Mohon tunggu...
Deni Humaedi
Deni Humaedi Mohon Tunggu... -

sekarang bergiat di kelompok studi Balai Merdeka Institute yang fokus pada tema-tema filsafat politik, sosial, budaya, dan sastra. Juga bergiat di Forum Lingkar Pena (FLP) Ciputat Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cincin Pernikahan

5 November 2011   03:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:02 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Meskipun
tak pernah mengenyam pendidikan tinggi, ia tak mau prinsip hidupnya tergantung
pada yang lain. Ini karena ajaran neneknya dulu sebelum meninggal.

“dalam
segala hal, kita tak boleh tergantung pada orang lain. Kita harus bisa
menyelesaikan masalah sendiri. Dari situ kita akan mengerti makna hidup” begitu
kata neneknya yang masih ia ingat betul.

Ditambah
bacaan-bacaan yang sering ia renungkan yang secara langsung memberikan pengaruh
pada sikap dan cara berpikir Marjan.

Maka,
ia pun mengurungkan niatnya meminjam uang pada temannya. Ia dudukan kembali
tubuhnya pada saung yang sudah mulai reyot itu. Kembali ia memikir, merenung
untuk mencari uang tambahan. Sore sudah mulai pekat, Marjan masih duduk di
saung itu. Berjam-jam ia habiskan waktunya untuk mencari jalan keluar. Tapi
jalan yang dituju belum ketemu.

Segera
ia hentikan perenunganny itu. Ia arahkan wajahnya ke depan. Tiba-tiba terlihat
seekor semut yang hendak mengambil makanan dengan tergopoh-gopoh. Makanan yang
disasar hamper didapati. Tapi sial semut itu. Tubuhnya terhempas angin
menyebabkan ia semakin jauh untuk mendapatkan makanan yang diburu. Semut itu
diam sejenak. Lalu ia gerakan kembali tubuhnya. Tubuhnya semakin dekat pada
makanan. Tapi sekali lagi ia sial. Kali ini makanan yang diburu terhempas
angin. Ia tak patah arang. Langkahnya semakin pasti. Akhirnya berhasillah ia
mendapati makanan yang diburu.

Marjan
melolong, menohok tapi bibirnya menyungging senyum lebar.

“Mantap.
Mantap kau semut. Hebat kau semut. Ajaib kau semut. Aku suka caramu”teriak
Marjan sebagai tanda kekagumannya pada cara, semngat, dan ketekunan semut.

Mulai
sore itu ia mengimani filosofi semut. Tekun, pekerja keras, semangat, dan tak
patah arang.

“tapi
yang lebih mantap lagi adalah pencipta kau semut. Tuhanmu, Tuhanku, Tuhan
seluruh alam”

Dan
mulai sore itul juga ia makin mengimani sang Tuhan. Ia yakin Tuhan akan
memberinya jalan.

Bergegaslah
ia menuju rumahnya. Tuhan dan semut nampaknya mulai mendengar tekad Marjan.
Setelah menunaikan shalat maghrib, pak Narto tetangga sebelah meminta bantuan
pada Marjan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun