Mohon tunggu...
Denyl Setiawan
Denyl Setiawan Mohon Tunggu... Administrasi - aku ingin bercerita

Menulislah, setelah kamu selesai membaca....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Eyang Uti Amy

30 Agustus 2020   21:22 Diperbarui: 3 Februari 2021   07:59 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rumah Sakit Panti Rapih; menempati kamar inap dengan fasilitas nomor wahid di Lantai 2, tempat tujuan dan rujukan bagi para kaum ningrat, aku disini menemaninya. Usianya tak lagi muda. 

Helai rambutnya sudah mulai memutih. Sang pemilik raut wajah yang senantiasa sumringah serta menyiratkan aura optimisme, kini terbaring lemah.

Aku sendiri tidak tahu apa penyakit yang menderanya. Jiwanya seolah tersandera dalam raga yang terpasung. Dokter menyatakan kemungkinan umurnya tak sampai setahun lagi. Ahhh, usia manusia ada di tangan Tuhan bukan?

Itu jika dia percaya, tentu saja. Sebagaimana dia mungkin meyakini bahwa segala yang diperbuatnya pada masa yang terlewati akan dipertanyakan oleh Tuhan, nanti. 

Dalam keterbaringannya, perempuan itu sesekali mengigau, mengeluh, merapal, mengumpat, entah dengan istilah apalagi yang paling tepat bagiku untuk mendeskripsikannya. Aku masih disini, meluruh bersama kisahnya yang saling berpilin pada realita yang tak kasatmata.

*****

"Sedherek-sedherek, mangga kulo ugi panjenengan sedaya, sesarengan majengaken koperasi menika. Koperasi yang kita bangun bersama secara gotong royong dengan harapan bisa menembus ke pasar internasional dan membawa kemakmuran bagi kita semuanya. Semangat pembaharuan akan tetap kita pelihara dan segala perbaikan proses bisnis akan kita lakukan terus-menerus. 

Maka dengan mengucap Bismillah mulai saat ini kita akan bersama-sama mengusung Cooperatives of Umbulharjo. Terima kasih." Perempuan paruh baya itu mengakhiri sambutannya.

"Sedherek sedaya, mangga kita beri tepuk tangan yang meriah atas wejangan kanjeng Eyang yang demikian menginspirasi kita semua," ucap sang pembawa acara dengan tanggap.

"Siapa kita?" lanjutnya dengan suara menggelora.

"Cooperatif of Umbulharjo," sahut para hadirin dengan tergagap karena tak terbiasa.

"Siapa dia?" tanya pembawa acara sembari membungkuk ke arah sang perempuan.

"Eyang Putri Kami!"

"Siapa?"
"Eyang Putri Kami!"

"Lagi?"

...

"Ya?"

...

"Eyang Uti Amy!" terdengar dari mulut seorang balita yang turut hadir pada acara tersebut. Alih-alih memahami apa urgensi acara itu, bahkan untuk berkata-kata saja masih terdengar tidak sempurna, cadel.

Siang itu tak begitu terik. Menempati gedung serba guna di Jl Punokawan Gg Pojok, anggota Koperasi Umbulharjo berkumpul, mengikuti acara peresmian koperasi yang sangat meriah. 

Setiap kelompok usaha yang bernanung di bawah koperasi, menyajikan produk usahanya dengan sedemikian rupa. Dikemas dengan semenarik mungkin. Bahkan, pada hari itu anak sekolah di daerah tersebut "diliburkan" meskipun mereka sedang menjalani ujian semester. 

Tentu saja hal itu tidak menjadi masalah bagi warga. Kharisma Eyang! Ketika Eyang berkehendak, maka otoritas setempat pun tidak berani menyanggah. 

Apakah Eyang tidak paham akan kearifan lokal daerah tersebut? Aku tidak tahu. Tetapi yang pasti Eyang pun lahir dan pernah dibesarkan oleh leluhurnya di Jl Punokawan itu.

Koperasi Umbulharjo tetap berjalan walau Eyang sudah tidak lagi berdomisili di daerah itu. Kegiatan pembibitan berbagai jenis palawija menjadi fokus utama kegiatan koperasi. Jl Punokawan yang terletah dekat dengan Kota Gede, bekas lokasi keraton lama di era Mataram Islam, mempermudah akses menuju koperasi Umbulharjo dari luar daerah. Apakah saat ini Cooperatif of Umbulharjo masih berjalan sebagaimana cita-cita Eyang? Entahlah, aku tidak bisa memastikan hal itu.

*****

"Sih! Asih! Anakmu ora nduwe tata krama ya. Kowe karo bojomu opo ora bisa ngajari perkoro adab lan subasita marang liyan? Hehh...!" Dengan nada tinggi Eyang menghardik Yu Asih yang terdiam mematung di hadapannya. Menunduk sembari memainkan ujung kerudung yang tersampir di pundaknya, gemetar.

"Ngapunten Eyang, thole ngasta klintu punapa njih?" Yu Asih mencoba mencari tahu duduk perkara yang sebenarnya, tanpa pretensi apapun. Nama besar Eyang yang demikian sangat disegani telah mengerdilkan nyali Yu Asih untuk sekedar membalas tatapan mata Eyang yang menelanjangi.

"Lha kowe lak mung tukang nariki jimpitan nggo kas desa to? Atase nyathet wae lho kok yo salah. Kae anakmu sesumbar nek aku ki jarene lelet olehku mbayar kas! Opo ora bocah kurang ajar ngono kuwi? Ojo-ojo duitku mbok nggo mangan yo, ora mbok setorne nggene pak Kasun? Hehh! Sih, Asih, wes uripmu mlarat, kok yo ngrusak tatanan sisan. Owalah Gusti kulo nyuwun pangapunten." Eyang tak terbendung. Kata-katanya melumat Yu Asih. Meluruhkan semua kosakata dan kemampuan menyusun serta melafalkan kalimat. Speechless.

Waktu seolah berjalan melambat. Kilasan fragmen itu ibarat langkah yang terbebani dengan bandul bola besi yang terseret kemanapun melangkah pergi. Freeze.

"Eyang..., ngapunten ketiwasan!" Tergopoh sosok lelaki sepantaran Eyang menghampiri. Lek Kus. Mengembalikan segala kesadaran Yu Asih yang sempat tercerabut bersamaan dengan luapan kata-kata Eyang yang demikian jumawa.

"Opo to Kus. Ngomong sing cetha. Atiku mak tratap iki lho." Eyang menyambut ucapan Lek Kus dengan tak kalah sigap. Abai sudah dengan Yu Asih yang masih tertunduk, lemah.

"Ingkang putra panjenengan..., nganu Eyang..., ngapunten njih...." Lek Kus ragu-ragu.

"Wes to ngomong sing nggenah. Ojo kakehan petingsing?" Eyang mengintimidasi.

"Ingkang putra mecahaken kaca pemates sekolah." Lega. Tak berharap ada murka setelahnya.

"Ya ora mungkin to nek anakku sampe kaya ngono. Kuwi sing salah mesthi tukange! Bocah kan yo lumrah dolanan bal-balan ndek sekolahane dhewe! Lha kok isone ana kaca sing ngalangi! Sakjane guru-guru kae ndek sekolahan kerjone opo to? Kok ndadak aku sing kudu ngurusi perkoro ngene iki, hehh?" Lek Kus, tak ubahnya Yu Asih, menerima muntahan Eyang. Sama: walau untuk hal yang jelas berbeda!

*****

Perjalanan kisah yang diurai dari rumitnya pilinan, menghempaskan sosok perempuan yang tadinya terbaring lemah di ranjang Panti Rapih, menjejak pada masa-masa yang tak mungkin dilupa. 

Entah bagaimana cerita itu berkait satu sama lain, tapi semuanya saling berkelindan pada satu sosok saja. Yahh, Eyang Putri Kami. Perempuan yang berwawasan luas, berpergaulan melintas batas negara, serta memegang simpul-simpul kepentingan. 

Masa lalunya penuh dengan perjuangan yang menempanya menjadi sosok perempuan mandiri dan teruji. Namun tak demikian dengan kisah romannya. 

Cintanya sempat bertaut pada hati yang berbeda. Pada perempuan itu telah dititipkan nyawa yang tak sedarah. Hanya yang terbaik yang akan dia lakukan atas nama keluarga. Perempuan yang bersahaja. Demikian .

*****
"Yul. Yuli, endi to bocah iki?" Eyang muda memanggil salah satu anak perempuannya, bergegas memasuki pekarangan rumah yang nampak asri namun lengang.

"Dalem Buk, wonten menapa njih Buk?" Yuli menyahut panggilan ibunya dari dalam rumah, tergopoh-gopong menyongsong ibunya sambil memeluk anaknya dalam gendongannya.

"Gek ndang siyap-siyap to. Dina iki wayahe timbangan bayi nggone omahe pak Kamituwo lho. Ojo nganti telat olehmu teka, bakal dadi gawe mengko." Dengan cekatan Eyang muda meletakkan belanjaan di atas balai-balai bambu di teras rumah. Tak lupa Eyang muda mengambil alih sosok bayi mungil dari gendongan Yuli. Bayi yang gembul dan menggemaskan. Selalu seperti itu. Eyang muda yang memang tak tinggal seatap dengan Yuli, namun perhatiannya sangat luar biasa.

"Dinten meniko wancinipun imunisasi Buk. Lha nanging thole kok taksih benter njih Buk. Pak Mantri nate sanjang menawi lare benter, mboten angsal dipun suntik. Kados pundi njih Buk?" Yuli berkeluh kesah kepada ibunya sembari membereskan belanjaan. Yuli tak pernah meminta, tetapi ibunya selalu menyempatkan berbelanja dan membawakan untuk mencukupi kebutuhan Yuli beserta anaknya.

"Yowes malah tepak nek ngono Yul.... Mengko ben Ibuk wae sing ndedes pak Mantri, tak njaluk obat pinisilin. Wes gene ndang ados sek. Thole ben ibuk sing momong." Sosok Eyang yang tak bisa dibantah, bahkan oleh anaknya sendiri.

"Lho menapa pareng to Buk, nyuwun obat pinisilin tanpa resep saking dokter?" Yuli menghentikan langkahnya menuju kamar mandi. Memastikan bahwa dia tidak salah dengar.

"Owalah Yul, Yuli. Si Mantri kae kan koncoku sekolah mbiyen, lha mosok meh njaluk obat wae ora oleh to? Kekancan semono suwene mosok ora enek ajine babar blas. Lha nek dheweke gelem mikir, pas jaman susah kae, lak biyungku sing ngopeni nganti dheweke iso sekolah mantri. Kacang kok lali karo lanjaran. Dumeh saiki wes sugeh, trus ora eling ngono karo asal-usule mbiyen...," untuk kesekian kalinya dominasi Eyang tak terbantahkan. Memuncak!

"Injih Buk, kulo nderek njenengan kemawon. Kulo ados rumiyen njih Buk. Nitip si thole." Yuli melipir. Baginya menuruti seluruh perintah Eyang adalah satu-satunya pilihan, karena selama ini demikianlah yang dia berlakukan untuk dirinya. Dan seterusnya....

*****
"Bune, mengko nek wayahe bocah-bocah arep munggah, kowe ora usah repot ndadak nggawe panganan. Tukokne wae nggone toko rotine Bu Septi. Sing ndek Godean KM 7,2 kae lho." Lelaki paruh baya yang sedang duduk teras rumah itu membuka topik pembicaraan, sambil mengepulkan asap rokok dari celah kedua bibirnya.

"Iya Pak. Aku tak takon bocah-bocah, pengen roti sing kaya apa? Lha pilihane ndek toko kae lak akeh to Pak." Perempuan sebaya yang sedang menyulam dan duduk tak jauh dari lelaki itu, menjawab, tanpa menengok ke sumber suara.

"Ehh, Pak!" Perempuan itu sekonyong-konyong mengabaikan sulamannya, mendongak ke arah sang suami dan berseru dengan tertahan. "Toko kue sing Pakne maksud kuwi sing cedhak enggok-enggokan pom bensin kae to? Puff And Pastry nek ra salah yo Pak?"

"Lha iya, emang enek sing bakul roti sak liyane Bu Septi ndek KM 7,2? Kowe ki lho, kok yo ngaget-ngageti wae. Sak dawane Jalan Godean lak mung enek siji thok sing bakulan roti." Kini giliran sang suami yang tak mengacuhkan pertanyaan istrinya.

"Wee lha dalah..., piye to Bapak iki? Sing bakul roti ki jenenge Bu Iiek, dudu Bu Septi. Tokone bener kuwi, tapi sampeyan salah uwong Pak. Hehehe...." Sang istri tertawa puas. Ternyata informasi yang dimilikinya lebih valid dibandingkan dengan suaminya.

"Sek to Bu, lha sing jare lulusan sekolah masak kae lak Bu Septi, kok saiki malah Bu Iiek sing ngurusi bakulan? Pener opo ora kuwi yo Buk?" Seketika tawa sang istri terhenti demi mendengar pertanyaan suaminya. Serius.

"Lha nek Eyang wes ngendikan, opo yo enek sing wani ngelak to Pak? Bu Iiek kae jarene nganti nangis-nangis njaluk iso bakulan. Sakdurunge pancen Bu Septi sing digadang-gadang bakal neruske bakulan. Kabeh amargo Eyang kae lho Pak. Yo nek aku dadi Eyang, aku yo bakal milih Bu Iiek. Lha Bu Septi kae mung anak kualon to Pak. Gawane bojo sing sakdurunge to? Menawa Bu Iiek kuwi anak kandunge Eyang, mung pernahe mbakyune Bu Septi." Lagi-lagi dengan senyum puas, sang istri mampu men-skak mat ucapan suaminya.

*****

Aku mengerjap dalam pendaran sinar bola lampu kamar. Malam. Gelap menyamarkan pemandangan di balik jendela tanpa teralis warna putih khas bangunan rumah sakit. Tempat yang membelenggu.

"Tok...tok...tok...," terdengar ketokan samar di pintu kamar.

"Selamat malam, saya dokter Djoko, penganggung jawab pasien ini selama masa perawatan. Anda keluarga pasien?" Sapa dokter berperawakan tambun dan berkaca mata tebal, terdengar ramah.

"Saya...." Aku bingung harus memperkenalkan aku sebagai siapa.

"Berdasarkan observasi tim medis selama ini serta hasil pemeriksaan fungsi organ pasien, kami menyarankan agar dipastikan lagi ketersediaan penjamin yang akan menanggung seluruh biaya perawatan pasien. Kita belum bisa menentukan apa penyakit yang sedang diderita, alih-alih bisa melakukan penanganan dan pengobatan." Lelaki yang memperkenalkan dirinya sebagai dokter Djoko terus menjelaskan tanpa jeda.

"Maaf, saya...." Aku tidak tahu harus merespon apalagi.

"Pasien ini secara fisik nampak sehat, kami curiga pasien ini mengalami tekanan batin, yang terganggu adalah jiwa, seraya kita menunggu kesimpulan tim dokter, lebih baik seluruh keluarga pasien diminta hadir saja. Kita tidak pernah tahu sampai kapan kondisi akan seperti ini." Dokter itu mengakhiri seluruh narasinya.

"Maaf Dok..., saya hanya tukang sapu rumah sakit yang dibayar untuk menjaga pasien ini." Aku terbata-bata; takut dipecat pihak personalia, jika mereka tahu; aku menerima upah untuk pekerjaan ini.

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun