Orang
tua Marnih tak memberatkan apa-apa pada Marjan. Mereka sama sekali tak menuntut
banyak. Yang penting, bagi mereka adalah Marjan bisa membahagiakan Marnih. Tapi
meskipun begitu, Marjan harus menyiapkan segala sesuatu untuk pernikahan.
“kami
sebagai orang tua Marnih tak menuntut banyak dari kamu, Jan” begitu kata ibu
Marnih
“tapi..”
“tapi
apa? yang penting Marnih bahagia hidup bersama kamu”
Marjan
paham apa yang disampaikan orang tua Marnih. Namun ia tahu setidaknya dalam
pernikahan harus ada cincin tanda pengikat pernikahannya dengan Marnih. Maka,
untuk membuktikan keseriusan cintanya pada Marnih, Marjan mulai memeras pikiran
untuk mencari uang tambahan agar bisa membeli cincin pernikahan.
Semenjak
itulah ia sering merenung, memikirkan bagaimana agar ia bisa membeli cincin.
“tapi
berapakah harga cincin?” gumamnya dalam hati
“Pasti
butuh uang banyak untuk mendapatkannya, gajiku pasti tak cukup”
Dari
situ solusi bagus sudah muncul. Ia teringat temannya yang punya usaha lapak es
kelapa muda. Segera wajahnya yang kuya mulai tersimpul rona cerah. Bibirnya
tersenyum lebar. Kalau ada kemauan, pasti ada jalan. Ujarnya dalam hati
“Marjan,
Marjan kau memang lelaki cerdik” ia mencoba memuji dirinya sendiri.
Ia
angkat tubuhnya yang sedari tadi duduk di saung yang sudah mau reyot. Lima
menit belum beranjak, kembali kekisruhan melanda pikirannya. Pikirannya kembali
kuyu.
“pinjam?”
“masa
sih aku harus pinjam segala, ini kan buat tanda cintaku yang tulus pada Marnih.
Belum apa-apa sudah kepikiran mau pinjam segala”