Mohon tunggu...
Derby Asmaningrum
Derby Asmaningrum Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Sedang tinggal di negeri orang. Suka musik rock. Pernah bekerja sebagai pramugari di maskapai asing.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Rocker Pecel Lele

9 Maret 2020   15:57 Diperbarui: 9 Maret 2020   15:59 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: merdeka.com dan pixabay.com, edited

Setiap tanggal 9 Maret kita merayakan Hari Musik Nasional. Sudah sejak siang tadi hingga malam ini tiap-tiap sudut kota memperingatinya dengan mengadakan berbagai konser musik. Tua, muda, semua tumpah ruah. Biarlah mereka bernyanyi, teriak, jingkrak hingga pagi sementara aku yang seharian berjibaku di kampus lebih memilih pulang sekalian mampir makan di warung tenda Pecel Lele Mas Mul yang berada tak jauh dari tempat tinggalku dan sudah lama sekali tidak kusambangi. 

Lagipula, di sana aku juga dapat menyaksikan pertunjukan musik bahkan lebih asyik karena pengunjung diminta menonton dahulu baru membayar, itupun dengan jumlah nominal yang seikhlas-ikhlasnya. Kalau tidak suka, ya tinggal bilang maaf atau cukup menggelengkan kepala. Gak rugi, kan jadinya?

Crekk.. Kecrek... kecrekk...

"Kau yang mulai kau yang mengakhiri, kau yang berjanji kau yang mengingkari.."

Seorang perempuan dengan suara cempreng muncul di hadapanku menyanyikan lagu dangdut Kegagalan Cinta milik Rhoma Irama dengan kecrekan bututnya saat aku tengah duduk menanti makananku.

"Woy, kalo nyanyi yang bener, dong! Suara sember gak nyetem gitu, yang denger sakit kupingnya." terdengar seseorang usil meledek yang diikuti tawa teman-temannya.

"Gitar kaleee gak nyetem!" perempuan itu membalas dengan nada setengah kesal. Aku hanya bisa senyum-senyum sendiri melihat adegan itu. Segera kuberi ia beberapa lembar uang receh yang membuatnya tersenyum senang. Setelah mengucapkan terima kasih ia buru-buru pergi diiringi suara siulan maut milik lelaki yang tadi meledeknya.

Tak lama pesananku datang yang segera kulahap sembari menyaksikan aksi para musisi jalanan yang hadir silih berganti mencari rezeki. Entah bernyanyi sambil bergitar asal-asalan atau acapella tepuk tangan seadanya, yang penting isi kantong yang didapat tak begitu terasa pahit meski sedikit.

Baru separuh aku menikmati menu ayam goreng favoritku, tiba-tiba seorang pengamen muncul dengan gitar kopongnya yang ditempeli stiker lidah menjulur berwarna merah, logo dari band The Rolling Stones. Wajahnya sah-sah saja untuk masuk ke dalam kategori kece menurutku. Tubuhnya tinggi tegap dilapisi kaos abu-abu dan celana jeans lusuh yang sengaja disobek di bagian dengkul serta sepasang sepatu yang nampaknya sudah bergumul dengan perputaran roda zaman melintasi tanah becek dan debu jalanan. 

Sebuah bandana merah yang melingkari kepalanya menyusup di antara helai-helai rambut panjang ikalnya yang dibiarkan mengembang terurai hampir menyentuh pinggang. Tak ketinggalan anting kecil berbentuk segitiga yang menggantung manis di telinga kanannya, menjadikan penampilannya kunilai sudah lumayan lengkap untuk seorang rocker debutan.

Setelah mengucapkan permisi, ia mengambil ancang-ancang, menggenjreng gitarnya satu kali lalu mulai beraksi. Senyumku mengembang ketika verse lagu Impian milik Powerslaves meluncur dari bibirnya. Aku selalu suka lagu itu, sebuah suvenir indah di masa-masa remaja putih biru. Namun, bukan kenangan itu yang membuatku terlena melainkan si rocker jalanan yang kini seakan sedang menghipnotisku dengan kebolehan dan tentu saja tampangnya!

Kusaksikan ia begitu menghayati lirik lagu yang ngetop di tengah tahun 90-an itu diiringi permainan gitarnya yang tak kalah nendang dengan musisi-musisi kondang. Singkat kata, aku benar-benar seperti tengah menikmati sebuah konser akustik mini. Beberapa anak muda ramai-ramai bertepuk tangan setelah ia selesai dan hampir semua orang memberinya uang dengan senang hati. Bibir si pengamen pun tak henti-hentinya menggariskan senyum tatkala bunyi gemerincing koin bergema di dalam kantong plastik yang disodorkannya.

"Keren!" aku memuji sambil menyemplungkan beberapa recehan ketika ia menghampiri tempat dudukku.

"Terima kasih." balasnya sambil menunduk malu-malu menatapku.

"Seneng musik rock, ya?" tanyaku mencoba basa-basi. Kulihat ia sedikit salah tingkah hingga mukanya samar-samar memerah.

"Yaa...begitulah." ucapnya singkat sembari memasukkan plastik yang berisi pendapatannya malam itu ke dalam tas selempangnya yang dekil. Aku terdiam sesaat sambil memperhatikan gerak-geriknya.

"Emm....namaku Mia." kataku lalu mengulurkan tangan. Ia menyambutnya dengan sedikit kikuk. Tanpa buang-buang waktu aku segera memesankan pecel lele dan es jeruk untuknya. Awalnya ia menolak namun aku tetap memaksa dengan sebuah senyuman yang kupikir sudah sangat manis. Terbukti, akhirnya ia mengalah lalu duduk di hadapanku setelah sebelumnya mengucapkan terima kasih.

Ia memperkenalkan dirinya sebagai Gugun namun sebagian orang yang tidak tahu namanya cukup memanggilnya Rocker karena penampilannya yang urakan dengan suaranya yang memang mirip-mirip Heydi Ibrahim, sang vokalis Powerslaves yang lagunya ia nyanyikan tadi.

"Kamu anak band ya?" selidikku mencoba untuk tidak terus terpana oleh dirinya. 

"Maunya sih begitu, ngeband, tapi belum ada kesempatan, mungkin juga gakkan pernah ada. Gitar ini juga kebetulan pemberian abangku yang tinggal di kampung." jawabnya sambil memutar-mutar tuner gitarnya.

"Memangnya asalmu dari mana?"

"Dari jauh. Heheh. Naik bus bisa berhari-hari lalu menyebrang lagi dengan menumpang speedboat. Sampai di pulau masih harus jalan kaki menuju rumah kira-kira 20 menitan. Syukur kalau ada saudara yang menjemput pake motor. Itu juga kalau motornya gak mogok di tengah jalan." Gugun terkekeh lalu memetik senar-senar alat musiknya itu.

"Sudah berapa lama ngamen di daerah sini?" lanjutku.

"Sekitar enam bulanan. Aku sempat kuliah dua tahun dan tinggal di rumah bapak angkat tapi akhirnya orang itu mengusirku dengan tuduhan ngegodain istrinya. Padahal istrinya sendiri yang genit." terangnya santai.

Aku tertawa mendengar ceritanya. Menurut kedua bola mataku, si rocker ini sungguh menarik. Ia memang tidak setampan Fatur Java Jive atau keren bak Once Dewa, tapi ia memiliki pesona yang entah bagaimana susah kujelaskan. Jadi tidak salah kalau istri ayah angkatnya kesengsem habis-habisan. Aku tersenyum-senyum sendiri.

"Sekarang kamu tinggal di mana?" interogasiku berlanjut.

"Di kos-kosan daerah Kalibata. Naik mikrolet tiga kali dari sini. Tiap siang aku ada sedikit kerjaan, jagain studio musik milik Mawar Berduri Records di daerah Condet." Ia menyebut nama sebuah label rekaman bergengsi.

"Lumayan buat menyambung hidup. Beberapa kali malah aku sempat ketemu pemiliknya Ibu Ari Budiyanti dan sepupunya yang produser film terkenal itu, Ibu Dewi Leyly. Terkadang melihat musisi-musisi kondang rekaman di sana membuatku malas untuk melanjutkan kuliah lagi, duit juga nggak punya. Aku lebih tertarik bikin lagu, belajar musik, ngeband seperti mereka." Gugun terus nyerocos, berada di antara denyut semangat dan keputusasaan. 

Aku berpikir sejenak, mencoba mencari cara untuk bisa menyalurkan keinginannya. Beruntung, aku memiliki banyak teman yang berasal dari kalangan musisi. Mungkin saja aku bisa menyeretnya terlibat sebuah proyek musik bersama mereka.

Tak lama makanan untuknya mendarat di atas meja. Seperti mengingat sesuatu, Gugun kemudian mengambil sebuah buku dari dalam tasnya dan menunjukkannya padaku. Sebuah buku yang dikatakannya sebagai tempatnya menulis lagu, mengungkapkan perasaannya, menggoreskan tentang apa saja. Aku membacanya sejenak. Betapa terkesimanya aku melihat caranya menciptakan lagu dengan chord progression yang tak biasa dilengkapi ramuan lirik-lirik tajam yang nampaknya menceritakan lika-liku hidupnya.

"Kamu sudah pernah les musik ya?" tanyaku dengan pandangan yang masih terpaku pada bukunya.

"Belum pernah. Kebanyakan belajar sendiri dari buku dan majalah musik bekas atau ngobrol sama beberapa band terkenal yang lagi rekaman di studio." jawabnya. Aku mengangguk. Kulirik makanannya di atas meja. Tak ingin semua itu keburu dingin, kupersilakan ia makan sementara aku melanjutkan kembali menikmati coretan-coretannya. Setelah itu kami terlarut dalam sebuah percakapan ringan yang akhirnya mengerucut menjadi obrolan tentang musik dan sedikit pengalaman hidup yang membuatku penasaran ingin lebih jauh lagi mengenalnya. Menurutku ia punya sesuatu dalam dirinya. Entah apa itu...

Hingga menjelang tengah malam ketika warung Pecel Lele Mas Mul akan tutup, barulah kami berdiri dari tempat duduk dan melangkah keluar. Suasana saat itu sudah sepi, hanya tinggal para pedagang yang sibuk membereskan kiosnya.

"Boleh aku pinjam bukumu?" tanyaku berharap.

"Memangnya buat apa?" tanyanya heran.

"Mmm... bagaimana kalau ternyata ada yang tertarik sama lagu-lagumu?"

Gugun tertawa kecil. Terlihat jelas kedua lesung pipitnya yang membuat wajah pemuda itu semakin menawan. Ia kemudian menyandarkan gitarnya pada sebuah gerobak bubur ayam lalu mengambil buku yang kupinta dari tasnya.

"Ambillah. Nggak perlu dikembalikan. Buat kenang-kenangan jika kita nggak ketemu lagi." ucapnya sembari menyerahkan buku itu padaku. Darahku sempat berdesir mendengar perkataannya. Entah kenapa, ada rasa sedih dan khawatir yang menjalar perlahan.

"Pasti akan kukembalikan. Tapi kamu mau kan kalau ada yang memintamu bekerja sama untuk membuat lagu?" tanyaku sembari memasukkan buku itu ke dalam tas. Gugun mengangguk pelan. 

"Sudah pasti." jawabnya.

Ia menatapku cukup lama lalu tersenyum. Rambut gondrongnya perlahan tertiup desiran angin malam. Tanpa kusadari, aku sudah berdiri dekat di hadapannya. Entah perasaan apa yang tiba-tiba melandaku, aku berusaha menepisnya, berusaha tidak gugup dalam binar tatapan matanya.

"Sudah larut." ucapnya pelan lalu melepas bandana yang sejak awal melingkari kepalanya. Aku mengangguk. Ia kemudian menemaniku ke tempat aku memarkir motor. Setelah membayar tukang parkir, aku pamit padanya yang dibalas dengan ucapan terima kasih, selamat malam dan lambaian tangan sesaat.

Aku memang sudah yakin kalau ia adalah seseorang yang istimewa, setidaknya bagiku, batinku berucap ketika aku sudah meluncur di atas sepeda motorku. Entah kenapa aku langsung merasa dekat dengannya seperti sudah akrab bertahun-tahun. Ah, gila! Aku kan baru kenal dia malam ini, batinku segera menepis. Aku hanya berharap jangan sampai diriku jatuh cinta kepadanya. Lagi-lagi aku tersenyum sendiri sambil melanjutkan perjalanan pulang.

Malam-malam berikutnya, aku dan Gugun sering bertemu di warung pecel lele itu. Selesai ngamen, kadang aku membelikannya nasi bungkus atau mengajaknya makan di warung sate yang bersebelahan dengan warung Mas Mul. Terkadang pula gantian ia yang mentraktir aku makan atau sekedar memesan jus alpukat jika uangnya sedang pas-pasan karena belum gajian, katanya. Setelah itu kami akan ngobrol hingga warung-warung di sana mulai tutup.

Pada siang hari, jika kuliahku sedang libur dan Gugun sedang tidak bertugas menjaga studio, ia kerap mengajakku menemaninya ngamen di dalam bus kota yang selalu kuiyakan dengan antusias. Dan hasilnya, ia bilang kalau kulitku jadi terlihat dekil sejak berteman dengannya. Aku hanya membalasnya dengan tawa. Biar saja, pikirku. Toh aku menikmatinya, terlebih denganmu, ucapku dalam hati waktu itu. Aku memang tidak bisa menyangkal kalau perlahan, benih-benih itu telah mencuri start untuk tumbuh. Benih-benih yang tidak mau kuakui, benih-benih yang mungkin bisa membuatnya menjauh dariku, benih-benih yang rasanya tak pernah kutanam. Entah bagaimana memusnahkan kembali semua itu.

"Pernah gak kepikir olehmu untuk pacaran dengan seorang pengamen?" tanya Gugun suatu siang sehabis ngamen di dalam bus kota dari Pasar Baru yang saat itu sepi penumpang dan kami duduk di barisan paling belakang.

Glek! Aku terperanjat mendengar pertanyaannya. Apa maksudnya nih, batinku.

"Pengamen yang mana?" tanyaku sambil berusaha tertawa padahal hatiku jedag-jedug tak karuan. Aku lalu menatapnya. Terlukis sedikit keraguan di wajahnya untuk melanjutkan topik pembicaraan. 

"Apa sih maksud pertanyaanmu tadi?" tanyaku meminta konfirmasi.

"Nggak. Nggak ada maksud apa-apa." Gugun menjawab pelan lalu tersenyum seraya melempar pandangan ke luar jendela. Setelah itu tak ada lagi di antara kami yang bersuara. Hanya deru kendaraan yang tersisa menemani separuh perjalanan.

"Lemba... Lemba.. Salemba..!" tiba-tiba teriakan nyaring kenek bus membuyarkan semuanya. Tak terasa kami sudah sampai di kawasan Salemba yang siang itu terlihat sepi. Kawasan yang biasanya kami gunakan sebagai tempat istirahat untuk makan di sebuah warteg sebelum melanjutkan lagi petualangan hari itu. Gugun segera berdiri sembari menggamit tangan kananku.

"Nanti kalau sempat akan kujawab maksud pertanyaanku tadi." bibirnya berucap di telingaku ketika kami sudah berada di dekat pintu sembari menunggu bus berhenti melaju. Aku hanya bisa mengangguk. Kubiarkan tangannya menggenggam tanganku lebih erat.

**

Beberapa minggu berlalu sejak pertemuan terakhirku dengan Gugun. Aku memang tidak sempat lagi makan di warung Mas Mul karena semakin padatnya jadwal kuliah dan dimulainya kerja paruh waktuku di sebuah toko donat. Aku hanya berharap semoga Gugun masih tetap ngamen di sana pada jam-jam yang sama setiap malam. Namun yang terpenting, mudah-mudahan ia baik-baik saja.

Pada malam Sabtu yang mendung di pertengahan bulan Juli, akhirnya aku memiliki waktu luang untuk makan di luar. Aku ingin mengabarkan Gugun sebuah berita bagus sekaligus mengembalikan bukunya yang sempat beberapa waktu kuperlihatkan kepada teman-temanku para musisi. Satu harapanku, Gugun hadir malam ini. Kukendarai motor bebekku lalu memarkirnya tepat di depan warung Pecel Lele Mas Mul yang sudah dikerubungi pembeli.

Saat itu semua orang seperti kelaparan berbondong-bondong menyerbu berbagai warung makanan yang ada. Tak ketinggalan para pengamen pun memanfaatkan momen itu dengan harapan membawa pulang sesuap nasi. Alunan tembang rock lawas mancanegara yang disetel dengan volume kencang dari sebuah lapak DVD bajakan riuh bergema menjadikan tempat berjualan tersebut terasa lebih semarak. Sempat kulihat beberapa anak muda sibuk melihat-lihat aneka kepingan bundar berbungkus plastik yang digelar seadanya itu.

Aku berjalan masuk ke warung Mas Mul lalu duduk tak jauh dari tempat orang-orang berlalu lalang keluar masuk. Seorang anak buah Mas Mul menghampiri untuk mencatat pesananku. Setelah ia berlalu, iseng-iseng aku melempar pandanganku ke seluruh isi tenda, menyaksikan kegembiraan keluarga makan bersama atau beberapa pasangan kekasih yang duduk berdempetan menikmati pecel lele bagai dunia milik berdua. Rasa rindu akan Gugun mulai bertalu-talu.

Crek.. kecrek.. kecreekkk...

"Aku tak mau jikalau aku dimadu, pulangkan saja ke rumah orangtuaku...." 

Suara cempreng perempuan dengan kecrekan bututnya itu hadir lagi menyanyikan lagu Tak Mau Dimadu duet Elvy Sukaesih dengan Mansyur S. Seperti waktu itu, ada saja beberapa pria yang menggodanya dengan siulan maut. Namun kali ini perempuan itu memilih untuk tak menggubrisnya. Harus kuakui parasnya memang ayu, tubuhnya padat berisi dengan kulit sawo matang, bermata bulat serta bibirnya yang agak tebal dipulas gincu berwarna merah menyala.

"Terima kasih, Kak Cantik." ucapnya senang setelah aku memberinya uang.

"Namamu siapa?" tanyaku.

"Noni." ia menjawab singkat. Aku buru-buru menghentikan langkahnya ketika kulihat ia hendak beranjak pergi.

"Noni, Gugun masih ngamen di sini, nggak?"

"Bang Gugun Rocker? tanyanya sambil memasukkan kecrekan ke dalam tas kecilnya yang sudah bolong-bolong. Aku mengangguk.

"Dia dah gak ada, Kak." ucapnya pelan.

"Pindah tempat ngamen?"

"Bukan."

"Pulang ke kampungnya?"

Noni menggeleng.

"Emm...Bang Gugun dah meninggal." ucapnya datar.

"Haah?!!" teriakku terkejut setengah mati. Kurasakan kepalaku seketika berputar-putar, perutku tiba-tiba terasa mual, tubuhku gemetar, tak percaya semua ini kudengar. 

Noni segera mengambil bangku lalu duduk di hadapanku sementara mataku mulai berkaca-kaca. Ia menceritakan bahwa seminggu yang lalu, Gugun dipukuli sampai tewas. Ia menjadi korban karena salah sasaran dalam sebuah peristiwa pencopetan.

"Di Terminal Bus Bekasi Timur. Dia waktu itu ngamen di bus Patas 27 dari Blok M ke Bekasi. Pencopetnya akhirnya kabur, Bang Gugun yang berusaha mau menolong malah digebukin. Begitu yang saya dengar. Beritanya juga gak jelas asal mulanya gimana karena beredar dari mulut ke mulut. Saya tahu dari tukang ojek di situ." jelasnya sambil menunjuk ke arah para tukang ojek yang mangkal. Badanku langsung lemas.

Dadaku terasa sesak ketika menyadari aku tidak akan bertemu dengannya lagi padahal sekarang aku ingin mengabarkan bahwa salah satu grup rock ternama yang pernah kupinjami buku milik Gugun, tertarik membeli lagu-lagu ciptaannya. Pemain bas mereka yang juga teman dekatku telah memberitahuku kemarin siang dan ingin secepatnya bertemu Gugun. Mereka akan memberi royalti penuh untuknya dan tertarik menyertakannya dalam sebuah audisi untuk menempati posisi sebagai gitaris tambahan.

Aku pun hanya bisa tertegun, masih tidak percaya secepat ini kehilangan Gugun sebelum cerita hidupnya benar-benar dimulai. Kutarik nafas dalam-dalam lalu kututup kedua mataku mencoba memutar kembali kisah pertemuan pertamaku dengannya di sini, ketika ia bernyanyi, ketika wajahnya bersemu merah, ketika rambutnya menari-nari dalam desahan angin malam dan tersinari lampu jalan yang temaram. Ingatanku pun tiba di potongan percakapan kala itu.

"Ambillah. Nggak perlu dikembalikan. Buat kenang-kenangan jika kita nggak ketemu lagi." ucapan Gugun yang membuatku bertanya-tanya waktu itu kini terngiang-ngiang di telingaku. Akhirnya aku mengerti apa maksud perkataannya.

Dari dalam tas, kuambil buku miliknya yang selamanya takkan pernah bisa kukembalikan. Kubuka lalu kubaca lembar demi lembar. Air mataku menetes. Beberapa lagu yang diminati oleh band temanku sudah kutandai dengan spidol merah. Aku yakin ia pasti senang, pikirku waktu itu. Namun apa daya, rencanaku tidak sampai. Kini yang tertinggal hanyalah buku ini dan kenangan singkat bersama seorang Gugun, sebuah jiwa yang takkan pernah cukup untuk dikenang secepat aku mengenalnya. Perlahan kulihat sekelilingku. Sungguh sudah tak sama lagi. Semuanya seakan tengah bermuram durja digerogoti sunyi, ikut berduka setelah mendengar Gugun pergi.

"Saya permisi dulu ya, Kak." pamit Noni sedikit mengagetkanku. Aku segera mengangguk dan mengucapkan terima kasih.

Kututup buku itu. Kuamati terus para pengamen yang berlalu lalang di luar tenda, berharap menemukan sosoknya di tengah keramaian. Mungkin Noni salah dengar, mungkin yang tewas itu bukan Gugun, mungkin Gugun sedang dalam perjalanan kemari, batinku menyangkal. Namun percuma, kutahu penantianku sia-sia.

Aku menghela nafas. Beribu perasaan masih berkecamuk di pikiranku. Aku teringat lagi kata-katanya siang itu di bus kota,

"Nanti kalau sempat akan kujawab maksud pertanyaanku tadi."

Aku terisak perlahan. Rasa sesal seakan menjelma menjadi mimpi terburukku. Harusnya waktu itu aku paksa saja ia untuk menjawab, harusnya ketika itu aku ungkapkan saja perasaanku, harusnya saat itu aku langsung saja membawa Gugun ke hadapan teman-temanku, harusnya..... Aahh! Aku tidak mengerti bagaimana mengakhirinya. Namun satu yang kutahu pasti, mulai malam ini aku harus terbiasa tanpanya, tanpa tarikan suaranya, tanpa pesonanya, gairahnya, tanpa petikan dawai-dawai gitar Gugun, si rocker pecel lele.

*****

Untuk segala kenangan di antara rona terik mentari dan arsiran muram debu-debu jalanan...


*****

Selamat Hari Musik Nasional! 

Estafet Perdana Kompasiana
Tim Trio Mawar Berduri:
Dewi Leyly (Topik 1)
Ari Budiyanti (Topik 2)
Derby Asmaningrum (Topik 3)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun