" Setiap hari ?" tanya DC.
Belani mengangguk.
" Selama 4 tahun ?"
Belani mengangguk lagi. " Aku berharap dia kembali. Tapi harapanku tak pernah dikabulkan. Tuhan telah mengambilnya. Ada yang menasehatiku agar ihklas menerima kepergiannya. Adakalanya bisa kuterima. Terkadang tidak. Banyak yang mengatakan aku gila. Hidup dalam bayangan keputusasaan. Aku tak peduli. Aku tetap ke sini, menunggunya kembali. Berharap dia kembali... namun dia tak pernah kembali..." Pandangan Belani terlihat kosong kala menatap buih  air kanal.
" Bagaimana kalau kita mulai dari awal ? Aku akan mendengarkan ceritamu dari awal hingga akhir. Kalau bisa, aku akan membantumu keluar dari kesedihanmu," pinta DC.
Belani menatap ke hilir, tatapannya seakan ingin tembus hingga ke Marunda.
" Aku bertemu calon suamiku 7 tahun yang lalu. Waktu itu BKT sedang digali  sampai di sini. Bigmarket belum dibangun. Waktu itu aku belum lama tamat SMA. Aku berjualan kueh keliling dengan sebuah motor butut. Hasilnya lumayan, terutama banyaknya pekerja yang membangun kanal ini, yang lapar, lalu membeli daganganku. Gara-gara itulah aku bertemu calon suamiku."
Diam-diam DC mengeluarkan hape dan menghidupkan fungsi rekam suara. Â " Siapa nama calon suamimu?" tanya DC untuk menyamarkan kegiatannya.
" Adnan Haris, dia subkontraktor yang bertugas membuang tanah galian, dia ke sini untuk mengawasi para pekerjanya bekerja." Jawab Belani.
" Berarti, kalian pacaran di sini ?" DC menyimpan hapenya kembali.
" Awalnya aku berjualan, dia bekerja. Tidak bisa disebut pacaran. Aku menjual kueh ke anak buahnya. Dia sebal karena kalau aku berjualan, banyak pekerja yang berhenti bekerja untuk makan sambil menggodaku." Ada sedikit senyum di bibir Belani. Senja mulai turun menampilkan bayangan keemasan di atas permukaan kanal.