Menurut Pasal 1 angka 3 UU Ombudsman maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan yang menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Dalam buku saku Memahami Maladministrasi, Hendra Nurtjahjo dkk mendefinisikan maladministrasi adalah perilaku atau perbuatan melawan hukum dan etika dalam suatu proses administrasi pelayanan publik yakni meliputi penyalahgunaan wewenang/jabatan, kelalaian dalam tindakan dan pengambilan keputusan, pengabaian kewajiban hukum, melakukan penundaan berlarut, tindakan diskriminatif, permintaan imbalan, dan lain-lain yang dapat dinilai sekualitas dengan kesalahan tersebut (hal. 4).
Perlu diketahui bahwa pihak atau subjek yang dapat dikatakan melakukan maladministrasi adalah penyelenggara negara yaitu pejabat yang menjalankan fungsi pelayanan publik yang tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, termasuk juga Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”), Badan Usaha Milik Daerah (“BUMD”), Badan Hukum Milik Negara (“BHMN”) serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD.
Dalam hukum positif Indonesia, ada sembilan kriteria untuk bisa dikategorikan sebagai maladministrasi, yaitu:
- Perilaku dan perbuatan melawan hukum;
- Perilaku dan perbuatan melampaui wewenang;
- Menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut;
- Kelalaian;
- Pengabaian kewajiban hukum;
- Dalam penyelenggaraan pelayanan publik;
- Dilakukan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan;
- Menimbulkan kerugian materiil dan/atau immateriil;
- Bagi masyarakat dan orang perseorangan.
Adapun, contoh maladministrasi antara lain pungli, pejabat yang membuat kebijakan atau keputusan berdasarkan kedekatan personal dan bersikap diskriminatif, melakukan tindakan pemerasan, dan sebagainya. Selengkapnya mengenai bentuk-bentuk maladministrasi akan kami jabarkan di bawah ini.
Bentuk-bentuk Maladministrasi
Menjawab pertanyaan Anda, bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk maladministrasi yang paling umum adalah penundaan berlarut, penyalahgunaan wewenang, penyimpangan prosedur, pengabaian kewajiban hukum, tidak transparan, kelalaian, diskriminasi, tidak profesional, ketidakjelasan informasi, tindakan sewenang-wenang, ketidakpastian hukum, dan salah pengelolaan.[4]
Hendra dkk menjelaskan yang termasuk bentuk tindakan maladministrasi adalah tindakan-tindakan yang dilakukan aparatur pemerintah dikarenakan adanya:
- Mis Conduct yaitu melakukan sesuatu di kantor yang bertentangan dengan kepentingan kantor.
- Deceitful practice yaitu praktik-praktik kebohongan, tidak jujur terhadap publik. Masyarakat disuguhi informasi yang menjebak, informasi yang tidak sebenarnya, untuk kepentingan birokrat.
- Korupsi yang terjadi karena penyalahgunaan wewenang yang dimilikinya, termasuk di dalamnya mempergunakan kewenangan untuk tujuan lain dari tujuan pemberian kewenangan, dan dengan tindakan tersebut untuk kepentingan memperkaya dirinya, orang lain, kelompok maupun korporasi yang merugikan keuangan negara.
- Defective policy implementation yaitu kebijakan yang tidak berakhir dengan implementasi. Keputusan-keputusan atau komitmen-komitmen politik hanya berhenti sampai pembahasan undang-undang atau pengesahan undang-undang, tetapi tidak sampai ditindaklanjuti menjadi kenyataan.
Bureaupathologis adalah penyakit-penyakit birokrasi ini antara lain:
- Indecision yaitu tidak adanya keputusan yang jelas atas suatu kasus. Jadi suatu kasus yang pernah terjadi dibiarkan setengah jalan, atau dibiarkan mengambang, tanpa ada keputusan akhir yang jelas. Biasanya kasus-kasus seperti bila menyangkut sejumlah pejabat tinggi. Banyak dalam praktik muncul kasus-kasus yang dipetieskan.
- Red tape yaitu penyakit birokrasi yang berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan yang berbelit-belit, memakan waktu lama, meski sebenarnya bisa diselesaikan secara singkat.
- Cicumloution yaitu penyakit para birokrat yang terbiasa menggunakan kata-kata terlalu banyak. Banyak janji tetapi tidak ditepati. Banyak kata manis untuk menenangkan gejolak masa. Kadang-kadang banyak kata-kata kontroversi antar elit yang sifatnya bisa membingungkan masyarakat.
- Rigidity yaitu penyakit birokrasi yang sifatnya kaku. Ini efek dari model pemisahan dan impersonality dari karakter birokrasi itu sendiri. Penyakit ini nampak dalam pelayanan birokrasi yang kaku, tidak fleksibel, yang pokoknya baku menurut aturan, tanpa melihat kasus per kasus.
- Psycophancy yaitu kecenderungan penyakit birokrat untuk menjilat pada atasannya. Ada gejala “Asal Bapak Senang”. Kecenderungan birokrat melayani individu atasannya, bukan melayani publik dan hati nurani. Gejala ini bisa juga dikatakan loyalitas pada individu, bukan loyalitas pada publik.
- Over staffing yaitu gejala penyakit dalam birokrasi dalam bentuk pembengkakan staf. Terlalu banyak staf sehingga mengurangi efisiensi.
- Paperasserie adalah kecenderungan birokrasi menggunakan banyak kertas, banyak formulir-formulir, banyak laporan-laporan, tetapi tidak pernah dipergunakan sebagaimana mestinya fungsinya.
- Defective accounting yaitu pemeriksaan keuangan yang cacat. Artinya pelaporan keuangan tidak sebagaimana mestinya, ada pelaporan keuangan ganda untuk kepentingan mengelabui. Biasanya kesalahan dalam keuangan ini adalah mark up proyek keuangan.
Masih bersumber dari buku yang sama, ada pendapat lain mengenai bentuk maladministrasi yang dilakukan oleh birokrat yaitu:
1.Ketidakjujuran (dishonesty), berbagai tindakan ketidakjujuran antara lain: menggunakan barang publik untuk kepentingan pribadi, menerima uang, dll.