“Kau akan menghabisiku malam ini, Cing? Sungguh rendah sekali dirimu.”
“Aku kucing dan kau adalah ikan. Sudah menjadi takdir bangsamu untuk berakhir di dalam perutku.”
“Di tempat ini, kita adalah kawan.”
“Makhluk yang penuh dengki sepertimu sungguh tak pantas kusebut sebagai kawan.”
Kudekatkan wajahku pada kotak kaca, kumasukkan kakiku dengan harap bisa menangkap tubuh ikan bersisik keemasan dengan segera. Sungguh menyenangkan ketika kudapati wajah ikan yang ketakutan dengan usahanya yang sia-sia untuk menghindar.
“Kumohon, sayangkan nyawaku pada malam ini saja.”
“Berhentilah memohon, sebab akan percuma.”
Aku hilang sabar dan lapar. Kunaiki kotak kaca tersebut lalu kukencingi ikan yang hampir saja menjadi menu santap malamku. Lebih baik kubiarkan ikan itu menikmati kencingku sampai terganti air pada rumahnya.
***
Kicau burung gereja di jendela membangunkanku, pertanda pagi tiba. Kuluruskan tubuhku dengan berguling-guling di atas karpet merah tua, sebab telah semalaman meringkuk dalam tidur. Susu hangat kembali telah tersedia di depanku, segera kunikmati sebelum lalat-lalat mendahului.
Ada gaduh di dapur, aku harus melihatnya. Aku berlari ringan agar lebih cepat menjumpai gadis kecil yang kemarin memungutku di depan pintu rumahnya. Aroma-aroma olahan manusia membuatku tak mampu lagi menahan rasa lapar. Aku mendekati kaki gadis kecil itu, lalu mengusap-usapkan kepalaku pada mata kakinya.