'Ya, macam-macam. Misalnya ada orang yang lagi butuh pekerjaan, dikasih pekerjaan. Orang yang butuh rumah, tiba-tiba ada yang ngajak tinggal.'
Tapi ibu rupanya dewi sekalipun tidak menganggapku ada. Kalau dia memang seperti yang ibu ceritakan kenapa dia membiarkan aku terus menderita sampai sekarang?
'Kenapa nggak coba ngomong ke Tante Akim?' usul ayahku waktu tahu aku tidak diterima.
'Mau apa kamu kemari?' tanya tante Akim ketus begitu tahu yang membunyikan bel rumahnya temyata Dani.
'Saya ada perlu sama tante.' Jawab Dani sopan.
'Ada perlu apa? Langsung aja.'
'Begini. Saya 'kan udah lulus kuliah tapi nggak diterima dimana-mana.'
Terus kamu kesini mau minta kerjaan gitu? Enak aja! Emang kamu pikir tante itu siapa? Presiden?'
Tidak. Tidak. Pembicaraan seperti itu tidak boleh terjadi dan tidak akan pernah terjadi. Walaupun tante Akim adalah satu-satunya saudara ibu yang masih hidup, aku tidak akan mengemis padanya.
Aku masih ingat bagaimana tante Akim meprovokasi nenek dan saudara-saudara yang lain untuk tidak memasukkan nama ibu dalam surat warisan nenek.
Di ruang tamu nenek yang besar itu saudara-saudara sepupuku sedang asyik bermain di lantai. Mereka tampak Iucu dan menggemaskan: kulit putih yang akan besemu merah kalau mereka tertawa, ikat rambut yang akan berbunyi kalau mereka menggerak-gerakkan kepala mereka dan gelang kaki dari emas yang akan berbunyi kalau mereka berjalan.