“Meskipun kita belum lakukan pertemuan sebelumnya?”
“Tentu saja, dan ini akan jadi awal temu yang indah.”
Kuputuskan percakapan. Bangku depan terisi sudah. Dua orang. Tampaknya sepasang kekasih, terlihat dari cara mereka yang saling kaitkan jari. Sungguh aku iri, padahal tak lama lagi aku akan bisa lakukan itu. Kaitkan jari denganmu.
Solo. Berikanku waktu untuk merenung, sementara kereta naik-turunkan rindu. Manusia-manusia yang rindu akan keluarga, pekerjaan dan juga bahagia. Aku bisa melihatnya dari gurat-gurat yang terlukis pada wajahnya.
Roda kereta kembali berderit. Dan telah bersiap tempuh stasiun terakhir. Tugu. Tetiba aku lupa rupa. Rupamu yang telah puluhan banyaknya tersimpan pada telepon genggam milikku. Jatung berdegup. Aku gugup. Tak mampu lagi pikirkan apa yang akan terjadi saat aku menatapmu.
Rasanya, aku mau pulang saja. Tapi terlambat sudah. Aku harus bersiap untuk menemuimu. Lebih baik kubayangkan yang terburuk hingga tak banyak telan kecewa saat apa yang nyata tak sesuai harap.
Aku telah sampai. Stasiun tugu. Aku tak mau buru-buru. Kuputuskan rela mengantri dengan nomor urut sepuluh hanya untuk poleskan bedak dan pertebal lipstik dalam toilet. Aku tak pernah peduli rupa, namun kali ini berbeda.
“Kau di mana?”
“Di pintu keluar. Berharap sosokmu segera kutemukan.”
“Lima menit lagi akan kau dapati diriku.”
Lagi, telepon berdering. Selalu tak mampu acuhkan. Rasa ingin tahu dahului malu. Ataukah cinta memang tak pernah punya malu? Aku tak mau hakimi, sebab belum ingin jatuhkan hukum padanya.