagai Gie. Aku hanya tak ingin, dengan leluasa ia nikmati tubuhku.

Aku kembali menciumi tubuhnya. Dari pinggang, punggung, leher, hingga menyusuri bulu-bulu dadanya. Dengan cepat kudapati bibir James. Ia membuka bibirnya, menyambut bibirku. Tak menunggu waktu yang lama untuk mengalirkan amphetamin yang tertahan pada ujung kerongkonganku ke dalam mulutnya. James meneguknya dengan tuntas.

“Anna, kau cantik sekali.”

“Benar, James. Aku memang cantik.”

“Jangan tinggalkan aku, Anna. Tetaplah bersamaku untuk menyingkirkan Nugie yang kau cintai itu.”

“Kau begitu membencinya, James?”

“Aku akan membenci siapa saja yang bahagia.”

“Kau tak sedang bahagia?”

“Hampir. Aku hampir saja bahagia, Anna.”

Kubelai kepala James dengan lembut. Kukecup keningnya berulang kali. James menangis. Ia keluarkan semua bulir-bulir kepedihan yang selama ini membelenggu hidupnya. Jerit lirihnya memilukan hati. Saat ini, James lebih mirip seorang bayi yang merindukan air susu ibunya.

***

Aku merasakan sebuah belaian yang begitu lembut. Mirip belaian mama, sebelum aku dibawa pergi oleh papa pada umur lima tahun. Papaku kemudian menikah lagi dengan seorang wanita muda. Mereka berfoya-foya, berbahagia, dan sukses melupakanku. Ketika aku menangis, wanita muda papa mencubitku dengan kukunya yang panjang. Kulitku memerah seketika, tak jarang hingga terkelupas. Jika mereka ingat, maka aku akan diberinya makan.

Papaku menjadi tak bertelinga. Ia tak mendegar saat aku berteriak minta tolong untuk segera dikeluarkan dari gudang bawah tanah. Kakiku mulai diserang oleh tikus-tikus hitam. Aku tak berhenti mengetuk pintu gudang bawah tanah. Papa membukanya. Aku senang. Namun wanita muda papa menyiramku dengan seember air dingin lalu mengunci pintunya kembali.

Aku lapar. Aku kedinginan. Tubuhku gemetar. Mengigil. Aku mulai menyukai tikus-tikus, terlebih anak-anaknya. Kudekati anak-anak tikus itu. Sangat kecil dan ringkih. Tubuhnya berwarna merah muda dan belum memiliki banyak bulu. Aku mengambilnya. Mendekatkannya pada hidungku, lalu melahapnya. Tidak begitu buruk. Papa pernah mengatakan bahwa memakan anak tikus begitu menyehatkan.

Wanita muda papa sangat tidak menyukaiku. Ketika didapatinya nilai buruk pada kertas ujianku, maka ia mulai mengambil pisau lalu mengukirkan angka-angka itu pada punggungku. Sakit sekali. Ia terus melakukannya hingga aku tak lagi mendapatkan nilai buruk. Aku harus pandai agar terbebas dari siksa wanita muda papa.

Belaian itu masih kurasakan. Sesekali kubuka mata untuk memperhatikan senyum manis Anna. Aku begitu terlambat menyadari kecantikannya, juga tentang keberadaan hatiku yang menginginkan kasih Anna. Aku hampir saja membuatnya gila dan menghilangkan nyawanya.

Kurasakan sentuhan yang berbeda pada punggungku. Lebih menyakitkan dibandingkan dengan sebuah pijatan. Rasa perih timbul perlahan. Kuraba punggungku. Basah. Seperti ada sesuatu yang mengalir dari punggungku. Darah!

“Apa yang kau lakukan, Anna?”

“Hanya mengukir berdasarkan pola yang tercetak pada punggungmu. Tiga puluh.”

“Jangan melukaiku!”

“Jangan melukaimu? Kau yakin dengan permintaanmu?”

“Kau gila, Anna!”

“Bukankah itu yang kau inginkan, James?”

“Kubunuh kau!”

“Dengan apa? Pistol?”

“Di mana pistolku?”

“Masih pada tempatnya, James. Pada saku depanmu. Hanya saja, aku telah mengeluarkan pelurunya lalu menelannya.”

Aku lengah. Kelembutan peluk juga cumbunya buatku tak berdaya. Anna menjilat darahku yang tertempel pada pisau mini. Ia lahirkan kebencian pada setiap tatap matanya padaku. Sepertinya aku harus segera bersiap, untuk mematikan atau dimatikan.

Anna tak hanya tersenyum, ia juga tertawa terbahak. Ia mainkan ujung-ujung rambutnya dengan pisau. Beberapa helai telah terpotong. Sangat tak ia sayangkan bagian dari tubuhnya sendiri, terlebih lagi tubuhku. Diambilnya bantal yang terjatuh di lantai. Ia menimangnya sesekali seperti bayi kemudian menusuk-nusuknya dengan pisau. Kapas-kapas keluar dari perut bantal.

“James, kau tahu apa yang sedang kulakukan pada bantal ini? Aku menusuk-nusuknya, membuat kapas-kapas yang berada di dalamnya keluar. Itulah yang akan segera terjadi pada perutmu, James. Aku akan mengeluarkan usus-ususmu dan mengginjaknya seperti ini!”

Bantal yang telah tertusuk-tusuk dan kehilangan banyak kapasnya, telah menjadi sasaran kaki-kaki mungil Anna. Aku menjadi ngeri ketika membayangnya yang ia injak-injak adalah isi perutku. Kuizinkan ia menikmati imajinasinya sebelum kulakukan sesuatu untuk membuatnya jera.

***

Dua manusia, berlomba selamatkan nyawa. Betubuh kurus-tinggi, bertelanjang dada dengan pistol terselip di saku depan celananya, terdiam dalam awas terhadap makhluk seksi yang berada di depannya. James begitu serius mengawasi setiap gerik Anna. Tak satupun terlewatkan begitu saja. Dari senyumnya, kerlingan matanya, gerakan jemari yang mainkan rambutnya dengan ujung pisau, hingga setiap helai rambut yang terjatuh di lantai.

Anna mulai meliuk-liukkan tubuhnya. Seperti ular yang menari-nari. Anna memang menari, melepaskan satu persatu pakaian yang melekat pada tubuhnya. Anna kembali memainkan pisau, memotong-motong rambut panjangnya, meniupkannya di depan muka James.

James mengulurkan tangannya, menyambut tarian Anna. Mereka bergerak seirama. Dua kali ke kanan, satu kali ke kiri, satu kali berputar. Mereka mengulangnya beberapa kali. Dua kali ke kanan, satu kali ke kiri, satu kali berputar. Dengan perlahan, James mulai melepas celananya.

Terlihat manusia-manusia telanjang. Menari-nari dalam kepungan dinding-dinding dingin. Sesekali mereka saling melempar senyum. Senyum yang terasa begitu pahit. Senyum yang mewakili kebusukan dari masing-masing hati dalam raga yang menari-nari.

“Anna, apa kau masih ingin hidup?”

“Pertanyaan yang tak membutuhkan jawaban, James.”

“Bukankah kita berdua memiliki kesempatan yang sama?”

“Benar. Kesempatan untuk mati.”

James dan Anna kembali beradu cumbu. Keduanya bertukar peluk. Jemari mereka saling meraba. Berhenti tepat pada batang leher, lalu saling mencekik.   Anna mengatur napas dengan susahnya kemudian terbatuk. Tubuh Anna melemah. Dilepaskannya tangannya dari leher James.

“Sampai jumpa di neraka, Anna!”

Ditekannya leher Anna dengan sangat kuat oleh James. Anna mencoba berontak namun sia-sia. Tubuhnya tak mampu menghindar dari serangan James. Hanya tangannya yang masih leluasa bergerak-gerak mencari pertolongan Tuhan. Sampai pada akhirnya maut tiba.

Dor!

James terkejut. Dirasakannya rasa panas sesaat pada salah satu bagian tubuhnya. Dadanya berdarah. Lalu rebah ke lantai. Anna mengatur napasnya. Memenuhi kembali paru-parunya dengan oksigen. Anna tersenyum. James mati.

“Kau bodoh, James. Peluru itu masih ada di sana. Aku tak pernah mengeluarkannya, bahkan menelannya.”

-oOo-

Fiksi Bersambung Lainnya || Grup Fiksiana Community

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun