Seminggu
kemudian pak Narto kembali datang ke rumah Marjan. Bukan untuk menawarkan
pekerjaan jahat atau apapun ia datang ke rumah Marjan, tapi untuk meminta maaf
dan berterima kasih.
“kau
telah menyadarkan saya Marjan. Keteguhanmu pada prinsip, penghormatanmu pada
orang lain membuat saya tersadar bahwa kejernihan hati dan akal adalah landasan
hidup yang mesti kita pegang”lirih pak Narto
“cinta
pada sesama adalah akar hidup pak”jelas Marjan
“ini
ada uang tiga juta. Pakailah buat keperluanmu Marjan”
“tapi
pak!”
“ini
hakmu. Terimalah” pak Narto menyela kemudian pergi
“inilah
buah dari ketulusan cinta kita Marnih”haru marjan sambil meneteskan air mata.
***
Hari
semakin sore. Marnih masih belum menemukan cincin itu. Sementara sebentar lagi
suaminya pulang.
Tanpa
salam, Marjan masuk ke rumah. Dia mendapati Marnih dengan wajah layu dan kuyu.
Ditanyanya
kenapa wajah Marnih tak seperti biasanya meskipun ada simpul-simpul senyum
dibibirnya. Tapi sebagai suami Marjan tahu bahwa Marnih sedang diendapkan
masalah.
“Mar”
demikian ia biasa menyapa isterinya itu