Dewi Not memainkan bola matanya seakan diberi pertanyaan sulit. " Berarti itu tadi bukan kontak pertamamu dengannya ?" tanya Dewi Not.
DC menggeleng.
" Benaran dia melompat ?" tanya Dewi dengan nada tak percaya.
" Menurutku sih dia melompat. Tapi, saat kutolong, sampai kuminta seseorang memberinya pernafasan buatan, dan dia siuman, dia mengaku dia terpeleset. "
" Kenapa meminta seseorang? Bukankah kamu bisa melakukan pernafasan buatan?" tanya Dewi.
" Dia wanita. Setelah kutolong kami berada di pinggir BKT, ada beberapa penonton, lumayan banyak sih, mungkin belasan. Kebetulan ada wanita ya kumintai pertolongan."
Dewi Not tersenyum, " Tampaknya kamu semakin bijak. Tak langsung main sambar  kayak dulu, " puji Dewi Not.
" Setelah berpisah dengan Cherina, aku mulai merasa selama ini aku terlalu melalaikan perasaannya. Kurasa, dulu, kalau dia melihatku terlalu baik pada wanita, dia pasti cemburu. Hanya, dia pintar menjaga sikap. Lebih suka membiarkan ketimbang mencari perkara. Aku tak ingin dia mengalami yang seperti itu lagi." Oceh DC.
Dewi Not mengacungkan jempol. " Ada kemajuan. Bagus untuk image seorang Dewa Cinta. Jadi, setelah kamu tolong, Belani mengaku dia terpeleset ?"
DC mengangguk. " Beberapa hari kemudian, kami bertemu secara tak sengaja. Ternyata dia kasir di Bigmarket."
" Lanjut," pinta Dewi.
" Karena dia sibuk ya begitu saja. Belanja kami dihitung, aku pulang bersama Janno. Kemarin sore kami bertemu di tempat yang sama, di atas jembatan. Kembali dia memandang ke bawah jembatan. Kali ini minus terjun. Menurut Dewi, setelah dia gagal bunuh diri kenapa dia masih kembali ke jembatan itu?"
Dewi Not memegang pelipisnya. " Apa isi percakapan kalian kemarin sore?" tanya Dewi.
" Dia bilang lagi banyak persoalan hidup. Dia lebih butuh Dewa Penyelesaikan Persoalan Hidup ketimbang Dewi Cinta," DC tersenyum kecut. Â Â
" Hahahaha, " Dewi Not tertawa keras. Mengundang DA dan DS menatap ke arahnya. " Tampaknya Paradewa harus menambah anggota baru, namanya Dewa Penyelesaikan Persoalan Hidup alias DPPH. "
DA dan DS geleng-geleng kepala, ikut ketawa hanya sebentar, lalu diam mungkin tak enak hati melihat ekspresi kecut di wajah DC.
DC menghindari kecanggungan. Ia ke pantri untuk membuat segelas coffemix. Saat ia kembali, Dewi Not menghilang entah ke mana. DC kembali mengamati monitor. Salah satu saham yang dipasangnya done. AE mengabarinya. DC merasa terhibur karena pagi ini berhasil mengantongi keuntungan yang tidak sedikit. Sirna pikiran yang ingin membuka perusahaan.
Demi memenuhi janjinya DC berangkat dari kantor jam 3 sore. Ia berharap 90 menit  tiba di BKT. Jalanan Jakarta menuju Bekasi sulit diprediksi, terkadang lengang, adakalanya macet padahal bukan jam pulang kerja.  Untungnya perkiraannya tidak terlalu meleset. Ia terlambat 8 menit tiba di tujuan. Saat ia tiba, terlihat Belani sudah berdiri di tengah jembatan. DC memarkir mobilnya di seberang jembatan dan berjalan kaki ke tengah jembatan. Beberapa motor lewat, mobil hanya satu-dua. Tak ada yang peduli pada mereka. Beberapa pemancing berteduh di bayangan pembatas jembatan.
" Maaf, aku terlambat. " ucap DC saat tiba di samping Belani.
Belani menoleh untuk menatap DC, " Apa yang kamu pikirkan saat melihatku berdiri di tengah jembatan seperti ini?" tanya Belani.
" Merenungi persoalan hidup, pengen menyepi." Jawab DC apa adanya.
" Kalau melihatku melompat ?"
" Persoalan hidupmu rumit, sulit diuraikan, alias sudah tak punya jalan keluar." DC teringat sebulan yang lalu ia pernah lewat di bawah jembatan ini bersama Zee menuju ke arah hulu, ditembaki pembunuh yang dikirim Tiara Kencana. Untung ia selamat berkat kesigapan Zee.
" Kalau begitu, aku berhutang nyawa padamu. Pada kesempatan ini, aku ingin mengucapkan terima kasih. " Tatapan Belani setajam silet. " Apa waktu itu anda kebetulan lewat atau memang mengawasiku ?" tanya Belani.
" Mengawasimu ? " Dahi DC dikerutkan, " Kenapa kamu mengira aku mengawasimu ?" tanya DC.
" Karena, menurut pendapat beberapa klienmu, kamu orang yang tahu segalanya, hampir mendekati dewa dalam meramalkan sesuatu. Apa waktu itu kamu sudah mendapat firasat bahwa tindakanku itu disengaja ?" Â tanya Belani.
DC tersenyum, " Aku tak sehebat yang kamu duga. Aku hanya manusia biasa. Hari itu aku kebetulan lewat. Kita belum saling mengenal, mana mungkin aku mengawasimu.?" ucap DC kalem.
Sebersit rasa kecewa terbentuk di wajah Belani. " Kamu percaya adanya Tuhan?"
" Tentu. Semua yang terjadi di dunia adalah atas kehendak Tuhan. Begitu juga pertemuan kita." DC heran kenapa Belani mengajukan pertanyaan yang menurutnya sangat tak lazim. Dilihat dari usianya, Belani belum tua, paling tinggi 30 tahun.
Belani mengembalikan tatapan ke arus kanal. Ia terpekur lama, membiarkan DC menunggu.
" Apa anda selalu menolong orang hingga tuntas?" tanya Belani akhirnya.
" Tergantung orang yang kutolong ingin aku ikut campur sampai batas mana. Ada yang setengah jalan klien memutuskan mengakhiri uluran tanganku. Kalau sudah begitu, aku bisa apa selain mundur dari kasusnya? " ucap DC dengan nada apa boleh buat.
" Aku sesungguhnya bukan orang yang butuh bantuanmu. Aku sudah memutuskan. Aku sudah mengambil keputusan, dan tidak mati. Seharusnya aku berterima kasih padamu. Entah kenapa tidak. Aku malah merasa seakan-akan kamu sedang memata-mataiku." Wajah Belani semakin sendu.
" Aku bersumpah  tidak sedang memata-mataimu. Aku hanya kebetulan lewat. Setiap hari aku lewat di sini 2 kali, pagi sekali dan sore sekali. Aku pemain saham, jadi tak punya jam kerja yang pasti. Aku terkadang lewat jam 6 pagi, terkadang 7 atau 8, sesekali 10 atau 12. Sore lebih tidak pasti berhubung aku setelah trading usai berkeliaran untuk membantu orang menyelesaikan masalah mereka. " nada DC minta dipercaya. Ia mulai merasa persoalan Belani sangat rumit, dan mengarah pada kebuntuan.
" Pernahkah anda mempertanyakan kenapa Tuhan memberi hidup pada seseorang dengan cara yang sulit dimengerti ?" Wajah Belani tak sedap dipandang.
 Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H