Mohon tunggu...
Desi Sommaliagustina
Desi Sommaliagustina Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Ilmu Hukum Universitas Dharma Andalas, Padang

Sebelum memperbaiki orang lain lebih baik memperbaiki diri kita dahulu |ORCID:0000-0002-2929-9320|ResearcherID: GQA-6551-2022|Garuda ID:869947|

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Maladministrasi, Perdes Abal-Abal, Siapa yang Bertanggung Jawab?

12 Juli 2024   20:29 Diperbarui: 12 Juli 2024   20:41 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Investigasi (Sumber: HukumOnline.com)

Baru-baru ini, beredar kabar bahwa maraknya maladministrasi yang terjadi di pemerintahan desa. Salah satunya Penetapan Peraturan Desa (Perdes) yang tidak sesuai dan melanggar peraturan perundangan-undangan yang berlaku. Salah satu kasus melalui tulisan di Kompasiana.com. 

Kasus maladministrasi ini  terjadi di Desa Tanah Merah, Siak Hulu Kabupaten Kampar, Riau yang  telah menetapkan Perdes Nomor 08 Tahun 2019 Tentang Pedoman Pengangkatan Dan Pemberhentian Lembaga Kemasyarakatan Desa Tanah Merah yang diduga abal-abal. Hal ini memicu pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab atas pembuatan perdes tersebut dan pasal apa yang dapat menjerat mereka.

Sebelum kita membahas terkait siapa yang bertanggung jawab  terkait Perdes kita lihat dulu bangaimana mekanisme pembuatan Perdes tersebut. Proses pembuatan Perdes di Indonesia diatur dalam Permendagri No. 18 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyusunan, Pembahasan, dan Penetapan Peraturan Desa. Berikut adalah mekanismenya:

Tahap Persiapan:

Inisiatif: Perdes dapat diusulkan oleh:
Kepala Desa: Berdasarkan hasil musyawarah desa (musdes) atau inisiatif sendiri;
BPD: Berdasarkan hasil penjaringan aspirasi masyarakat;
Masyarakat: Minimal 50 orang penduduk desa.

Pembentukan Tim Penyusun: Kepala Desa membentuk tim penyusun Rancangan Peraturan Desa (Raperdes) yang terdiri dari unsur:
Perangkat desa, BPD, Tokoh masyarakat dan Pakar.

Konsultasi Awal: Tim penyusun Raperdes melakukan konsultasi awal dengan: Camat, Organisasi perangkat daerah (OPD) terkait, Lembaga kemasyarakatan desa (LKD).

Tahap Penyusunan:

Analisis dan Rumusan Raperdes: Tim penyusun melakukan:
1. Pengkajian materi Raperdes
2. Penyusunan naskah akademik
3. Penyusunan Raperdes
4. Pembahasan Raperdes: Raperdes dibahas dalam musyawarah desa (musdes) yang melibatkan:

  • Penduduk desa
  • BPD
  • Perangkat desa

5. Peninjauan Kembali Raperdes: Berdasarkan hasil musdes, tim penyusun meninjau kembali Raperdes dan menyusun berita acara musdes.


Tahap Penetapan:

Penetapan Raperdes: Kepala Desa menetapkan Raperdes menjadi Perdes dengan menandatanganinya.
Pengundangan Perdes: Sekretaris Desa mengundangkan Perdes dalam Berita Desa.
Penyampaian Perdes: Perdes disampaikan kepada:

  • Camat;
  • Bupati/Walikota
  • Gubernur
  • Menteri Dalam Negeri

Tahap Klarifikasi:

Klarifikasi Perdes: Bupati/Walikota melakukan klarifikasi terhadap Perdes paling lambat 30 hari sejak diterimanya.

Penyesuaian Perdes: Jika terdapat ketidaksesuaian, Kepala Desa wajib melakukan penyesuaian Perdes paling lambat 15 hari sejak diterimanya hasil klarifikasi.

Tahap Pembinaan dan Pengawasan:

Pembinaan: Bupati/Walikota melakukan pembinaan terhadap pelaksanaan Perdes.

Pengawasan: Camat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan Perdes.

Catatan Penting: Mekanisme pembuatan Perdes dapat disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan desa;Penting untuk melibatkan masyarakat dalam setiap tahapan pembuatan Perdes; Perdes harus disusun dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Permendagri No. 18 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyusunan, Pembahasan, dan Penetapan Peraturan Desa)

Jika mekanisme yang diuraikan diatas tidak dilakukan, maka sudah bisa dipastikan Perdes yang dikeluarkan oleh Pemerintah Desa sarat akan maladministrasi alias abal-abal. 


Apa itu Maladministrasi?

Menurut Pasal 1 angka 3 UU Ombudsman maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.

Dalam buku saku Memahami Maladministrasi, Hendra Nurtjahjo dkk mendefinisikan maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum dan etika dalam suatu proses administrasi pelayanan publik yakni meliputi penyalahgunaan wewenang/jabatan, kelalaian dalam tindakan dan pengambilan keputusan, pengabaian kewajiban hukum, melakukan penundaan berlarut, tindakan diskriminatif, permintaan imbalan, dan lain-lain yang dapat dinilai sekualitas dengan kesalahan tersebut (hal. 4).

Perlu diketahui bahwa pihak atau subjek yang dapat dikatakan melakukan maladministrasi adalah penyelenggara negara yaitu pejabat yang menjalankan fungsi pelayanan publik yang tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, termasuk juga Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”), Badan Usaha Milik Daerah (“BUMD”), Badan Hukum Milik Negara (“BHMN”) serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD.

Dalam hukum positif Indonesia, ada sembilan kriteria untuk bisa dikategorikan sebagai maladministrasi, yaitu:

  • Perilaku dan perbuatan melawan hukum;
  • Perilaku dan perbuatan melampaui wewenang;
  • Menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut;
  • Kelalaian;
  •  Pengabaian kewajiban hukum;
  • Dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
  • Dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan;
  • Menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil;
  •  Bagi masyarakat dan orang perseorangan.

Adapun, contoh maladministrasi antara lain pungli, pejabat yang membuat kebijakan atau keputusan berdasarkan kedekatan personal dan bersikap diskriminatif, melakukan tindakan pemerasan, dan sebagainya. Selengkapnya mengenai bentuk-bentuk maladministrasi akan kami jabarkan di bawah ini.

Bentuk-bentuk Maladministrasi

Menjawab pertanyaan Anda, bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk maladministrasi yang paling umum adalah penundaan berlarut, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur, pengabaian kewajiban hukum, tidak transparan, kelalaian, diskriminasi, tidak profesional, ketidakjelasan informasi, tindakan sewenang-wenang, ketidakpastian hukum, dan salah pengelolaan.[4]

Hendra dkk menjelaskan yang termasuk bentuk tindakan maladministrasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan aparatur pemerintah dikarenakan adanya:

  • Mis Conduct yaitu melakukan sesuatu di kantor yang bertentangan dengan kepentingan kantor.
  • Deceitful practice yaitu praktik-praktik kebohongan, tidak jujur terhadap publik. Masyarakat disuguhi informasi yang menjebak, informasi yang tidak sebenarnya, untuk kepentingan birokrat.
  • Korupsi yang terjadi karena penyalahgunaan wewenang yang dimilikinya, termasuk di dalamnya mempergunakan kewenangan untuk tujuan lain dari tujuan pemberian kewenangan, dan dengan tindakan tersebut untuk kepentingan memperkaya dirinya, orang lain, kelompok maupun korporasi yang merugikan keuangan negara.
  • Defective policy implementation yaitu kebijakan yang tidak berakhir dengan implementasi. Keputusan-keputusan atau komitmen-komitmen politik hanya berhenti sampai pembahasan undang-undang atau pengesahan undang-undang, tetapi tidak sampai ditindaklanjuti menjadi kenyataan.

Bureaupathologis adalah penyakit-penyakit birokrasi ini antara lain:

  • Indecision yaitu tidak adanya keputusan yang jelas atas suatu kasus. Jadi suatu kasus yang pernah terjadi dibiarkan setengah jalan, atau dibiarkan mengambang, tanpa ada keputusan akhir yang jelas. Biasanya kasus-kasus seperti bila menyangkut sejumlah pejabat tinggi. Banyak dalam praktik muncul kasus-kasus yang dipetieskan.
  • Red tape yaitu penyakit birokrasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan yang berbelit-belit, memakan waktu lama, meski sebenarnya bisa diselesaikan secara singkat.
  • Cicumloution yaitu penyakit para birokrat yang terbiasa menggunakan kata-kata terlalu banyak. Banyak janji tetapi tidak ditepati. Banyak kata manis untuk menenangkan gejolak masa. Kadang-kadang banyak kata-kata kontroversi antar elit yang sifatnya bisa membingungkan masyarakat.
  • Rigidity yaitu penyakit birokrasi yang sifatnya kaku. Ini efek dari model pemisahan dan impersonality dari karakter birokrasi itu sendiri. Penyakit ini nampak dalam pelayanan birokrasi yang kaku, tidak fleksibel, yang pokoknya baku menurut aturan, tanpa melihat kasus per kasus.
  • Psycophancy yaitu kecenderungan penyakit birokrat untuk menjilat pada atasannya. Ada gejala “Asal Bapak Senang”. Kecenderungan birokrat melayani individu atasannya, bukan melayani publik dan hati nurani. Gejala ini bisa juga dikatakan loyalitas pada individu, bukan loyalitas pada publik.
  • Over staffing yaitu gejala penyakit dalam birokrasi dalam bentuk pembengkakan staf. Terlalu banyak staf sehingga mengurangi efisiensi.
  • Paperasserie adalah kecenderungan birokrasi menggunakan banyak kertas, banyak formulir-formulir, banyak laporan-laporan, tetapi tidak pernah dipergunakan sebagaimana mestinya fungsinya.
  • Defective accounting yaitu pemeriksaan keuangan yang cacat. Artinya pelaporan keuangan tidak sebagaimana mestinya, ada pelaporan keuangan ganda untuk kepentingan mengelabui. Biasanya kesalahan dalam keuangan ini adalah mark up proyek keuangan.

Masih bersumber dari buku yang sama, ada pendapat lain mengenai bentuk maladministrasi yang dilakukan oleh birokrat yaitu:

1.Ketidakjujuran (dishonesty), berbagai tindakan ketidakjujuran antara lain: menggunakan barang publik untuk kepentingan pribadi, menerima uang, dll.

2. Perilaku yang buruk (unethical behavior), tindakan tidak etis ini adalah tindakan yang mungkin tidak bersalah secara hukum, tetapi melanggar etika sebagai administrator.

3. Mengabaikan hukum (disregard of law), tindakan mengabaikan hukum mencakup juga tindakan menyepelekan hukum untuk kepentingan dirinya sendiri, atau kepentingan kelompoknya.

4. Favoritisme dalam menafsirkan hukum, tindakan menafsirkan hukum untuk kepentingan kelompok, dan cenderung memilih penerapan hukum yang menguntungkan kelompoknya.

5. Perlakuan yang tidak adil terhadap pegawai, tindakan ini cenderung ke perlakuan pimpinan kepada bawahannya berdasarkan faktor like and dislike. Yaitu orang yang disenangi cenderung mendapatkan fasilitas lebih, meski prestasinya tidak bagus. Sebaliknya untuk orang yang tidak disenangi cenderung diperlakukan terbatas.

6. Inefisiensi bruto (gross inefficiency), adalah kecenderungan suatu instansi publik memboroskan keuangan negara.

7. Menutup-nutupi kesalahan, kecenderungan menutupi kesalahan dirinya, kesalahan bawahannya, kesalahan instansinya dan menolak diliput kesalahannya.

8. Gagal menunjukkan inisiatif, kecenderungan tidak berinisiatif tetapi menunggu perintah dari atas, meski secara peraturan memungkinkan dia untuk bertindak atau mengambil inisiatif kebijakan.

Sumber : Hendra Nurtjahjo dkk. Memahami Maladministrasi. Cetakan pertama. Jakarta: Ombudsman Republik Indonesia, 2013.

Siapa yang Bertanggung Jawab?

Menurut UU Desa No. 6 Tahun 2014, perdes dibuat oleh BPD (Badan Permusyawaratan Desa) dan disahkan oleh Kades (Kepala Desa). Oleh karena itu, dalam kasus ini, BPD, Kades Desa Tanah Merah dan Tim Penyusun Perdes dapat dianggap bertanggung jawab atas pembuatan perdes abal-abal tersebut.

Pasal yang Menjerat

Terdapat beberapa pasal dalam KUHP dan UU Desa yang dapat menjerat para pembuat perdes abal-abal. Berikut beberapa di antaranya:

Pasal 263 KUHP: Melakukan atau menyuruh melakukan perbuatan, dengan maksud supaya sesuatu kejahatan terjadi. Ancaman hukumannya adalah penjara paling lama 7 tahun.
Pasal 264 KUHP: Dengan sengaja membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan kerugian, dengan maksud supaya surat itu seolah-olah adalah asli. Ancaman hukumannya adalah penjara paling lama 8 tahun.
Pasal 390 KUHP: Melakukan penipuan dengan cara memasukkan atau mencantumkan keterangan palsu dalam suatu akta autentik, dengan maksud supaya seolah-olah keterangan itu adalah benar. Ancaman hukumannya adalah penjara paling lama 12 tahun.
Pasal 35 UU Desa: Kades yang dengan sengaja membuat peraturan desa yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, diancam dengan sanksi pemberhentian sementara dari jabatannya.
Penting untuk dicatat bahwa penentuan pasal mana yang tepat untuk menjerat para pembuat perdes abal-abal harus dilakukan melalui proses hukum yang adil dan transparan.

Masyarakat Desa Tanah Merah yang merasa dirugikan oleh perdes abal-abal tersebut dapat melaporkan hal tersebut kepada pihak berwenang, seperti kepolisian atau inspektorat daerah. Selain itu, masyarakat juga dapat melakukan aksi protes atau demonstrasi secara damai untuk menuntut agar perdes tersebut dibatalkan dan para pembuatnya diadili.

Sumber : Undang-Undang Desa Nomor 6 Tahun 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun