Apakah Eyang tidak paham akan kearifan lokal daerah tersebut? Aku tidak tahu. Tetapi yang pasti Eyang pun lahir dan pernah dibesarkan oleh leluhurnya di Jl Punokawan itu.
Koperasi Umbulharjo tetap berjalan walau Eyang sudah tidak lagi berdomisili di daerah itu. Kegiatan pembibitan berbagai jenis palawija menjadi fokus utama kegiatan koperasi. Jl Punokawan yang terletah dekat dengan Kota Gede, bekas lokasi keraton lama di era Mataram Islam, mempermudah akses menuju koperasi Umbulharjo dari luar daerah. Apakah saat ini Cooperatif of Umbulharjo masih berjalan sebagaimana cita-cita Eyang? Entahlah, aku tidak bisa memastikan hal itu.
*****
"Sih! Asih! Anakmu ora nduwe tata krama ya. Kowe karo bojomu opo ora bisa ngajari perkoro adab lan subasita marang liyan? Hehh...!" Dengan nada tinggi Eyang menghardik Yu Asih yang terdiam mematung di hadapannya. Menunduk sembari memainkan ujung kerudung yang tersampir di pundaknya, gemetar.
"Ngapunten Eyang, thole ngasta klintu punapa njih?" Yu Asih mencoba mencari tahu duduk perkara yang sebenarnya, tanpa pretensi apapun. Nama besar Eyang yang demikian sangat disegani telah mengerdilkan nyali Yu Asih untuk sekedar membalas tatapan mata Eyang yang menelanjangi.
"Lha kowe lak mung tukang nariki jimpitan nggo kas desa to? Atase nyathet wae lho kok yo salah. Kae anakmu sesumbar nek aku ki jarene lelet olehku mbayar kas! Opo ora bocah kurang ajar ngono kuwi? Ojo-ojo duitku mbok nggo mangan yo, ora mbok setorne nggene pak Kasun? Hehh! Sih, Asih, wes uripmu mlarat, kok yo ngrusak tatanan sisan. Owalah Gusti kulo nyuwun pangapunten." Eyang tak terbendung. Kata-katanya melumat Yu Asih. Meluruhkan semua kosakata dan kemampuan menyusun serta melafalkan kalimat. Speechless.
Waktu seolah berjalan melambat. Kilasan fragmen itu ibarat langkah yang terbebani dengan bandul bola besi yang terseret kemanapun melangkah pergi. Freeze.
"Eyang..., ngapunten ketiwasan!" Tergopoh sosok lelaki sepantaran Eyang menghampiri. Lek Kus. Mengembalikan segala kesadaran Yu Asih yang sempat tercerabut bersamaan dengan luapan kata-kata Eyang yang demikian jumawa.
"Opo to Kus. Ngomong sing cetha. Atiku mak tratap iki lho." Eyang menyambut ucapan Lek Kus dengan tak kalah sigap. Abai sudah dengan Yu Asih yang masih tertunduk, lemah.
"Ingkang putra panjenengan..., nganu Eyang..., ngapunten njih...." Lek Kus ragu-ragu.
"Wes to ngomong sing nggenah. Ojo kakehan petingsing?" Eyang mengintimidasi.