"Ingkang putra mecahaken kaca pemates sekolah." Lega. Tak berharap ada murka setelahnya.
"Ya ora mungkin to nek anakku sampe kaya ngono. Kuwi sing salah mesthi tukange! Bocah kan yo lumrah dolanan bal-balan ndek sekolahane dhewe! Lha kok isone ana kaca sing ngalangi! Sakjane guru-guru kae ndek sekolahan kerjone opo to? Kok ndadak aku sing kudu ngurusi perkoro ngene iki, hehh?" Lek Kus, tak ubahnya Yu Asih, menerima muntahan Eyang. Sama: walau untuk hal yang jelas berbeda!
*****
Perjalanan kisah yang diurai dari rumitnya pilinan, menghempaskan sosok perempuan yang tadinya terbaring lemah di ranjang Panti Rapih, menjejak pada masa-masa yang tak mungkin dilupa.Â
Entah bagaimana cerita itu berkait satu sama lain, tapi semuanya saling berkelindan pada satu sosok saja. Yahh, Eyang Putri Kami. Perempuan yang berwawasan luas, berpergaulan melintas batas negara, serta memegang simpul-simpul kepentingan.Â
Masa lalunya penuh dengan perjuangan yang menempanya menjadi sosok perempuan mandiri dan teruji. Namun tak demikian dengan kisah romannya.Â
Cintanya sempat bertaut pada hati yang berbeda. Pada perempuan itu telah dititipkan nyawa yang tak sedarah. Hanya yang terbaik yang akan dia lakukan atas nama keluarga. Perempuan yang bersahaja. Demikian .
*****
"Yul. Yuli, endi to bocah iki?" Eyang muda memanggil salah satu anak perempuannya, bergegas memasuki pekarangan rumah yang nampak asri namun lengang.
"Dalem Buk, wonten menapa njih Buk?" Yuli menyahut panggilan ibunya dari dalam rumah, tergopoh-gopong menyongsong ibunya sambil memeluk anaknya dalam gendongannya.
"Gek ndang siyap-siyap to. Dina iki wayahe timbangan bayi nggone omahe pak Kamituwo lho. Ojo nganti telat olehmu teka, bakal dadi gawe mengko." Dengan cekatan Eyang muda meletakkan belanjaan di atas balai-balai bambu di teras rumah. Tak lupa Eyang muda mengambil alih sosok bayi mungil dari gendongan Yuli. Bayi yang gembul dan menggemaskan. Selalu seperti itu. Eyang muda yang memang tak tinggal seatap dengan Yuli, namun perhatiannya sangat luar biasa.
"Dinten meniko wancinipun imunisasi Buk. Lha nanging thole kok taksih benter njih Buk. Pak Mantri nate sanjang menawi lare benter, mboten angsal dipun suntik. Kados pundi njih Buk?" Yuli berkeluh kesah kepada ibunya sembari membereskan belanjaan. Yuli tak pernah meminta, tetapi ibunya selalu menyempatkan berbelanja dan membawakan untuk mencukupi kebutuhan Yuli beserta anaknya.