" Persoalan hidupmu rumit, sulit diuraikan, alias sudah tak punya jalan keluar." DC teringat sebulan yang lalu ia pernah lewat di bawah jembatan ini bersama Zee menuju ke arah hulu, ditembaki pembunuh yang dikirim Tiara Kencana. Untung ia selamat berkat kesigapan Zee.
" Kalau begitu, aku berhutang nyawa padamu. Pada kesempatan ini, aku ingin mengucapkan terima kasih. " Tatapan Belani setajam silet. " Apa waktu itu anda kebetulan lewat atau memang mengawasiku ?" tanya Belani.
" Mengawasimu ? " Dahi DC dikerutkan, " Kenapa kamu mengira aku mengawasimu ?" tanya DC.
" Karena, menurut pendapat beberapa klienmu, kamu orang yang tahu segalanya, hampir mendekati dewa dalam meramalkan sesuatu. Apa waktu itu kamu sudah mendapat firasat bahwa tindakanku itu disengaja ?" Â tanya Belani.
DC tersenyum, " Aku tak sehebat yang kamu duga. Aku hanya manusia biasa. Hari itu aku kebetulan lewat. Kita belum saling mengenal, mana mungkin aku mengawasimu.?" ucap DC kalem.
Sebersit rasa kecewa terbentuk di wajah Belani. " Kamu percaya adanya Tuhan?"
" Tentu. Semua yang terjadi di dunia adalah atas kehendak Tuhan. Begitu juga pertemuan kita." DC heran kenapa Belani mengajukan pertanyaan yang menurutnya sangat tak lazim. Dilihat dari usianya, Belani belum tua, paling tinggi 30 tahun.
Belani mengembalikan tatapan ke arus kanal. Ia terpekur lama, membiarkan DC menunggu.
" Apa anda selalu menolong orang hingga tuntas?" tanya Belani akhirnya.
" Tergantung orang yang kutolong ingin aku ikut campur sampai batas mana. Ada yang setengah jalan klien memutuskan mengakhiri uluran tanganku. Kalau sudah begitu, aku bisa apa selain mundur dari kasusnya? " ucap DC dengan nada apa boleh buat.
" Aku sesungguhnya bukan orang yang butuh bantuanmu. Aku sudah memutuskan. Aku sudah mengambil keputusan, dan tidak mati. Seharusnya aku berterima kasih padamu. Entah kenapa tidak. Aku malah merasa seakan-akan kamu sedang memata-mataiku." Wajah Belani semakin sendu.