Mohon tunggu...
DesoL
DesoL Mohon Tunggu... Penulis - tukang tidur

▪tidak punya FB/Twitter/IG dan sejenisnya▪

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fabel] Kucing Kencing

7 November 2015   19:15 Diperbarui: 7 November 2015   20:33 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="pic. cdnstatic.visualizeus.com"][/caption]

Desol, No.1

Hujan datang lebih cepat dari yang telah diramalkan. Manusia-manusia sibuk mengeluarkan plastik warna-warni lalu berlomba membungkus tubuhnya. Beberapa di antaranya mulai menciptakan jamur raksasa, kemudian berteduh di bawahnya sambil berjalan. Ada yang memenuhi emperan toko demi mempertahankan bajunya agar tetap kering. Sedangkan sisanya, memilih pasrah untuk basah.

Hujan itu hangat. Aku sudah mencobanya. Bermula dari sebuah tekad untuk mempertahankan hidup, maka aku harus berteman dengan hujan. Sekumpulan air berubah menjadi anak-anak panah yang menyerang tubuhku. Awalnya aku berlari, hujan tak berhenti. Aku berhenti, hujan tak menepi. Akhirnya aku menepi, hujan tetap setia menanti.

Tubuhku basah dan dingin, buluku tertidur dan menjadi lebih mengkilat. Aku pun menyerah pada sebuah pintu kayu. Seorang gadis kecil membukanya dan menggendongku. Dibawanya aku ke dalam, dekat perapian. Tubuhku dikeringkannya dengan handuk merah jambu.

Semangkuk susu hangat disodorkannya dekat mulutku. Dengan malu-malu kujulurkan lidahku untuk mencicipi cairan putih itu. Tak pernah kurasakan manja yang senikmat ini, sebab untuk beroleh makan saja, aku harus berhadapan dengan sekumpulan kucing hitam di dekat bak sampah.

“Hei, penghuni baru!”

Ada yang memanggilku. Kulihat sekeliling, tak ada manusia atau pun makhluk sebangsaku di tempat ini. Sungguh ruangan yang teramat luas untukku bisa segera temukan sumber suara itu. Kuarahkan pandangku pada sebuah mangkuk kaca raksasa di atas meja. Ikan!

“Kau berbicara denganku, Kan?”

“Hanya kau dan aku di ruangan ini, Cing.”

“Senang bisa berjumpa denganmu.”

“Lebih baik kau segera pergi, sebab mereka akan berbuat jahat padamu.”

“Jangan membual.”

“Jika aku memiliki kaki sepertimu, maka aku sudah pergi dari tempat ini.”

Pembicaraan kami terhenti bersamaan dengan langkah kaki manusia yang memasuki ruangan berdinding bunga-bunga. Gadis kecil itu segera mendekatiku untuk kemudian membelai tubuhku. Dapat kurasakan pancaran kasih sayang yang lebih hangat dari perapian.

Ikan bersisik keemasan tampak gusar, tingkahnya lebih mirip ikan-ikan di sungai yang kelaparan. Dibenturkannya kepalanya berulangkali pada dinding kaca, mungkin ia ingin merebut perhatian tuannya yang kini lebih menyayangiku.

“Meooong... Kau pasti iri denganku bukan? Sebab makhluk sepertimu akan mati jika menerima pelukan sepertiku.”

“Aku hanya ingin menyelamatkan nyawamu, Cing. Percayalah padaku.”

“Kapan kau bisa menyadari bahwa hidupmu tergantung pada niatku? Aku bisa memindahkan tubuhmu ke dalam perutku kapanpun aku mau.”

***

Suara petir membangunkanku, kulihat ruangan begitu gelap dan hanya tersisa cahaya milik perapian. Angin menerobos melalui celah-celah jendela yang membuatku kedinginan disertai rasa lapar yang tak tertahankan.

Kupastikan bahwa tak ada makanan yang tersedia untukku pada malam ini. Harus kuakui bahwa liukan tubuh makhluk bersisik keemasan begitu menggoda lidahku. Kunaiki kursi kayu, lalu melompat pada meja bercat hitam. Aku berjalan mendekati kotak kaca secara perlahan.

“Kau akan menghabisiku malam ini, Cing? Sungguh rendah sekali dirimu.”

“Aku kucing dan kau adalah ikan. Sudah menjadi takdir bangsamu untuk berakhir di dalam perutku.”

“Di tempat ini, kita adalah kawan.”

“Makhluk yang penuh dengki sepertimu sungguh tak pantas kusebut sebagai kawan.”

Kudekatkan wajahku pada kotak kaca, kumasukkan kakiku dengan harap bisa menangkap tubuh ikan bersisik keemasan dengan segera. Sungguh menyenangkan ketika kudapati wajah ikan yang ketakutan dengan usahanya yang sia-sia untuk menghindar.

“Kumohon, sayangkan nyawaku pada malam ini saja.”

“Berhentilah memohon, sebab akan percuma.”

Aku hilang sabar dan lapar. Kunaiki kotak kaca tersebut lalu kukencingi ikan yang hampir saja menjadi menu santap malamku. Lebih baik kubiarkan ikan itu menikmati kencingku sampai terganti air pada rumahnya.

***

Kicau burung gereja di jendela membangunkanku, pertanda pagi tiba. Kuluruskan tubuhku dengan berguling-guling di atas karpet merah tua, sebab telah semalaman meringkuk dalam tidur. Susu hangat kembali telah tersedia di depanku, segera kunikmati sebelum lalat-lalat mendahului.

Ada gaduh di dapur, aku harus melihatnya. Aku berlari ringan agar lebih cepat menjumpai gadis kecil yang kemarin memungutku di depan pintu rumahnya. Aroma-aroma olahan manusia membuatku tak mampu lagi menahan rasa lapar. Aku mendekati kaki gadis kecil itu, lalu mengusap-usapkan kepalaku pada mata kakinya.

Gadis kecil itu memberiku sebuah tulang ikan, aku mengenalinya. Luka pada kepalanya kuyakin adalah milik ikan bersisik keemasan yang kukencingi semalam. Mungkin air kencingku telah meracuninya dan membuatnya mati pagi ini.

Setelah selesai menikmati tulang ikan yang malang, aku pun memutuskan untuk berjalan-jalan di halaman samping rumah. Ada banyak pohon melati di sana dan aku mendekatinya untuk menikmati wanginya. Aromanya sungguh menyengat, namun bukan aroma melati. Bangkai!

Aku menerobos pepohononan melati. Sungguh pemandangan yang mengerikan tersaji di depan mataku. Tumpukan mayat kucing! Sebagian telah membusuk dan sisanya terlihat lebih segar, seperti baru mati kemarin. Ikan itu benar, bahwa manusia yang kujumpai tidaklah baik. Sial!

Aku harus segera pergi dari sini atau hidupku akan berakhir seperti mereka. Aku berlari, namun sia-sia. Gadis kecil itu menangkapku, lalu mulai memelintir salah satu kakiku. Sakit! Dan dia melakukannya pada kakiku yang lain.

Berontaklah aku dengan kedua cakar yang tepat mengenai wajahnya. Tangannya menjadi sibuk menyentuhi luka yang kugoreskan sehingga aku berhasil meloloskan diri dari siksanya. Aku terus berlari menjauhi rumahnya. Sampai di ujung jalan, aku berhenti untuk kencing dan tiba-tiba sebuah ban truk menyambar tubuhku.

-oOo-

Baca Fabel Lainnya di Sini|| Bergabunglah di Grup FB Fiksiana Community

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun